4. Menyusahkan Diri

429 74 32
                                    

Aziel tidak ingat kapan terakhir kali ia menginjakkan kaki di perpustakaan pusat. Kira-kira ... ketika masih berstatus mahasiswa baru kali, ya? Di saat dirinya yang clueless, mengekori Kale untuk meminjam buku rujukan di perpustakaan. Padahal, masih ada alternatif lain seperti bersikap sok arab dengan senior agar bisa mendapatkan buku turunan gratis dengan masa pinjam satu semester full. Namun, ya, sebagai mahasiswa baru yang ingin merasakan bagaimana euforianya bertingkah sebagai mahasiswa waras, Aziel malah berakhir dengan harus membayar denda hingga ratusan ribu karena lupa pernah meminjam. Sudahlah buku tidak terpakai, harus mengeluarkan uang pula.

Aziel bergidik. Memori ketika Kale mengomelinya karena terlalu teledor masih sangat membekas. Dia juga masih mengingat dengan jelas bagaimana nama panjang berserta nomor induk mahasiswa miliknya terpampang di depan loket pengembalian buku bersama jajaran mahasiswa yang memiliki denda buku terbesar di tahun ajaran itu. Nama Aziel ada di urutan tiga besar, sebuah prestasi yang layak untuk disebut-sebut jika tongkrongannya sedang membahas seberapa royal mereka terhadap kampus tercinta.

Beberapa menit yang lalu, Aziel baru saja mengunjungi kantin fakultas hukum untuk membuktikan ucapannya kepada Binar. Namun, eksistensi perempuan itu malah tidak berhasil ia temukan. Sejauh mata memandang, Aziel hanya mendapati Lia—satu-satunya teman Binar yang cukup Aziel kenal karena sempat dekat dengan Gyan. Perempuan yang kalau tersenyum membuat matanya berubah menjadi bulan sabit itu, langsung panik begitu bertemu tatap dengan Aziel.

"Ziel!" seru Lia dengan suara yang tertahan. Ia mempercepat langkahnya, menghampiri Aziel yang malah memamerkan senyuman—wajah tanpa dosa.

"Oit! Lia!" sapaan balik itu membuat Lia kalang-kabut. Sontak memutar badan untuk memperhatikan sekitar—tidak ada Radi, tidak ada Aan, oke aman. Barulah ia kembali menatap Aziel dengan perasaan yang sedikit lega. "Lo ngapain, anjir?" paniknya.

"Binar mana? Gue mau ketemu."

Lia menghela napas. Kedua orang ini pasti telah melakukan hal bodoh yang hanya bisa dimengerti oleh mereka sendiri. Apa yang belum Binar ceritakan sampai-sampai dirinya tidak bisa menemukan alasan di balik keberanian Aziel menginjakkan kaki di daerah musuh? Apa gegar otak dan menginap tiga hari di ICU masih belum cukup untuk membuat Aziel takut?

"Di perpus."

"Hah?"

"Bibi ke perpus pusat," ulang Lia—menyebut panggilan khususnya untuk Binar. Ia ingin mempersingkat interaksinya dengan manusia dari jurusan teknik ini sebelum ada yang menyadari. "Bibi lagi males dengerin Aan ngomel, makanya kabur ke perpus. Perpus kampus, ya, anjir. Bukan perpusnas."

"Oh, perpus pusat kampus." Aziel mengangguk-anggukkan kepala. Hampir saja ingatannya meraba-raba rute dari kampus ke perpustakaan nasional yang ada di Jalan Medan Merdeka jika Lia tidak memperjelas ucapannya. "Oke. Makasih, ya."

Lia mengernyitkan dahi. Menatap gelagat hendak pergi dari Aziel dengan penuh tanya. "Lo beneran cuma nyariin Bibi?" tanyanya, refleks mengekori langkah laki-laki itu menuju keluar kantin.

"Hooh." Aziel sudah tidak ingin ambil pusing dengan tatapan Lia. Dia harus fokus pada tujuan awal; menggertak Binar karena sudah tidak menurutinya kemarin. Seorang laki-laki harus memegang ucapannya, membuktikan dengan tindakan meskipun hal itu sangat berisiko. "Kenapa? Lo berharap gue nyamperin Radi? Atau nyari masalah sama Aan si Ketua Hima lo yang rese itu?"

"Dih! Janganlah!" seru Lia. Ambang kesadarannya baru saja kembali setelah kaki-kaki mereka hampir mencapai parkiran. Hadeh, bisa-bisanya dia tidak fokus. Seharusnya Lia berjalan menuju kesekretariatan himpunan untuk bertemu Aan, bukannya menemani ke mana langkah Aziel bergerak. "Kenapa gue malah ngikutin elo, sih?"

[END] Ruined by YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang