"Evelyn,"
Cewek berambut coklat itu sedikit terkejut saat Shanum mendekatinya. Ia mengedipkan mata beberapa kali sebelum menyahut panggilan Shanum barusan. Gadis itu jelas bingung karena sebelum ini dirinya dan Shanum jarang sekali mengobrol.
"PR lo udah? Mana?" Shanum mengadahkan tangan meminta membuat Evelyn jadi tersentak buru-buru memberikan buku catatannya.
"Ini," Evelyn tersenyum kecil, "Makasih ya."
Shanum mengangguk, "Kalau ada sesuatu, jangan sungkan bilang ke gue ya," ujarnya tiba-tiba, "Atau lo bisa bilang ke Farhan, dia kan ketua kelas kita."
Evelyn meneguk ludah, entah kenapa jadi merasa gugup, "Iya, Shanum."
Gadis didepannya tersenyum, "Habis ini.. gue mau ngobrol sama lo, boleh?"
...
Jam menunjukkan pukul enam lebih lima belas. Sekolah sudah bubar sejak tiga jam yang lalu. Aksa dan teman-temannya memutuskan untuk bermain bola sebentar di lapangan sekolah. Dengan Jeno yang memilih pulang duluan dengan alasan harus mengerjakan PR untuk besok.
"Udahan dong cold war nya," celetuk Jaffran saat mereka di parkiran hendak mengambil motor masing-masing, "Kayak anak kecil rebutan mainan aja."
Aksa yang mendengar itu hanya mendengus tak mempedulikan.
"Tahu tuh," Bagas menyahut, "Eh, muslim kalau bertengkar lebih dari tiga hari tuh nggak boleh!" serunya galak.
"Halah, lu kayak yang solat aja." desis Rehan.
"Dih, gue kan ngasih tahu Aksa." balas Bagas melotot tak terima, "Harusnya lo ngomong begitu ke dia."
"Udah, lo berdua tuh sama aja." Eric datang membawa motor maticnya, mengibaskan tangan santai, "Kalian mana pernah solat,"
"Ya, elu juga!" tunjuk Jaffran.
"Lah, gua kan ke gereja, monyet!" Eric menendang roda belakang motor Jaffran dengan sengaja.
Aksa memutar bola mata jengah, kini menaiki motor hitamnya dan menyalakan mesin membuat yang lain jadi ikut bersiap pergi. Sepanjang perjalanan pikiran Aksa fokus pada kejadian dua hari yang lalu. Cowok itu memutuskan untuk mengumpulkan lebih banyak bukti sebelum melaporkan Elang pada pihak sekolah. Lagi pun, orang-orang tak akan percaya jika bukti yang ia punya hanya sebuah rekaman suara saja.
Mereka sampai di daerah rumah Bagas karena harus mengantarkan cowok itu yang kebetulan tidak membawa motor hari ini. Bagas tinggal disebuah rumah warisan neneknya bersama kakak laki-lakinya. Daerah tersebut terkenal sepi karena sembilan puluh persen penghuni disana adalah para lansia.
"Ini emang perumahan udah lama banget, makanya yang tinggal disini udah pada tua-tua." jelas Bagas saat yang lain bertanya hari itu.
"Lo juga dong," celetuk Eric jahil membuat Bagas kesal menjambak rambut cowok itu.
"Lho, itu bukannya mobil si Elang ya?" Rehan bertanya sambil menunjuk sebuah mobil mewah berwarna silver yang terparkir di pinggir jalan dekat gang rumah Bagas.
Mereka jelas tahu karena dari sekian banyaknya murid Aksara Nusa, Elang Pradana adalah satu dari empat murid yang membawa mobil mewahnya ke sekolah. Sudah menjadi rahasia umum kalau cowok yang memiliki badan besar itu adalah anak dari keluarga kaya raya.
"Ngapain dia mobilnya ada disini?" Jaffran jadi ikut menyahut penasaran.
"Lagi bertamu kali," balas Bagas mengangkat bahu, "Mobilnya di parkir disitu."
"Bertamu ke siapa, nyet!? Kata lo kan disini isinya nenek-nenek semua!"
"Ya, siapa tahu neneknya disini!" Bagas mendecak sebal, "Ribet banget sih lo, anjing."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nevertheless
Fiksi Penggemar[ ON-GOING ] Shanum pikir, pertemuannya dengan Aksa di jam sebelas malam itu adalah pertemuan yang pertama dan terakhir baginya. Tapi siapa sangka, Shanum malah menyeret Aksa yang tidak tahu apa-apa ke dalam masalah pribadinya. "Please, kali ini aja...