Mungkin ini yang dinamakan lost interest.
Natha pikir, ketika dia akhirnya berhasil mencapai tujuan yang sudah sejak lama diusahakan, perasaan bahagia luar biasa itu akan mengukung. Membuatnya lupa cara untuk berfungsi. Tersenyum terus setiap detik. Melupakan logika, mengedepankan rasa. Atau apa pun lah itu yang membuatnya tampak seperti orang bodoh.
Atau contoh konkretnya, seperti Aziel yang kini sudah diizinkan memanggil Binar dengan nama Kayin. Alasan sesederhana itu bisa membuatnya bahagia luar biasa.
Namun, anehnya, Natha tidak merasakan apa pun saat ini.
Ada rasa lain yang lebih mendominasi setelah pertemuan dengan Binar di supermarket waktu itu. Setelah pembicaraan serius di meja kantin dengan Aziel yang tertunduk tidak bersemangat sepanjang bahasan. Salah. Salah. Hingga yang mengitari Natha saat ini hanyalah perasaan bersalah.
Bahkan, sejak Gina duduk di hadapannya, menggantikan peran teman-temannya untuk menemani makan, Natha masih belum tersenyum barang sedetik pun. Dia benar-benar sudah tidak tertarik lagi dengan eksistensi perempuan ini.
"Makanan di sini memang sehambar yang orang-orang bicarain, ya." Natha mengaduk-aduk mie ayamnya yang pucat. Ini adalah topik pertama yang ia usahakan setelah duduk diam sekian menit lamanya.
"Katanya, sih, hampir nggak pakai micin. Bahan-bahannya juga organik."
"Oh." Kok gitu? Karena ini jurusan kesehatan, kah? Ibu-ibu kantinnya dikasih SOP buat masak, dong? Siapa yang ngarahin? Bapak dekan? Semua pertanyaan normal yang biasa Natha hebohkan, ia telan begitu saja. "Pantes harganya lebih mahal," sahutnya asal.
Makanan hambar dengan pembicaraan yang hambar.
Hanya Gina yang menikmati kunjungannya di kafetaria ini. Mahasiswa-mahasiswa lain yang berdatangan—yang masih menyandang jas putih, menenteng stetoskop—tampak sama suramnya dengan anak teknik yang Natha lihat sehari-hari. Kusut. Kurang tidur. Kurang hiburan.
Kumpulan orang yang makan untuk bertahan hidup. Bukan untuk memuaskan lidah.
Makanan sehat—tidak enak—ini memang dijadikan alasan oleh Gina setelah memutuskan untuk jauh-jauh melipir ke kafetaria Kedokteran. Tetapi Natha tidak sebodoh itu. Ia cukup sadar, perempuan ini hanya sedang menghindari orang-orang yang mengenalnya. Tidak ingin menimbulkan pertanyaan karena mau-mau saja bergaul dengan manusia yang sejak dulu terkenal mengejarnya dengan ugal-ugalan. Gina masih ingin menjaga image.
"... tapi kayaknya kita nggak perlu ngelakuin apa-apa lagi, sih. Interwiew-nya Aziel udah fix gagal."
Natha berkedip, baru sadar Gina sudah membicarakan Aziel lagi—seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ia ketinggalan beberapa kalimat, membuatnya harus berpikir agak lama agar tidak salah memberikan respons.
"Lo udah denger ceritanya dari Kak Darel, kan? Aziel dimarahin langsung sama Wakil Dekan 3."
"Dimarahin gimana...?"
Gina mengangkat bahu. "Nggak tau diri, he said. Ngapain juga provokator tawuran yang udah bikin malu fakultas sok-sokan pengen jadi delegasi kampus sampai ke Netherlands?" Ia meraih minumannya, tersenyum miring. "Gitu, deh. Terus interview-nya nggak lanjut karena Aziel malah banting kursi."
"Banting kursi –what?" Natha melepaskan pegangannya dari sendok. Aziel yang berbuat, dia yang merasa frustrasi. Kenapa, sih, temperamen jelek itu tidak bisa ditinggalkan sebentar dulu? Bahkan di agenda penting yang sudah cukup lama ditunggu-tunggu?
"I told you! Kita cuma perlu nungguin Aziel bikin onar lagi. Dia itu nggak bisa nahan marahnya. Anger issue parah. Gampang banget dipancing." Gina meraih selembar tisu untuk membersihkan ujung-ujung bibirnya. "Kayak kejadian waktu itu, kan? Keulang lagi."

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Ruined by You
Fanfiction!!! Haeryu !!! Kalimat, "Gue benci sama lo." yang keluar dari bibir Binar, tidak pernah berhasil membuat Aziel merasa segelisah hari ini. Semuanya terdengar berbeda. Dan sangat menggangu. Keseriusan Binar hari itu membuat Aziel terus-menerus memikir...