45. Menyadari

155 2 0
                                    

Alifa duduk terdiam menyendiri menatap langit yang sudah berwarna hitam.

“Pembunuh”

Suara tegas dari Bagas dua minggu lalu saat di sekolah itu terlintas di ingatan Alifa. Ia memejamkan matanya, meluncurkan air bening yang berhasil membasahi pipinya secara perlahan. Apa ia begitu jahat?

Apa ia begitu jahat terhadap Firda?

Kalau boleh jujur, ia begitu iri dengan Firda. Sedari dulu Firda selalu di kelilingi orang yang ia sayangi. Sedangkan dirinya tidak pernah merasakan. Radit?
Sepupu satu satunya yang menjadi harapan Alifa saat ini. namun , pada kenyataannya. Radit pun pergi meninggalkan dirinya seorang diri.

“Terserah”

okee kita cerai”

“Alifa.. ikut papa”

Tangis Alifa semakin menjadi saat mengingat pertengkaran orang tua nya yang berakhir pisah. Dan ia ikut dengan sang papa.
Entah Alifa tidak tahu penyebab orang tua nya selalu bertengkar, meski ia selalu mendengar setiap hari pertengkaran dari papa dan mama nya itu.

Sungguh, ia juga ingin seperti yang lain.
Berbahagia tanpa beban, sudah lelah ia hidup menanggung beban sendirian. Jangan pikir hidup tinggal berdua dengan sang papa itu suatu kebahagiaan, itu jauh dari ekspetasi Alifa.

Justru ia selalu di tinggal menyendiri di dalam rumah ini. papanya selalu sibuk di luar, entah karna pekerjaan atau bukan.

Alifa bertemu dengan Bagas dengan harapan besar ia akan bahagia. Nyatanya tidak sama sekali.

Alifa bertemu kembali dengan Firda, dengan harapan besar ia akan mengurangi beban di pundaknya. Nyatanya tidak sama sekali.

Alifa selalu di temani Radit sepupunya, dengan harapan besar ia akan merasa terbantu apapun itu. Nyatanya tidak sama sekali.

Kenapa dunia ini begitu jahat?

Kenapa semesta ini tidak mengijinkan aku untuk bahagia?

Kenapa?

Kenapa?

Alifa menenggelamkan kepalanya di atas lutut yang ia peluk. Mengeluarkan rasa tangis yang ia tahan selama ini,
rasa sesak di dada yang ia pendam selama ini. sungguh, ia tidak tahan, ia sudah muak, sudah lelah, letih, lesu.

Bolehkah ia menyerah?

“Aku capek paaa.. maaaa”

Alifa semakin terisak sendiri, ia sangat membutuhkan seseorang yang bisa menenangkannya. Tapi tidak ada, ia berharap ada Radit disini.

“Radiiiitttt”

Teriak Alifa berharap Radit mendengar suara tangis nya. Ia sangat membutuhkan Radit saat ini.

Tangan Alifa tiada henti memukul dadanya yang teramat sakit, lebih tepatnya hati yang sakit.
Tangis Alifa berkurang seketika, ia sudah lelah. Ia mengusap air matanya kasar, lalu kembali menenggelamkan kepalanya di atas lulutnya.

“it’s okay Lif, gue disini”

Suara yang sudah Alifa kenali, suara dari seseorang yang Alifa harapkan, merasa ada yang mengelus kepalanya. Alifa mendongak menatap seseorang itu.

“Radit”

Alifa memeluk erat tubuh Radit. Radit tersenyum mengelus punggung Alifa , ia juga merasa bersalah sebenarnya. Dan juga merasa jahat disini.

“ssssttt udah jangan nangis lagi”

Radit mengelus pucuk kepala Alifa lembut, menenangkan.
Alifa melepaskan pelukannya. Lalu kembali terduduk di ikuti oleh Radit duduk di samping Alifa.

BAGASKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang