Dibanding mendengarkan lagu sesuai urutan playlist, Binar lebih suka jika dijadikan mode shuffle. Ia suka perasaan menebak-nebak dalam keadaan clueless, kemudian merasakan letupan senang jika lagu yang terputar selanjutnya sesuai dengan mood yang sedang ia miliki. Kemudian, jika tidak sesuai harapan, Binar akan menikmati rasa pasrahnya. Mendengarkan hingga habis dengan pikiran, "Sabar, nanti juga sampai ke titik yang kamu tuju."
Mungkin, karena itu ia akhirnya mulai menikmati lagi hari-hari bersama Aziel.
Tiap detik yang Binar lalui bersama Aziel, rasanya seperti memutar lagu dari playlist acak yang tidak bertema. Semua genre dari banyak penyanyi tergabung menjadi satu. Tidak ada clue; di luar prediksi. Hingga, ketika atensi Binar kembali menyentuh jiwa, yang ia temui adalah keterkejutan dengan letupan rasa senang yang tidak pernah ia kira-kira.
Seperti ketika laki-laki itu mengetuk jendela mobilnya di pagi hari—yang kelewat pagi untuk ukuran Aziel—dengan muka bantal dan rambut acak-acakan. Nyawa belum terkumpul sepenuhnya, tetapi sudah berdiri di halaman rumah Binar.
Binar bingung. Terkekeh melihat wajah—lebih—bingung dari Aziel.
"Kata lo, gue boleh bawa mobil sendiri hari ini?"
"Hm." Suara berat khas bangun tidur itu membuat Binar mengatupkan bibir. Aziel berdeham, menyipitkan mata lantaran silau cahaya dari sunrise mulai mengganggu pandangan. Detik berikutnya ia bersin—dasar manusia aneh yang punya alergi dengan sinar matahari. Baru kemudian mengangkat kotak bekal yang sudah sejak tadi ia tenteng. "Sandwich. Gue. Yang buat."
"Thank you?"
"Buat sarapan."
"Iyaa. Makasih."
Baru beberapa langkah, Aziel berbalik lagi. Mengetuk jendela mobil lagi. "Have a nice day, Kayin," ucapnya sambil tersenyum.
Atau, ada hari-hari di mana anak BEM fakultas disibukkan dengan musyawarah besar. Menyampaikan laporan pertanggung jawaban atas program kerja selama periode jabatan hanya untuk dicari-cari kesalahannya oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan juga demisioner. Aziel mendatangi Binar dengan wajah super kusut—mungkin departemennya baru saja dibantai habis-habisan dengan opini-opini jelek tanpa solusi.
"Utang gue berapa, sih?" tanyanya. "Inget, nggak?"
Binar mengernyit, menggelengkan kepala—masih terlalu sibuk mempelajari situasi—untuk menjawab pertanyaan tanpa pembuka itu. Aziel baru saja menghadirkan dirinya di sarang musuh, menyandarkan punggung pada sandaran kursi kafetaria Fakultas Hukum seolah-olah tidak ada yang salah—ya seharunya memang begitu, sih; semua mahasiswa berhak atas fasilitas umum yang tersedia. Masih mengenakan almamater dengan emblem M Solidarity yang tertempel di salah satu sisi bahunya—sangat menarik perhatian banyak orang. Meski sempat panik karena keberadaan Radi dan teman-temannya di sudut kanan, Binar akan tetap mengikuti arus yang Aziel buat.
"Gimana kalau gue mutusin buat nggak bayar?" Aziel tersenyum. Mencondongkan badannya ke depan agar lebih dekat dengan wajah Binar. "Tapi lo nggak boleh ikhlas, ya."
"Kok...? Biar apa?"
"Biar, kalau kita nggak ditakdirin bareng-bareng di dunia, gue bisa ketemu lagi sama lo. Di akhirat. Waktu lo nagih utang."
Binar terkekeh. Deretan kalimat itu benar-benar tidak pernah terpikirkan olehnya. Hanya Aziel. Hanya laki-laki random ini yang bisa. "Apaan anjir."
"Nggak lucu, ah, ternyata." Wajah Aziel kembali kusut. "Kita harus ditakdirin bareng-bareng, dunia-akhirat."
Tebak, siapa yang diam-diam mengucap 'Aamiin'?
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Ruined by You
Fanfiction!!! Haeryu !!! Kalimat, "Gue benci sama lo." yang keluar dari bibir Binar, tidak pernah berhasil membuat Aziel merasa segelisah hari ini. Semuanya terdengar berbeda. Dan sangat menggangu. Keseriusan Binar hari itu membuat Aziel terus-menerus memikir...