PROLOG

3.5K 117 0
                                    

Yvanna melipat mukena, sajadah miliknya, dan juga sadajah milik Ben setelah mereka selesai melaksanakan shalat tahajud. Ini adalah malam pertama mereka menempati kamar yang sama, di rumah Keluarga Adriatma. Setelah acara resepsi pernikahan mereka diumumkan selesai beberapa jam yang lalu, Yvanna langsung memutuskan untuk ikut dengan Ben ke Garut. Karena Ben jelas harus kembali bekerja setelah mengambil cuti selama hampir sepuluh hari sejak hari pernikahan Tio dan Silvia dilaksanakan bersamaan dengan hari pernikahannya dengan Yvanna yang hanya berjarak beberapa jam saja. Kini, tidak ada lagi yang melarang mereka untuk menempati kamar yang sama, karena semua tuntutan dari semua saudara Yvanna telah terpenuhi.

"Kamu mau langsung tidur lagi, Sayang?" tanya Ben yang masih duduk di tepian tempat tidur.

"Karena beberapa jam lagi kamu harus pergi ke kantor pagi-pagi sekali, mungkin sebaiknya aku tidur lagi selama satu jam ke depan. Tapi kalau kamu tidak bisa tidur lagi dan mau aku temani mengobrol, aku jelas tidak akan menolak. Mm ... mana mungkin juga sih aku bisa menolak semua ajakanmu. Ini pertama kalinya aku bisa bicara dan berada di samping kamu secara bebas. Jadi jelas tidak akan pernah kusia-siakan segalanya meski hanya satu detik," jawab Yvanna dengan jujur.

Wajah Ben langsung memerah dan di bibirnya terukir senyuman malu-malu usai mendengar jawaban dari Yvanna. Hal itu membuatnya merasa senang, karena Yvanna sama sekali tidak memberikan jarak terhadapnya meski selama ini mereka tak pernah melakukan pendekatan secara terbuka seperti sepasang kekasih pada umumnya.

"Sini," panggil Ben sambil menepuk-nepuk tepian tempat tidur yang ada di sampingnya, "mendekat padaku dan biarkan aku memelukmu seperti tadi."

Yvanna pun menyetujui permintaan itu. Ia segera beranjak menuju ke sisi Ben yang kini sudah kembali bersandar pada ujung tempat tidur. Ia benar-benar duduk di sisi yang Ben inginkan dan membiarkan Ben mendekapnya dengan lembut. Ben mengarahkan kepala Yvanna agar bersandar pada dada kirinya, sehingga Yvanna kini bisa mendengar debar jantung Ben yang sedang bertalu-talu begitu cepat.

"Kamu lagi deg-degan?" tanya Yvanna, sambil mengusap dada Ben yang sedang disandari olehnya.

Senyum di wajah Ben benar-benar tidak pernah meredup sama sekali sejak Yvanna berada di sisinya. Bahkan sejak ia menikahi Yvanna seminggu yang lalu, perasaannya benar-benar tak bisa ia gambarkan dengan jelas. Ia merasa bahagia dan tampaknya melebihi bahagia yang ia harapkan.

"Iya, aku lagi deg-degan. Aku jadi selalu merasa deg-degan setiap ada di dekat kamu, terutama saat aku sedang memelukmu seperti saat ini. Aku benar-benar ... sulit untuk menahan diri dan perasaanku terhadap kamu," jawab Ben dengan jujur.

Yvanna pun ikut tersenyum, lalu melingkarkan lengannya pada pinggang Ben dengan bebas.

"Aku juga merasakan hal yang sama terhadap kamu. Perasaanku merekah setiap detiknya setelah kamu benar-benar menjadikan aku Istrimu. Selama ini aku selalu berpikir, bahwa menjadi pendamping hidupmu adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Aku jelas sosok yang jauh dari harapanmu sejak awal, dan bahkan aku tidak akan pernah bisa memenuhi ekspektasimu meskipun aku berusaha keras. Maka dari itulah lima tahun lalu ketika kita akhirnya dipertemukan, aku selalu menjaga jarak dari kamu. Bukan karena sikapmu kasar kepadaku ataupun karena kamu menunjukkan penolakan yang begitu terang-terangan. Aku menjaga jarak, karena sadar bahwa kamu memang tidak akan pernah memberikan kesempatan kepadaku meski hanya untuk memperkenalkan diri," ungkap Yvanna, tanpa ada yang ia tutupi sedikit pun.

"Aku tahu. Aku menyadari sikapmu itu setelah bercerai dari Almarhumah Salya, lima tahun lalu. Entah kenapa aku terus saja memikirkan kamu yang benar-benar menjaga jarak dariku ketika kita dipertemukan oleh kedua keluarga besar kita. Sebelum kita dipertemukan, Ibu selalu bilang padaku bahwa kamu telah bersedia dijodohkan denganku. Jadi seharusnya ketika kita bertemu, kamu mencoba mendekat padaku dan mencoba sok akrab agar kita bisa saling mengenal. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, kamu justru bersikap sebaliknya dari yang aku pikirkan. Kamu tidak mencoba mendekat, kamu tidak mencoba sok akrab, dan bahkan kamu tidak memperkenalkan dirimu ataupun menanyakan siapa namaku pada saat itu. Kamu ... hanya berusaha menjauh dan menjauh dari aku. Seakan kamu sudah tahu bahwa aku akan mengucapkan penolakan atas perjodohan denganmu."

Yvanna tidak menyela sama sekali saat Ben mengungkapkan apa yang dilaluinya lima tahun lalu, pasca bercerai dari Salya. Ben mengusap lembut rambut Yvanna dan sesekali ia mencium aroma wangi yang menjadi ciri khas istrinya tersebut.

"Aku mengatakannya semuanya pada Almarhum Ayah setelah bercerai dari Almarhumah Salya. Ayah mendengarkan apa yang aku pikirkan tentangmu. Dia sama sekali tidak melarangku membicarakanmu di hadapannya, meski pada saat itu dia masih merasa tidak suka terhadapmu karena semua ucapan bohongku tentang dirimu. Aku pada akhirnya mengatakan dengan jujur, bahwa aku sengaja menjelek-jelekkan dirimu agar perjodohan itu batal. Aku mengatakan pada Almarhum Ayah, bahwa apa yang kukatakan tentangmu adalah kebohongan yang aku karang sendiri. Ayah marah pada saat itu. Dia marah saat tahu kalau aku sengaja membuatnya marah kepadamu sehingga dia mencaci maki dirimu di depan semua orang. Ayah tampak sangat menyesal karena telah percaya padaku. Pada akhirnya dia mengatakan bahwa akan memaafkan aku, selama aku bisa mendapatkan maaf darimu tanpa harus berharap bisa menikahimu seperti yang pernah direncanakan. Ayah memberiku peringatan itu diiringi rasa sesalnya yang telah memperlakukan dirimu dengan buruk. Makanya, aku sama sekali tidak pernah berusaha ingin menjalin hubungan lebih denganmu dari sekedar berteman ketika kita mulai dekat. Aku selalu mengingat-ingat peringatan dari Ayah agar tidak berharap lebih, karena aku pernah merusak segalanya yang telah diatur agar bisa menjalani hidup bersamamu."

Yvanna menengadahkan kepalanya ketika merasakan tetes-tetes air menjatuhi dahinya. Ben tanpa sadar telah menangis ketika mengingat semuanya. Yvanna pun kemudian mengusap airmata itu dari wajah Ben, dan membuat Ben kini menatap ke arahnya.

"Selama lima tahun sejak menerima caci maki dari Almarhum Ayah, aku menjadi banyak berdiam diri dan fokus pada pekerjaan bersama Kak Tika, Manda, dan Lili. Aku mengalihkan pikiranku pada pekerjaan dari ingatan tentang kamu, yang entah bagaimana ternyata sangat sulit untuk aku tepis. Kak Tika pernah menyarankan padaku untuk mencoba membuka diri pada lawan jenis. Berkenalan dengan orang baru. Lagi pula pada saat itu aku sudah diberi kebebasan untuk menentukan pilihanku sendiri oleh Kakek, Ayah, dan Ibu. Tapi ..." Yvanna tersenyum selama beberapa saat, "entah kenapa yang aku pikirkan hanya kamu ... kamu ... dan kamu. Padahal selama lima tahun itu, aku bahkan tidak berani melihat fotomu yang masih kusimpan. Foto itu kudapatkan dari Ibu saat akan diperkenalkan padamu. Aku selalu menyimpannya di dalam dompetku sejak memilikinya. Tapi selalu kututupi dengan KTP, agar tidak sering kepikiran tentangmu."

Ben kembali tersenyum dan bahkan hampir tertawa geli.

"Mana fotonya? Coba kasih lihat aku. Aku terlihat ganteng 'kan, di situ? Jangan-jangan kamu enggak mau sering-sering lihat fotoku karena dalam foto itu aku enggak terlihat ganteng ya?" Ben mendadak curiga.

"Astaghfirullah, Mas Surgaku. Sepanjang itu ucapanku tentang memikirkan kamu, kamu hanya khawatir soal terlihat ganteng atau tidak di dalam foto yang aku punya?" sebal Yvanna.

"Eh ... bu--bukan begitu maksudku, Mentariku Sayang."

Yvanna menjauh dari Ben dan menarik selimut tanpa mengatakan apa pun lagi.

"Sayang ... jangan ngambek dong. Sayang ... aku masih mau dengar kamu cerita tentang memikirkan aku. Sayang ...."

Bujuk rayu Ben sama sekali tidak berhasil meluluhkan Yvanna.

* * *

TUMBAL SUSUANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang