30. Permintaan Terakhir

335 31 8
                                        

"AKU dengar dari Alan, sepupuku. Alan dan Askara, mereka dulunya teman sekampus. Mereka hampir merencanakan comeback project mural mereka yang baru. Tapi, tiba-tiba aja Askara ngebatalin dirinya bergabung di tim. Entah, apa alasannya. Dia mutusin pergi ke Swiss. Alan curiga ini ada kaitan sama kakaknya."

"Kalau itu benar, Askara mungkin berada di bawah tekanan Mas Bagas. Saya udah pernah salah meremehkan Mas Bagas. Dia bukan orang bodoh yang bisa percaya dengan orang lain begitu aja. Dia bisa dengan mudah menekan Askara melalui orang-orang di sekitarnya."

"Dan orang yang paling ingin Askara lindungi itu kamu, Ageng. Artinya, apa yang kita khawatirkan soal rahasia penyamaranmu ...."

"Sudah ketahuan."

Silih berganti ucapan Topan dan Irena terus tengiang-ngiang di telinga Ageng. Kenapa ia bisa lupa dengan CV Mas Budi yang masih tertinggal di rumah itu? Bukan tidak mungkin lagi Bagas telah menemukan CV tersebut sehingga penyamaran Ageng terbongkar.

Sekarang memang bukan saatnya terkejut lagi. Konsekuensi dari penyamarannya sudah berkali-kali ia pahami. Namun, jika buntut panjang masalah yang ditimbulkannya ternyata dimanfaatkan Bagas untuk mengancam Askara, maka Ageng tak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.

Dengan kecepatan memburu, Ageng memacu motor sport merahnya menuju satu-satunya tujuan Bandara Internasional Ahmad Yani. Setiba di dalam bandara, Ageng tak henti menjelajahi seisi gedungnya yang luas itu demi mencari-cari keberadaan Askara. Semoga belum terlambat.

Ia memindai papan digital yang berisi informasi jadwal keberangkatan pesawat transit menuju destinasi Bern, Swiss, lalu berganti melihat jam tangannya. Payah, waktunya tidak banyak lagi.

Derap gemetaran Ageng berusaha menerobos lalu-lalang para pengunjung bandara lainnya. Dalam keadaan seperti itu, ia bisa saja saling bertabrakan dengan orang-orang yang dilewatinya.

Ah, kejadian juga. Ageng baru saja menabrak bahu seorang pria berpakaian serba hitam dari mulai jaket, topi bisbol, hingga masker duckbill yang menutupi sebagian wajahnya. Hanya celana panjang kusutnya yang kalau diperhatikan baik-baik sedikit berwarna keabuan. Sarung tangan hitam berbahan kulit juga dikenakan pria berperawakan sedang itu.

Belum sempat Ageng mengutarakan permintaan maaf, tetapi pria aneh itu justru bergegas pergi. Ageng hanya menebak pria itu juga sedang terburu-buru karena ingin mengejar penerbangannya, mungkin? Sudahlah, sebaiknya Ageng pun kembali fokus pada tujuan awalnya menemukan Askara.

Sebentar, Ageng mendengar ponselnya berdering. Oh, itu telepon dari Askara. Tanpa ba-bi-bu, Ageng segera mengangkat panggilan dari orang yang memang ditunggu-tunggunya itu.

"Askara, kamu di mana?"

Kesibukan Bandara Internasional Ahmad Yani terekam melalui arus hilir mudik penerima jasa transportasi udara tersebut, baik dari jalur kedatangan maupun keberangkatan. Tak luput pula kerja seluruh staf bandara dari berbagai lini yang turut andil menunjang pelayanan prima.

Seorang pemuda dengan sebuah trusty cane sebagai alat bantu berjalan itu hanya terlihat menunduk di depan layar ponselnya. Ponsel yang baru diaktifkannya itu praktis menampilkan puluhan notifikasi panggilan tak terjawab. Kebanyakan dari Alan, Irena, dan ... Ageng.

Askara, pemuda itu sejenak menarik napas dan mengembuskannya panjang. Perlahan, ibu jarinya menekan tanda pemanggil ke kontak Ageng.

"Askara, kamu di mana?" sahut Ageng cepat.

Beberapa detik Askara masih bungkam, hingga Ageng mendesaknya mengeluarkan jawaban.

"Askara, kamu bisa dengar saya, kan? Tolong, katakan sesuatu."

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang