Bab 11

1.2K 183 12
                                    

Sejak kehilangan Ayahnya, Prilly sudah terbiasa berjuang dengan kerasnya kehidupan sampai akhirnya ia mampu menyelesaikan pendidikannya bahkan sampai detik ini gadis itu masih berjuang untuk kehidupannya bersama sang Ibu.

Bagi Prilly Ibunya adalah segalanya begitupun sebaliknya bagi Lela putrinya adalah dunianya.

Jadi tidak heran ketika ia mendapat kabar dari Joana, anak tetangganya sekaligus teman putrinya ia merasa perasaannya benar-benar tidak tenang.

"Kamu yakin kalau sekarang kamu lagi nggak nutup-nutupin sesuatu dari Tante, Joana?" Tanya Lela dengan suara lembutnya.

Joana menatap Lela dengan pandangan bersalah namun buru-buru ia tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. "Joana nggak nutupin apapun kok Tante, emang kebetulan pas tes kerja tadi Prilly yang lolos sedangkan Joana." Joana memilih untuk tersenyum saja ia tidak tega melanjutkan kebohongannya ketika melihat Lela justru menatapnya dengan penuh bersalah.

"Ya Tuhan anakku." Lela memeluk Joana. "Tante yakin secepatnya kamu juga bakalan menyusul Prilly untuk bekerja Nak." Ujar Lela sambil mengusap pelan kepala Joana.

Joana semakin dirundung rasa bersalah namun ia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang ini selain melafalkan ribuan kata maaf yang ia tujukan pada Lela.

"Tapi jika bekerja kenapa Prilly tidak membawa kebutuhan bahkan ijazahnya masih ada di dalam lemari kamarnya." Tanya Lela kebingungan.

Joana buru-buru melepaskan pelukan Lela, lalu tersenyum menatap Lela yang sedang kebingungan. "Itulah makanya Tante, jadi kedatangan Joana kesini selain menitipkan salam pamit Prilly, Joana juga ingin mengambil kebutuhan Prilly Tante." Kembali Joana melanjutkan kebohongannya. Ia terpaksa jika tidak Lela pasti akan kembali curiga.

Menatap Joana dengan tatapan penuh selidik akhirnya Lela mengangguk pelan. "Tante bantu beresin ya. Syukurlah, akhirnya Prilly bisa menggunakan ijazahnya. Tante juga kasihan ngeliat Prilly harus berjibaku dengan sayur-sayuran dan lainnya di pasar padahal gelarnya sarjana lagipula teman kamu itu juga pintar kan aslinya?" Joana menganggukkan kepalanya membenarkan apa yang Lela katakan.

Prilly memang pintar bahkan sejak menduduki sekolah dasar hingga lulus SMA gadis itu selalu mendapat juara bahkan beberapa kali Prilly mendapatkan juara umum hingga tak heran jika Prilly mampu menyelesaikan pendidikan sarjananya dalam kurun waktu yang lumayan cepat.

"Semoga saja setelah ini Prilly bisa mendapatkan kebahagiaannya ya Tante." Ujar Joana tiba-tiba.

Lela menatap Joana lalu tersenyum pelan. "Dan kamu juga akan segera mendapat kebahagiaan kamu Nak." Joana tertawa namun setelahnya ia mengaminkan perkataan Lela dengan penuh keyakinan.

***

Joana memasuki mobil Ryan. Ia kembali ke kediaman Prilly diantar oleh Ryan. "Ini semua barang-barang Prilly udah gue ambil." Kata Joana sambil menepuk pelan koper berisi keperluan Prilly yang disiapkan oleh Ibunya.

Ryan menatap sekilas koper yang diletakkan Joana di kursi belakang mobilnya. "Ijazahnya juga ada. "Kata Joana lagi.

Kening Ryan sontak mengerut. "Ijazah?"

Joana menganggukkan kepalanya. "Gue nggak mungkin cerita yang sejujurnya pada Tante Lela jadi ya gue kasih alasan kalau Prilly sedang magang di perusahaan Mas Ali." Joana meringis pelan menatap Ryan yang sedang menatapnya dengan tatapan tak terbaca.

"Sorry! Gue nggak tahu lagi harus kasih alasan apa jadi saat ketemu Tante hanya alasan itu yang terlintas di kepala gue jadi yaudah." Joana tak melanjutkan lagi ketika melihat Ryan menghela nafasnya.

Joana menggarukkan kepalanya. Ia sedikit merasa bersalah tapi tidak sepenuhnya ini salahnya kan? Kenapa pria ini tidak membantunya memberi alasan pada Ibunya Prilly?

"Ya udah gue cabut ya." Joana bersiap untuk turun dari mobil Ryan.

"Kamu nggak balik ke apartemen?" Tanya Ryan yang tentu saja dibalas gelengan kepala oleh Joana. "Gue nggak mungkin kesana, lagian yang kerjakan Prilly bukan gue." Ryan mendengus pelan mendengar jawaban sekaligus sindiran atau mungkin pancingan.

"Kamu lulusan apa?" Tanya Ryan yang sontak membuat mata Joana berbinar. "Gue lulusan bisnis manajemen." Sahutnya penuh semangat.

Ryan tampak terdiam sejenak sebelum matanya kembali menatap Joana yang sedang menatapnya dengan penuh harap. Ryan mendengus pelan, jika Prilly memiliki sifat kalem meskipun mulutnya tajam maka berbeda dengan Joana gadis ini terlalu ekspresif menurut Ryan serta mulutnya yang ceplas ceplos serta sedikit tidak tahu malu.

"Ada lowongan buat gue nggak Ry?"

"Ry?" Beo Ryan yang dibalas anggukan kepala oleh Joana. "Nama lo kan Ryan jadi gue singkat aja Ry kayak nama gue Joana sering disingkat Jo." Cerocos Joana sebelum sadar satu hal. "Eh kenapa pas disingkat kesannya nama kita jadi kebalik ya?" Lalu Joana tertawa terbahak-bahak sementara Ryan hanya mendengus pelan.

Ry lebih cocok untuk perempuan sedangkan Jo tentu saja lebih pas untuk laki-laki makanya Joana katakan nama mereka seperti kebalik.

"Aduh capek gue ketawa terus." Keluh Joana sambil memegang perutnya. "Yaudah gue masuk dulu ya, kalau ada lowongan lo kasih tau gue ya Ry?" Joana mengerling menatap Ryan dengan pandangan menggoda lalu tawanya kembali terdengar.

Ryan hanya menghela nafasnya ketika melihat tubuh semampai Joana berjalan menuju sebuah rumah yang terletak tepat disebelah rumah Prilly.

Ryan tidak menyangka jika dirinya akan terlibat dalam drama yang diciptakan oleh Ali dan Prilly. Menghela nafasnya Ryan kembali menyalakan mesin mobilnya lalu beranjak meninggalkan area  kediaman Prilly dan Joana.

Dari balik jendelanya Joana tampak mengintip sampai mobil yang dikemudikan oleh Ryan menghilang dari pandangannya. "Gila satu hari gue kenalan sama dua cowok ganteng sekaligus." Gumam Joana sebelum beranjak menuju kamarnya. Ia sungguh lelah hari ini.

Di lain tempat tepatnya di apartemen Ali terlihat pria itu masih betah dengan posisinya yang berdiri di sisi ranjang Prilly. Gadis itu terlihat begitu nyenyak dalam tidurnya.

Ali melirik jam yang tertempel di dinding kamarnya. Sudah dini hari dan itu artinya nyaris 4 jam Ali berdiri tanpa merubah posisinya.

Ali menarik perlahan tangannya yang masih berada dalam genggaman Prilly namun baru saja ia lakukan gadis itu tiba-tiba mengigau tak jelas hingga membuat Ali mengurungkan niatnya.

Ali beralih untuk mendudukkan dirinya di sisi ranjang karena ia merasa kedua kakinya kesemutan karena berdiri terlalu lama. Pandangan matanya tak lepas dari wajah Prilly.

Ali melirik sekilas ponselnya yang kembali bergetar setelah beberapa jam yang lalu mulai tenang. Ali sudah tahu siapa yang menghubunginya terlebih ditengah malam begini siapa lagi kalau bukan Maminya.

Ibunya pasti sudah melihat gosip yang beredar namun untuk hari ini Ali memilih bungkam saja, ia akan menjelaskan semuanya besok pada Ibunya.

Jarum jam terus bergulir hingga pukul 3 pagi Ali tidak bisa lagi menahan kantuknya hingga akhirnya Ali tertidur dengan posisi berbaring di sebelah Prilly. Ali tidak berniat untuk benar-benar tidur disana ia hanya ingin merebahkan tubuhnya sejenak tapi siapa yang menyangka jika matanya tak benar-benar bisa diajak bekerjasama hingga akhirnya ia terlelap disana berdampingan dengan Prilly yang tanpa sadar justru mencari kehangatan dengan memeluk tubuh Ali.

Jadilah, keduanya tertidur dengan berpelukan satu sama lain.

*****

Mrs AliandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang