1. Jangan marah

430 15 5
                                    

Seekor burung bersayap hitam terbang elok di bawah langit yang sudah terlihat berwarna keemasan, lalu kelompok burung lainnya mengikuti di belakang.

Sementara Luth asyik memandang langit, Nala sejak tadi malah tersenyum-senyum memandang wajah lelaki berahang kokoh itu. Pandangannya begitu dalam, sampai dari sorot matanya saja seolah menjelaskan, jika sang pujaan hati jauh lebih indah dari senja.

Merasa seperti perempuan paling beruntung di dunia, itulah yang ada dalam hati Nalani Bahirah sejak mengenal dan jatuh cinta pada Luth Danial Arsalan, pujaan hatinya. Sejak Luth hadir, Nala merasa tidak butuh apa-apa lagi, sebab adanya Luth dalam hidupnya, itu sudah lebih dari cukup.

Sadar terus diperhatikan, Luth pun akhirnya balas menatap Nala dengan satu alis terangkat.

"Kenapa?"

Meski sudah tertangkap basah, Nala masih berusaha mengelak dengan langsung menunduk dan menggeleng malu-malu. Duh, kelihatan sekali jika Nala salah tingkah.

Luth menyeringai tipis. "Wajahku lebih menarik ya dari langit sore?" godanya, semakin membuat pipi Nala merona.

"Ngaco, enggak lah!"

Luth berdeham pelan sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke depan. "Oke kalo enggak mau jujur," katanya, memasang wajah sedikit kesal.

"Enggak mau jujur? Maksudnya?"

Bukannya menjawab, Luth malah semakin menunjukkan ekspresi kesal, dan bangkit dari duduknya.

"Kamu mau ke mana?" Tanya Nala dengan wajah bingung.

"Pulang."

"Tapi kan—"

"Aku ada urusan lain, sorry enggak bisa antar kamu pulang."

Setelah mengatakan hal itu, Luth pergi meninggalkan Nala begitu saja. Dengan cepat Nala meraih tasnya di atas meja, dan berlari mengejar Luth.

Luth melangkah sangat cepat, sampai Nala baru bisa berhadapan dengannya saat tiba di parkiran. Nala berusaha mengatur napasnya yang masih tidak beraturan, cukup melelahkan sebab tempat dia dan Luth duduk tadi letaknya di lantai 2.

"Kamu marah?" tanya Nala.

"Marah apa sih? Aku kan udah bilang ada urusan, ngapain kamu ngejar?"

"Ya tapi bisa kan ngomong baik-baik?"

"Udah, aku lagi malas debat."

Masih dengan ekspresi datar, Luth masuk ke mobil dan menghidupkan mesinnya, saat Nala mencoba ikut masuk, pintunya justru malah dikunci. Nala berusaha mengetuk-ketuk kaca mobil, tapi tidak ada niat Luth untuk membukanya, malah mobil itu dilajukan dengan cepat meninggalkan Nala.

Nala terpaku dengan ketidakpercayaan menatap mobil Luth yang semakin menjauh. Sebenarnya dia kenapa? Apa Nala sudah buat salah? Kapan? Nala benar-benar tidak tahu.

...

Nala tidak bisa tidur, padahal jam sudah menunjukkan pukul 23:21. Ini karena masalah sore tadi, yang masih tidak bisa Nala pahami. Entah sudah berapa banyak Nala mencoba menghubungi dan mengirim pesan pada Luth, tapi sampai saat ini tidak ada satupun pesan yang dibalas oleh lelaki itu.

Memang, akhir-akhir ini sikap Luth jadi agak cuek. Sering telat membalas pesan, kadang jika membalas pun sangat singkat, itu karena Luth terlalu sibuk bekerja. Luth pernah bilang beberapa minggu lalu jika dia harus bekerja lebih keras untuk tabungan masa depan, dan Nala bisa memahami itu. Namun sekarang, apa yang terjadi? Sebelumnya Luth tidak pernah sampai seperti ini meski sesibuk apapun, jadi bukankah wajar jika Nala merasa cemas?

"Luth, angkat dong," gumam Nala masih berusaha menghubungi nomor lelaki itu.

Mata gadis itu sudah sembap. Sambil berharap Luth menjawab panggilannya, sesekali dia menggigit jarinya dengan wajah gelisah. Dia tidak akan bisa tidur sebelum Luth menjawab panggilannya atau minimal membalas pesannya.

Lima menit berlalu, membulat mata Nala saat panggilannya untuk kesekian kali, akhirnya diangkat oleh Luth.

Nala baru bisa bernapas lega dan tersenyum lebar.

"Assalamualaikum, Luth ... akhirnya kamu angkat teleponku."

"Waalaikumsalam, apa?"

Nadanya masih sama seperti tadi sore, tapi tidak apa, Nala akan berusaha sabar.

"Aku enggak bisa tidur, terus kepikiran kamu. Kenapa kamu baru angkat teleponku?"

Terdengar decakan dari seberang sana.

"Aku sibuk, dan waktuku bukan cuma buat kamu. Harusnya kamu tau itu tanpa aku jelasin."

Kalimat itu terasa seperti belati tajam yang baru menusuk relung hati, rasanya menyakitkan sekali. Nala mendongak, berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Tolong jangan menangis lagi, itu hanya perkataan biasa, tidak usah dimasukkan ke dalam hati. Harusnya Nala paham, saat ini Luth pasti sangat kelelahan.

"Maaf, tapi aku khawatir banget sama kamu. Kalo ada masalah, kamu cerita ya sama aku?"

"Hem."

"Besok jadi kan antar aku ke rumah sakit?"

"Ngapain?"

Apa Luth sudah lupa? Padahal Nala sudah memberi tahu jauh-jauh hari, dan Luth menyetujui.

"Antar Mamaku, besok kan jadwal Mama check up."

Ibu Nala memiliki riwayat penyakit radang dan paru hingga harus melakukan pemeriksaan satu bulan sekali, dan biasanya Luth selalu meluangkan waktu untuk mengantar ke rumah sakit. Namun, kenapa kali ini dia sampai bisa lupa?

"Sorry Na, besok ada meeting penting yang enggak bisa ditunda."

"Tapi kamu udah setuju mau antar aku," kata Nala, dengan nada sedikit bergetar.

"Ya karena waktu itu aku belum tau kalo ada meeting besok, yaudah sih antar sendiri kan bisa, harus banget ya hal kayak gini aja didebatkan?"

"Maaf."

Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut Nala, karena dia tidak kuasa menahan tangis. Lalu terdengar helaan napas berat di seberang sana.

"Kamu nangis?"

Nala masih diam, karena saat ini dadanya terasa sangat sesak.

"Na, please ... pahami keadaan aku."

Nala mendongak sambil memejamkan mata, lalu menghapus air matanya.

"Iya, aku paham kok. Jangan marah ...."

"Udah jangan nangis lagi, bulan ini kamu anter Mama sendiri dulu ya, kedepannya akan aku usahakan untuk selalu nemenin kalian."

Sekarang Nala sudah tersenyum lebar seperti orang bodoh.

"Janji?"

"Iya."

"Ya udah kalo gitu, kamu istirahat ya?"

"Hem, kamu juga. Bye Nalani."

Setelahnya, panggilan diputuskan oleh Luth begitu saja tanpa sempat menunggu jawaban dari Nala.

Hanya bye? Apa begitu lelahnya Luth sampai lupa mengucapkan salam dan selamat malam?

Nala meletakkan kembali ponselnya di atas laci, berbaring dan menutupi sebagian tubuhnya sampai leher dengan selimut. Pandangannya kini lurus ke langit-langit kamar, pikirannya begitu berisik, dan hatinya kembali tidak tenang.

Nala sangat mencintai Luth, membuat pemuda itu marah adalah hal yang paling dia takutkan. Apalagi jika sampai Luth meninggalkannya. Sumpah, Nala tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dalam hidupnya jika Luth pergi. Meski pertemuan mereka belum terbilang lama, tapi sungguh Nala benar-benar mencintainya. Bahkan kapan saja lelaki itu datang ke rumah untuk melamarnya, tanpa menunggu waktu untuk berpikir Nala pasti akan menerima. Mungkin akan terkesan tidak punya harga diri, tapi Nala hanya melakukan hal itu untuk Luth seorang.

Pilihan Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang