Shanum berlarian di koridor sekolahnya. Ia berhenti saat melihat teman-teman Aksa sedang duduk menunggu di depan ruang BK. Gadis itu mengatur nafasnya pelan-pelan. Eric dan yang lain sadar akan kedatangan Shanum. Melihat Shanum yang berlari kesini membuat Jeno mengernyit bingung memutuskan untuk menghampirinya.
"Kenapa kesini?"
Shanum mendongak, "Ah, ituㅡ"
Pintu ruang BK terbuka. Shanum melebarkan mata menatap Barra dan Aksa yang lukanya masih belum di obati sejak tadi. Ia hendak melangkah menghampiri namun terhenti saat melihat mamanya disana.
"Mama?"
Mama mengajak Barra ke ujung koridor untuk mengobrol. Shanum bahkan melihat bagaimana ibunya itu tersenyum manis dan mengelus rambut Barra dengan penuh kasih sayang.
Shanum lama terdiam membuat Jeno jadi menoleh ke belakang melihat apa yang gadis itu lihat. Aksa yang masih berdiri didepan pintu ruang BK perlahan menghampiri Shanum lalu menggenggam lengannya.
Shanum tersentak kaget. Aksa menariknya sambil menunjuk Mama dan Barra dengan dagunya. Shanum mengangguk kecil dan ikut melangkah dengan perasaan ragu.
Mama nampak kaget melihat putrinya datang bersama pelaku yang membuat calon menantunya babak belur. Wajah ibu beranak satu itu jelas tak suka saat melihat Aksa yang kini berdiri disamping Shanum.
"Mama.. ngapain kesini?" tanya Shanum.
"Mama di telpon tante kamu," jawabnya dingin, "Dia bilang kalau Barra dipukuli teman sekelasnya." lanjut Mama sambil melirik Aksa didepannya.
Shanum meneguk ludah mencoba menguasai diri, "Maaf." ucapnya membuat ketiga orang itu menoleh seketika. Ia menatap Barra sejenak, "Tolong maafin Aksa."
Aksa menatap gadis disampingnya dengan wajah tak percaya. Ia beralih menatap Barra yang kini melihatnya dengan wajah tak suka.
"Buat apa kamu minta maaf, Valerie?" sahut Mama tak mengerti, "Harusnya dia yang minta maaf sama Barra." ujarnya menunjuk Aksa tanpa ragu.
Aksa menatap datar wanita yang berumur empat puluh enam tahun tersebut, "Bukan saya yang mulai duluan."
"Kamu pintar juga ya ngebales omongan orang tua?" balas Mama menatap tak suka, "Diajarin apa kamu sama orang tua kamu? Kayak nggak berpendidikan begini."
"Ma!" Shanum menyela, "Apa-apaan sih? Omongan Mama keterlaluan tahu nggak?"
Mama menoleh pada putri satu-satunya itu, "Diam kamu, Valerie." tegasnya kemudian kembali menoleh pada Aksa yang diam sejak tadi, "Kamu. Saya sudah dengar semuanya dari Barra." ujar Mama membuat Shanum dan Aksa sama-sama melebarkan mata terkejut.
"Jauhi anak saya." lanjut Mama dengan suara lantang, "Saya cuma punya Valerie. Dan masa depan Valerie ada di tangan saya. Saya nggak bisa membiarkan putri saya satu-satunya berakhir dengan preman seperti kamu."
Aksa diam, raut wajahnya terlihat tenang. Namun sebenarnya ia tidak baik-baik saja. Hatinya mencelos sakit mendengar setiap kata yang keluar dari mulut wanita tersebut.
"Ma!" Shanum menatap mamanya tak percaya, "Aksa bukan orang kayak gitu!"
"Valerie, jangan kamu pikir selama ini Mama nggak capek dengar kamu membantah setiap hari." Mama menatap tajam putrinya itu, "Apa susahnya kamu nerima Barra? Masa depan kamu terjamin kalau sama dia! Nggak dengan cowok ini!"
"Mama!"
Koridor sepi itu makin terasa lengang. Jeno yang sejak tadi memerhatikan di belakang jadi mengepalkan tangan berusaha menahan emosi melihat temannya dihina seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nevertheless
Fanfiction[ ON-GOING ] Shanum pikir, pertemuannya dengan Aksa di jam sebelas malam itu adalah pertemuan yang pertama dan terakhir baginya. Tapi siapa sangka, Shanum malah menyeret Aksa yang tidak tahu apa-apa ke dalam masalah pribadinya. "Please, kali ini aja...