23. Hidup dan Hilang

371 59 9
                                    

Mimpi buruk itu masih panjang—belum terbangun juga—dan Aziel harus melewatinya tanpa Binar.

"Makan dulu, Bang."

"Nanti."

Aya menghela napas. Laki-laki yang sudah duduk menghadap laptopnya sejak pagi itu, masih belum juga beranjak. Dahinya mengernyit tiap kali jari-jari itu menari di atas keyboard, berhenti sebentar untuk membaca ulang, lalu membuka-buka buku tebal yang berserakan di meja belajar. Jelas Aziel tidak tertarik dengan tatapan Aya yang belum juga teralihkan.

"Lo nggak kebelet pipis memangnya?"

Berhasil. Atensi Aziel teralihkan juga. Raut wajahnya membuat Aya terkekeh. Mungkin, kalimatnya tadi sudah berhasil memancing apa-apa yang sudah ditahan. Tanpa suara, laki-laki itu berjalan melewati Aya; menuju toilet. Tidak berselang lama ia sudah keluar lagi. Duduk lagi di kursi gaming yang juga berfungsi sebagai dudukan untuk mengerjakan tugas.

"Kenapa lagi?" tanyanya setelah cukup lama ekor matanya menangkap keberadaan Aya yang masih belum juga beranjak dari ambang pintu.

"Mau mastiin lo makan—"

"Nggak laper—"

"Abang Iel."

Sorot mata Aya sudah berubah. Kode keras bagi Aziel untuk tidak lagi menyepelekan. Dia berdecak. Dengan kaki yang dihentakkan, berjalan menuju nampan berisi makanan yang sudah diletakkan Aya di atas rak sekitar pintu. Sorot mata itu masih mengikuti, menatap Aziel dengan galak. Menunggu hingga suapan ketiga, kelima, ketujuh.

"Udah."

"Habisin setengahnya."

Ada hal-hal yang membuat Aziel agak menjadi penurut kali ini. Dan alasan terbesarnya ialah, dia memang sedang tidak memiliki tenaga saja. Memberontak itu melelahkan. Sedangkan kalau boleh jujur, ia masih belum mencerna apa pun sejak kemarin sore setelah Binar menyuruhnya—mengusir dalam pandangan Aziel—pulang dengan ekspresi yang masih membekas di kepala.

"Makanan dari siapa ini? Beli?"

"Dari Kak Natha."

Sendok itu dijatuhkan Aziel dengan keras. Membuat Aya mengatupkan bibir, menyesal telah membahas hal lain yang lebih sensitif.

"Bercanda."

"Nggak lucu."

"Dari Kak Kayin."

"Nggak lucu, Aya."

"Beneran dari Kak Kayin."

Aziel mengangkat alis kanannya. "Jadi maksudnya, Kayin nge-chat lo tapi masih nggak mau bales chat gue?"

"Bukan gitu...."

Bahu yang merosot, juga hening yang mencekik ini, menjadikan perasaan bersalah Aya menyala-nyala. Ia menunduk, memainkan jari-jarinya yang saling bertaut.

"Harusnya gue nggak nelpon kalian, ya, waktu itu? Harusnya gue bisa sabar, nungguin kalian sampai pulang konser –Maaf, Abang."

"Jangan minta maaf." Aziel beranjak, menyusul tempat berdirinya Aya. Ia raih jari-jari itu agar tak saling menekan satu sama lain. Agar kopekannya tidak bertambah parah. "Kayin memang harus dikabarin, Aya. Mama Jihan pingsan di kantor karena lembur sampai masuk IGD. Tindakan lo udah bener." Pandangan Aziel masih belum terangkat. "Tapi momennya, tuh ...." Ia tersenyum miring, perlahan mulai membalas tatapan Aya yang sedang dipenuhi rasa bersalah. Dalam hitungan detik, sudah berpindah ke Aziel. Rasa itu miliknya; lebih dari siapa pun.

"Kalau jadi Kayin, gue juga maunya jauh-jauh aja dari si Iel Iel itu. It's a sign, nggak sih? Dari Tuhan, mungkin. Tiap lagi bareng gue, ada ... aja kabar buruk yang harus dia terima."

[END] Ruined by YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang