Menghilangkan Jejak

910 38 0
                                    

"Arrghhhh."

Seakan tuli laki-laki itu menghiraukan jeritan dari gadis yang menjadi incaran satu Nusaraja tersebut. Tubuh gadis itu berulang kali membentur kerasnya dinding markas Relivator. Disana berdiri sosok Billy dengan mata dingin, memancarkan aura yang menyeramkan. Ia menyeringai melihat gadis itu menangis dengan tubuhnya penuh lebam, meringkuk pada sisi ruangan. Inilah sisi gelap seorang Billy Elsanjaya dia tidak akan segan dengan orang yang sudah mengusiknya. Tidak peduli jika itu perempuan.

Gadis itu memegangi lengannya yang terasa berdenyut akibat benturan keras itu, air matanya tidak berhenti mengalir. Zarina menatap melas pada ketua Relivator tersebut, "Sorry Bill, janji gu—"

"Arrgh..."

Lelaki itu berjalan mendekat, menjambak rambut gadis itu dan menyeretnya untuk duduk dibangku kayu.

Billy mencengkram rahang Zarina dan menyentaknya kuat hingga gadis itu mendongak menatapnya. "Berhenti ganggu Relivator atau lo bakal dapat yang lebih buruk dari ini!!"

***

"Hiks udah, mmmhh..."

Bibir laki-laki itu yang awalnya memberikan kecupan, berubah menjadi hisapan yang menciptakan warna keunguan pada leher gadis dibawahnya. Bayangan tentang apa yang sudah Edgar lakukan pada Alisha membuatnya kalut. Kembali dia satukan bibir mereka, mencecap rasa manis yang selalu membuatnya candu.

Merasakan pukulan pada bahunya melemah ia menarik lengan gadis itu agar melingkar pada lehernya. Merapatkan tubuh mereka dan semakin intens menjelajahi setiap rongga mulut gadis itu.

Setelah puas melakukan hal yang seharusnya dia lakukan, terakhir laki-laki itu memberikan kecupan singkat pada bibir Alisha yang memerah bengkak. Tangannya bergerak mengusap setitik darah yang ada akibat gigitannya tadi.

Masih mengatur nafasnya yang terengah, Alisha pasrah saat Rafa menariknya untuk duduk dipangkuan lelaki itu. Tubuhnya lemas lantaran efek alkohol itu belum hilang. Alisha merasakan lengan yang melingkar pada pinggangnya mengerat membuat tubuhnya semakin menempel pada Rafa. Pusing kembali mendera, ia kemudian menjatuhkan kepalanya pada bahu laki-laki itu.

"Lo harus tahu, gue paling gak suka milik gue disentuh orang lain," ujar Rafa.

"Hm." Alisha semakin mencerukkan wajahnya pada leher Rafa ketika merasakan tangan lelaki itu masuk dalam crop top yang ia kenakan.

***

"Dee hiks akhirnya lo bangun juga," kata Ken sendu. Usai mendapatkan kabar sepupunya dibawa ke rumah sakit ia mengendarai montor dengan kecepatan tinggi, khawatir dengan keadaan Deenan. Lelaki itu bahkan sampai terjatuh sehingga membuat lengan kirinya diperban. 

Deenan mendengus malas, ia mendorong tubuh sepupunya itu. Risih dipeluk olehnya.

"Gue kira lo ma—, aww aww bunda ihh," pukulan pada bibirnya membuat Ken mencebik kesal. Wajar kalau Ken berpikir demikian, pasalnya dokter yang menangani Deenan mengatakan jika luka pada kepala Deenan dapat membuatnya kritis. Namun ternyata Tuhan sayang pada sepupunya ini sehingga ia bisa pulih lebih cepat.

Alana—bunda Ken meletakkan nampan berisi makanan yang ia bawa pada meja sebelah brangkar Deenan. Wanita berusia empat puluh dua tahun itu menatap sendu Deenan, keponakannya yang sudah dianggap sebagai putranya sendiri. Mengusap tangan Deenan yang tidak diinfus, Alana mengulas senyum lembut. "Bunda kerja dulu. Makan yaa terus minum obat," ujarnya.

Anggukan dari Deenan membuat Alana kembali tersenyum kemudian beralih pada putranya yang diam saja. Alana menggelengkan kepala dengan tingkah laku Ken lihat saja laki-laki itu sedang memainkan boneka shaun yang entah darimana dia dapatkan.

SigrietTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang