3 | Tak Bisa Menolak Tugas

1.5K 83 0
                                    

Ponsel milik Tika berdering di atas meja makan pagi itu, ketika semua orang sedang sarapan bersama. Tika berjalan santai dari arah dapur sambil membawa sepiring capcay seafood yang diidam-idamkan oleh Naya, lalu meraih ponselnya dan menatap nama penelepon pada layar.


"Halo, assalamu'alaikum Pak Bian," sapa Tika, yang kemudian berjalan menjauh dari meja makan.

"Wa'alaikumsalam, Letnan Tika. Maaf kalau saya mengganggu pagi-pagi sekali. Ada hal yang harus saya bicarakan dengan anda, dan ini terkait dengan satu kasus yang cukup aneh seperti biasanya," jelas Biantoro, to the point.

"Oke, Pak. Saya akan mendengarkan apa yang akan anda sampaikan," ujar Tika.

Hening sebentar di seberang sana, Tika pun duduk di kursi teras sambil menunggu penjelasan dari Biantoro--komandannya. Manda keluar tak lama kemudian dengan niat menyusul Tika. Sepiring makanan ada di tangan Manda dan Manda datang ke teras untuk menyuapi Tika agar tak terlupa untuk sarapan. Ponsel milik Tika kini telah diubah menjadi mode loudspeaker, karena Tika ingin Manda mendengar semua yang Biantoro katakan.

"Begini, Letnan Tika. Semalam saya mendapat telepon dari AKP Roni di Garut. Beliau adalah teman dekat saya dan tampaknya dia sedang mengalami kesulitan akibat dari sebuah kasus yang cukup aneh. Kasus yang sulit dipahami oleh nalar manusia biasa, namun bisa anda mengerti seperti yang lalu-lalu. Jadi setelah saya mendengar soal kasus yang ditanganinya itu, saya langsung menawarkan pada AKP Roni untuk mengirimkan anda serta Adik anda yaitu Letnan Manda, untuk mendalami kasus tersebut seperti biasanya. Jika anda tidak keberatan, sebaiknya hari ini juga anda dan Letnan Manda pergi ke Garut untuk menemui AKP Roni," jelas Biantoro.

Tika ingin sekali memberi penolakan, namun ia sadar bahwa dirinya akan mendapat potongan gaji jika menolak perintah dari atasan.

"Baik, Pak Bian. Akan saya sampaikan perkara tersebut pada Adik saya, lalu Insya Allah hari ini juga kami akan langsung ke Polda Garut untuk menemui AKP Roni," sahut Tika.

Manda bisa melihat wajah Tika yang cukup jengkel ketika memberikan jawaban kepada Biantoro. Hal itu jelas membuatnya hanya bisa geleng-geleng kepala, karena tahu bahwa Tika tak bisa menolak perintah dari Biantoro.

"Panggil saja dia Pak Roni, seperti bagaimana kamu memanggil saya selama ini. Jangan terlalu formal, siapa tahu kamu bisa cepat akrab dengannya setelah bertemu," saran Biantoro.

"Untuk masalah akrab, saya rasa tidak akan mungkin semudah itu Pak Bian. Saya sudah punya calon Suami yang sudah disetujui oleh keluarga besar saya dan saya harus menjaga perasaan calon Suami saya dengan cara tidak mengakrabkan diri dengan pria asing," tekan Tika, agar Biantoro tidak berusaha mendekatkan dirinya dengan teman dekatnya tersebut.

"Oh ... begitu rupanya. Jadi, anda sudah punya calon Suami ya? Saya pikir masih ada kesempatan untuk ...."

"Baik, Pak Bian. Saya akan berangkat sekarang juga ke Garut. Adik saya sudah duduk di balik kemudi dan akan segera menyetir. Nanti saya akan hubungi anda lagi jika saya sudah sampai di Garut. Assalamu'alaikum," pamit Tika, yang tak ingin membiarkan Biantoro bicara lebih banyak lagi.

"Oh, wa--wa'alaikumsalam, Letnan Tika."

Tika pun segera mengakhiri telepon tersebut dan menatap Manda dengan frustrasi.

"Aku ingin sekali mengutuknya karena terus saja berusaha menjodohkan aku dengan teman-teman dekatnya," ungkap Tika dengan jujur.

"Tapi masalahnya Kakak memang belum punya calon Suami, dan apa yang Kakak katakan tadi pada Pak Bian jelas hal yang bohong," ujar Manda, apa adanya.

"Siapa bilang aku bohong? Aku sudah punya calon Suami, kok. Cuma dia belum melamar aku pada Ayah dan Ibu saja saat ini."

"Dan siapakah orangnya? Apakah Ayah dan Ibu sudah tahu siapa pria yang Kak Tika harapkan lamarannya itu?" tanya Manda, yang menduga kalau pria itu adalah Zian.

"Menurutmu siapa?" tantang Tika.

"Uhm ... Kak Zian?" tebak Manda.

"Nah ... itu kamu tahu!"

"Oh ... jadi Putri Ibu mengharapkan lamaran dari Zian datang ke rumah ini, sehingga menolak dijodoh-jodohkan dengan pria lain?" goda Larasati yang ternyata sejak tadi sudah ada di ambang pintu dan mendengarkan semuanya.

Tika dan Manda pun terlonjak dari kursi mereka masing-masing, lalu menatap ke arah Larasati dengan wajah yang begitu pucat.

"Aduh ... anak-anak Ibu tampaknya benar-benar sudah dewasa sekarang. Kalian tampaknya sudah bisa menentukan sendiri siapa pria yang akan kalian cintai seumur hidup. Jadi bagaimana? Apakah Ibu dan Ayah harus mengabarkan sesuatu pada Bibi Ayuni dan Paman Bagus agar Zian memiliki kesadaran diri untuk cepat-cepat melamar kamu, atau Ibu dan Ayah harus menunggu saja agar semuanya terjadi secara alami?" tanya Larasati.

"I--Ibu enggak marah? Aku ... aku seharusnya masih harus menunggu sampai Ibu dan Ayah memperbolehkan aku untuk memilih pendamping sendiri, 'kan?" Tika bertanya balik.

Narendra pun keluar dari dalam rumah dan langsung merangkul Larasati dengan lembut. Ia tersenyum ke arah Tika, sama seperti yang Larasati lakukan sejak tadi.

"Kalau kamu sudah menetapkan pilihan hati sendiri, maka kami jelas tidak akan menghalang-halangi. Kamu berhak bahagia dengan pilihan hatimu. Lagi pula, toh kami berdua tahu persis siapa pria yang kamu pilih dan bagaimana sifat serta sikapnya. Bicarakanlah berdua dengan Zian jika kamu dan dia memang saling memiliki perasaan. Kalau kamu atau Zian tidak juga bertindak, maka jangan salahkan kami kalau akhirnya nanti Ayah dan Ibu yang akan bertindak duluan," ujar Narendra.

"Ayah ... jangan mengancam begitu dong. Aku malu tahu sama Bibi Ayuni dan Paman Bagus. Mereka bahkan belum tentu setuju jika Zian memilih aku," mohon Tika, setengah merajuk.

Larasati dan Narendra jelas hanya bisa bungkam sambil menahan tawa masing-masing, usai mendengar apa yang Tika katakan. Manda pun bangkit dari kursinya, lalu menarik tangan Tika agar ikut bangkit dari kursi teras.

"Sudah merajuknya. Ayo, kita harus berangkat ke Garut sebelum mendapat ceramah dari Pak Bian," ajak Manda.

"Eh ... ajak Lili, ya. Jangan lupa," titah Larasati.

"Iya, Bu. Iya. Pasti Lili akan ikut kok sama kita. Kita enggak mungkin meninggalkan Lili begitu saja, nanti Lili bisa mengamuk tujuh hari tujuh malam jika kami tinggalkan," jawab Manda.

Lili pun keluar dari rumah tak lama kemudian setelah diberi tahu oleh Larasati. Naya dan Silvia mengantar mereka ke mobil, karena Larasati sudah berangkat ke rumah sakit dan Narendra juga berangkat untuk mengajar di sekolah.

"Baik-baik ya selama di rumah. Kak Silvia jangan terlalu capek, Naya juga begitu. Istirahat saja selama Kak Tio dan Reza belum pulang. Jangan beraktivitas terlalu berlebihan, terutama kamu Naya," pesan Lili.

"Iya, Kak Lili. Insya Allah kami akan banyak istirahat seperti yang Kakak anjurkan," jawab Naya.

"Yang hamil baru Naya loh, Li. Aku belum. Masa iya aku juga harus ikutan banyak istirahat. Lama-lama aku nanti bisa terkena osteoporosis sejak dini kalau terlalu banyak istirahat," protes Silvia.

"Mana mungkin begitu, Kak Silvia. 'Kan Kakak rajin minum susu berkalsium tinggi," balas Lili.

"Hei ... masih lama tidak bertengkarnya? Kalau masih lama, sebaiknya kalian bertengkar di dalam rumah saja dan biar kami pergi hanya berdua," saran Tika.

Silvia dan Naya langsung terkikik geli, sementara Lili yang panik langsung masuk ke dalam mobil. Mereka benar-benar berangkat ke Garut setelah berpamitan dan memastikan kalau Naya dan Silvia telah masuk ke dalam rumah.

"Kak Yvanna sudah dihubungi?" tanya Lili.

* * *

TUMBAL SUSUANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang