Epilogue

684 52 16
                                    

CW // kissing , slightly mature

***

Ada yang tidak bisa dihindari, karena bagaimanapun juga, pasti harus dihadapi.

Menjadi dewasa itu mengerikan. Rasanya seperti naik komedi putar. Berputar. Berputar. Tapi tidak bisa turun sebelum takdir memberi titah. Binar mendengar ini dari series Grey's Anatomy yang sering ia curi tonton tiap hendak makan.

Pikirnya, kenapa dianalogikan dengan komedi putar? Bukannya itu wahana yang paling aman? Tidak ekstrem. Tidak membahayakan. Mereka hanya perlu duduk. Mengikuti perputaran mesin. Lalu ... bosan, bosan. Iya, juga, ya? Kalau tidak bisa turun, lama-lama akan menyiksa juga. Pikiran tentang betapa amannya wahana itu akan hilang, menguap. Desakan untuk berganti wahana, timeline hidup, jelas terdengar lebih membangkitkan selera.

Karena, tumbuh dewasa sama dengan mengahadapi rutinitas yang tak lagi berwarna. Bosan. Bosan. Ingin bebas. Ingin menyelami imajinasi seluas yang dimiliki masa remaja tanggung. Ingin naik roller coaster. Ingin merasakan arum jeram. Atau apa pun yang menantang adrenalin. Nyatanya, realita hidup malah memaksa mereka untuk duduk tanpa neko-neko.

Mengambil resiko bukanlah pilihan yang bagus jika ingin hidup aman dan tentram. Sudah tidak ada orang tua yang akan sigap membantu; kalau-kalau nantinya terjatuh.

Namun, bukannya pandangan itu sangat bertolak belakang dengan ungkapan hidup hanya sekali? Tidak banyak waktu yang tersisa untuk mencoba semua wahana. Meski jelas lebih berisiko, kenapa tidak terobos saja? Adrenalin itu lebih menyenangkan, karena rasanya lebih seperti hidup; jantung berdegup, napas memburu. Tidak ada panduan baku atas urutan kehidupan, kan? Kita bebas menjadi remaja, meski katanya sudah dewasa. Boleh menjadi anak-anak lagi, asal tetap bertanggung jawab terhadap kewajiban. Kalau mau, juga tidak ada larangan menjadi lebih tua dari umur yang tertera.

Bebas, bebas. Kalau bosan, turun saja. Ganti wahana.

Dan lagi pula, Binar menyusuri semua sisa wahana ini bersama Aziel.

Laki-laki itu selalu mengucap iya untuk semua pintanya. Walau aneh-aneh. Meski dirinya sendiri, kadang, juga tidak mengerti.

"Kamu nggak akan beliin saham McD kalau aku minta, kan?"

"Sayang." Aziel mengunyah sisa kentang yang ada di mulutnya. Kebetulan dia sangat menjunjung tinggi larangan bicara saat makan. "Aku sayang kamu, karena itu aku bisa ngelakuin apa aja. Tapi kamu mikir juga, dong, Kayinku. Kira-kira aku bisa wujudin sekarang juga, nggak? Atau harus jual ginjal dulu, terus nabung sampai 100 tahun ke depan." Dia menghela napas. Berpura-pura merasa frustrasi. "Memang kayaknya cuma aku doang yang sayang sama kamu. Ini semua aslinya nggak mutual, kan? Kamu nggak sayang aku balik, kan?"

"Aku cuma bercanda..."

"Kamu aja yang bercanda. Kasih ke aku yang bagian seriusnya."

"Mulai."

Sepersekian detik, Binar menatap Aziel sinis, menyendokkan es krim rasa vanila itu dengan wajah yang galak. Detik berikutnya, ia malah tertawa. Situasi ini masih terasa sangat lucu baginya. Bagi mereka. Karena Aziel juga ikut tertawa setelahnya.

Beberapa jam yang lalu, Binar baru saja merengek ke Aziel untuk bolos kerja. Kepalanya nyaris pecah. Dan dia sangat ingin lari dari tanggung jawab yang menggunung itu. Yang kemudian, langsung diwujudkan Aziel tanpa tanya.

Tadinya mereka hanya berkeliling Jakarta. Membuang-buang bensin yang mahal. Menimbulkan emisi yang bisa merusak bumi. Setelah bosan, dan sebelum Binar bercelutuk asal, "Gimana kalau kita ke Puncak aja?" Mereka memutuskan memakan burger yang di-order lewat drive thru, di parkiran restoran cepat saji ini.

[END] Ruined by YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang