"Kamu yakin akan pergi?" Liyonna bertanya pada Tiffania untuk terakhir kali. Wanita itu seperti terburu-buru meninggalkan pulau ini, setidaknya dia bisa tinggal untuk beberapa hari."Iya,..." balasnya.
Tiffania mengangkat sekantong barang yang ia terima dari penduduk kota, dia mengenakan mantel berbulu lengkap dengan sepatu dan sarung tangan khas musim dingin. "Lagi pula aku ingin melihat kampung halamanku." imbuhnya.
"Anda yakin tidak ingin menunggunya bangun?" kali ini Profesor yang bertanya kepada Tiffania. Wanita itu menggeleng cepat.
Dia menarik nafas dalam-dalam, melihat lautan lepas di tengah cahaya surya yang mulai terlihat. "Tidak perlu, biarkan bocah itu beristirahat."
Tiffania berbalik menatap Profesor dan Liyonna, lalu memperhatikan kota. "Kota ini akan menjadi kenangan tersendiri untuk ku. Ditambah dengan kepergian-nya, tempat ini lebih berharga dari pada kampung halaman kami."
"Tetapi, bagaimanapun juga aku ingin melihat negeri tempat kami dilahirkan. Setelah tragedi itu, entah apa yang terjadi dengan tanah kami."
Tiffania menitipkan sebuah kantung kulit kepada Profesor, "Tuan, tolong berikan ini kepada Edi. Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepadanya. Setidaknya biarkan benda ini sebagai kenang-kenangan dari kami."
Kemudian Tiffania beralih menatap Liyonna, gadis itu sudah berkaca-kaca. Dia mendekati Liyonna, lalu mengelus rambutnya. "Liyonna, aku senang bisa bertemu meski hanya sebentar. Aku yakin, suatu saat kamu akan menjadi gadis yang menawan."
"Kita hanya berbeda beberapa tahun, mungkin kamu seusia adikku. Jika kamu berpetualang, jangan lupa untuk berkunjung ke Utara. Aku akan menunggu di sana."
....
Siluet sebuah perahu kecil dengan seorang Wanita mengarungi samudra menjadi pemandangan beberapa orang di pagi itu. Liyonna masih saja terisak, ia berharap bisa memiliki seorang kakak seperti Tiffania setelah kehilangan kedua orang tua.
Profesor sudah mendapatkan beberapa informasi yang diperlukan, tujuan mereka jauh di barat. Tiffania menyarankan untuk melewati perairan selatan, karena laut utara lebih ganas. Mengingat kondisi Edi, mereka tidak perlu terburu-buru dalam perjalanan. Setidaknya bocah itu bisa berkembang lebih kuat sebelum menghadapi musuh utama, Tiffania juga menyarankan agar Edi mengasah mentalnya lebih. Akan ada banyak pengorbanan yang harus dia saksikan.
Sudah pasti perjalanan mereka akan menemukan pertempuran, tidak sedikit juga nyawa melayang karenanya. Jika mental bocah itu belum cukup kuat, Edi bisa saja tumbang kapan saja. Bukan kekuatan fisik yang menjadi penentu, ketahanan jiwa dan kekuatan mental juga ikut andil.
"Jadi, wanita itu pergi lebih cepat dari yang di duga."
Ragus datang terlambat, dia membawa sebuah gulungan kertas di tangannya.
"Aku kira dia akan menghadiri pemakaman korban, ternyata tidak sama sekali."
Pria itu memberikan gulungan yang ia bawa kepada Profesor, "Kalian akan membutuhkan ini nanti."
Gambar. Peta
Sebuah peta dunia Profesor terima, dengan begitu ia bisa mengetahui lokasi yang bisa mereka tuju. Tetapi peta itu hanya melukiskan satu benua, masih kurang lengkap karena sebagian telah buram dimakan usia.
"Ahaha, itu peta lama ketika aku dan Zhong menjelajah. Maaf jika peta itu sudah usang." Ragus berasalan dan sedikit berbohong.
Peta itu lebih tua dari yang ia ceritakan, karena benda itu pemberian dari Gurunya Suspector. Hal itu berarti peta itu ada sejak Ragus keluar dari Jīngshén (精神) Akademi, bukan ketika ia bertemu dengan Zong. Peta itu sedikit spesial, karena akan menunjukkan gambaran lokasi setelah diperbarui oleh lulusan Akademia yang tersebar. Gambar pulau yang tertera adalah, lokasi yang bisa dijangkau dengan kemampuan Ragus. Selebihnya mereka harus bertemu dengan lulusan yang lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimensi O'clock -Adventure In Pararel World- (Re-upload)
FantasíaSAMPUL SEMENTARA (by pinterest) Tulisan dalam tahap perbaikan, secepatnya akan dilakukan update dari chapter awal. Garis besar cerita tetap sana, hanya gaya penulisan dan frasa dalam teks. Mulai Re-Upload-; bisa baca ulang dari awalnya ya Kehilangan...