17 : End in Peace

38 5 0
                                    

Lea tahu keputusannya akan menyakiti banyak pihak. Tapi, bolehkah kali ini saja Lea egois? Bisakah kali ini saja Lea tidak kehilangan orang yang dicintainya seperti lima tahun yang lalu?

Awal pertemuan Lea dengan David hanya sebatas bisnis. Hanya sebatas rekan kerja. Tak disangka, dengan beraninya ia menaruh hati pada lelaki yang sudah beristri tersebut. Setelah kehilangan suami pertamanya lima tahun yang lalu, Lea sama sekali tidak ada niatan untuk menikah lagi. Wanita itu seolah menutup hati, tak membiarkan seorang pun mendekati.

Tapi kali ini berbeda. David berbeda dengan yang lain.

Terpaut usia yang cukup jauh, Lea sempat khawatir. Apalagi lelaki itu sudah beristri dan mempunyai dua anak. Namun takdir tetaplah takdir. David memutuskan untuk bercerai dengan istrinya dan menikah dengan Lea. Perempuan yang baru ditemuinya delapan bulan terakhir.

"Saya Alaska."

Lea terpaku saat pertama kali bertemu dengan Aksa yang saat itu baru berusia lima belas tahun. Bocah itu benar-benar mirip dengan ayahnya. Suara dinginnya yang menyapa Lea langsung membuat perempuan itu kikuk seketika.

"Saya Lea. Salam kenal, Alaska."

Aksa tidak membalas uluran tangannya membuat Lea menarik kembali dengan canggung. Ia tahu, sangat tahu. Ia sudah berhasil menyakiti hati anak ini. Anak yang tidak tahu apa-apa. Anak yang amat sangat menyayangi bundanya.

"Selamat, Tante."

Lea tak tahu harus berkata apa saat melihat keberanian Aksa yang datang dipernikahannya dan sang ayah. Cowok itu dengan santai mondar mandir disana seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal ia jelas tahu. Hati Aksa tidak baik-baik saja.

"Haduh, pusing saya, Bu. Sebenarnya saya senang jadi guru BK disini karena jarang ada murid bermasalah. Tapi sekalinya ada masalah pasti orangnya itu mulu, Bu, sampai bosan saya ngasih tahunya."

Lea tersenyum kaku saat mendengar guru BK disekolahnya bercerita. Lea jelas tahu siapa yang dimaksud guru tersebut. Lea jelas tahu kelakuan Aksa dua tahun belakangan ini. Dan Lea jelas tahu apa yang membuat Aksa melakukan semua hal ini.

"Bu Yati bilang kamu sering masuk BK?" tanya Lea sengaja pura-pura tak tahu, "Kenapa, Aksa?"

Ruangan kepala sekolah terasa senyap. Bu Yesi yang juga berada disana hanya diam menatap prihatin ke arah Aksa yang punggung tangannya diperban.

"Saya cuma melakukan hal yang saya mau." jawab Aksa dingin.

Lea menghela nafas, kehilangan kata-kata. Perempuan itu sama sekali tidak ada niat untuk memarahinya. Karena ia tahu penyebab Aksa marah dan kesal kali ini adalah dirinya sendiri.

"Tapi itu salah, Aksa." ujar Lea setelah beberapa menit terdiam, "Kakak kelas kamu sampai di bawa ke rumah sakit. Dan tangan kamu juga di perban, kan?" lanjutnya melirik tangan cowok itu, "Jangan kayak gini. Emangnya kamu nggak capek berantem terus? Sakit lho itu."

"Bu Lea ngerti apa?" balas Aksa tajam. Yang kemudian tersenyum remeh, "Oh, Bu Lea cuma ngerti mengambil sesuatu yang bukan haknya kan?"

Wanita itu tersentak, segera melirik Bu Yesi yang terlihat ingin mencegah Aksa dan membawanya keluar.

Lea meneguk ludah, "Aksa." katanya memperingati, "Ini di sekolah dan saya kepala sekolah kamu."

"Hal itu nggak mengubah fakta kalau Bu Lea tetap menghancurkan keluarga saya."

Dan pertengkaran itu pun terjadi. Aksa yang kelewat emosi meninggikan suaranya dan melempar barang-barang yang ada di atas meja.

Sampai Shanum masuk dan menghentikan cowok itu.

...

Hari senin kembali datang.

Untuk kedua kalinya Lea menjadi pembina upacara di Aksara Nusa. Semuanya berjalan lancar. Tak disangka amanatnya kali ini malah membuat para siswa-siswi disana bertepuk tangan. Termasuk Alaska Sauqi Pranomo yang berada di barisan paling belakang.

Upacara telah selesai.

Siswa-siswi diminta untuk berada dilapangan sebentar. Mereka beringsut duduk, mengibas-ngibaskan topi dengan logo Aksara Nusa ke arah leher. Panas.

"Lo tahu nggak kenapa matahari panas?" Caca kembali melontarkan tebak-tebakkan, "Soalnyaㅡ"

"Ya, kalau dingin mah es, Ca!!!" Vio bersungut-sungut membalas, melempar topinya ke arah Caca.

Mic kembali berbunyi dengan suara Pak Haris didepan sana. Beliau mengumumkan bahwa akan memberikan hadiah pada tim basket Aksara Nusa yang berhasil masuk ke semifinal. Teriakan dan sorakan terdengar dari siswa-siswi disana. Anggota tim basket diminta untuk maju menerima hadiah. Eric mengangkat hadiahnya tinggi-tinggi lalu berkata, "Hadiah ini saya persembahkan buat Aksa, teman kecil saya yang ngenalin basket ke saya. Kalau nggak ada dia, saya nggak bakal kenal basket dan dapat hadiah ini." ucapnya dramatis.

Siswa IPS 4 menyorakinya sambil mendorong-dorong Aksa menyuruhnya untuk maju ke depan. Cowok itu mendecak, berteriak marah dan mengumpati Eric yang berada didepan sana.

Sepuluh menit setelahnya mereka dibubarkan. Kembali masuk ke kelas masing-masing. Aksa yang sedang mencuci tangan di keran dekat lapangan tersentak kaget saat Lea datang menghampirinya.

"Bisa ngomong sama kamu sebentar?"

...

Aksa bersiul santai dengan satu tangannya yang ia masukkan ke kantong. Koridor kelas terlihat sepi karena semua siswa sudah masuk ke dalam kelas. Ia melirik tangan kirinya yang memegang sebuah bungkusan yang ia dapat dari Lea tadi.

"Ini, saya ada sesuatu buat kamu. Tolong kasih ke Shanum juga ya." ucap Lea tersenyum, menyerahkan bungkusan itu pada Aksa, "Terima kasih untuk kue dan tulisan kamu kemarin."

Aksa berhenti di depan kelas IPS 1 yang kebetulan pintunya terbuka. Melirik sana-sini mencoba menemukan Shanum diantara teman sekelasnya. Mata mereka bertemu. Shanum menaikkan alis bertanya ada apa. Aksa mengangkat dan menunjuk bungkusan ditangannya lalu membuat isyarat agar gadis itu keluar sebentar menghampirinya.

Shanum meletakkan pulpen ke atas meja, mau tak mau berdiri izin sebentar pada guru yang tengah mengajar dikelasnya. Teman sekelasnya yang sejak tadi memperhatikan Aksa dan Shanum menyoraki keduanya. Membuat Shanum menggeram sebal mengancam akan menjambak mereka satu persatu.

"Apaan?" tanya Shanum melipat kedua tangan di dada, "Buruan ntar gue dimarahin!"

Aksa mengeluarkan sekotak makanan dari dalam plastik, "Nih, buat lo. Tadi gue ketemu Bu Lea terus dia ngasih ini buat lo sama gue."

Shanum menatap kotak yang ternyata berisi makan siang tersebut, "Lo.. kemarin nulis apa buat Bu Lea?" tanyanya kepo.

"Harus banget gue kasih tahu?"

Shanum bergumam sebal, "Gue cuma penasaran! Kayaknya lo sama Bu Lea.. udah baik-baik aja?"

"Emangnya gue sama Bu Lea kenapa?"

"Dih, yang kemarin mecahin piala di ruang kepala sekolah terus gue perban telapak tangannya tuh siapa?"

Aksa mengangkat bahu santai, "Siapa ya?"

Baru saja ingin membalas, tiba-tiba Jeno muncul membuat Shanum juga Aksa menoleh ke arahnya.

"Sha, masuk." suruh Jeno di daun pintu, "Buruan. Kata Pak Eko nanti lo nggak boleh masuk lagi."

Shanum mendecak, mau tak mau menurut. Sebelum benar-benar menutup pintu kelasnya, Jeno menatap Aksa sebentar. Aksa jadi tertegun, entah kenapa merasa ganjil dengan tatapan temannya satu itu.




















...

NeverthelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang