31. Takut kehilangan

89 10 0
                                    

Selama ini ternyata ibunya semakin sering sakit, tapi dia selalu menyembunyikannya dari Nala, tadi pagi bahkan diam-diam Nala melihat sang ibu batuk mengeluarkan darah. Hati anak mana yang tidak sakit melihat kondisi orang tuanya seperti itu?

Bu Riris akhirnya bisa merasakan makan bersama Luth lagi, dan kali ini anak itu sudah menjadi menantunya. Tidak pernah ada kecanggungan di antara mereka, bahkan sejak tadi disela makan keduanya terus berbincang. Namun tidak dengan Nala yang banyak diam, dan kehilangan nafsu makan. Dia kesal pada ibunya yang selalu pura-pura baik-baik saja.

"Nala, kenapa makannya enggak semangat begitu?" tanya Bu Riris heran.

"Belum laper, Ma."

Sebenarnya selain belum lapar, entah kenapa mual yang semalam menyerang kembali Nala rasakan. Apa mungkin pengaruh kopi itu masih ada? Padahal Nala sudah minum banyak air putih.

"Makan dulu Na, paksain, semalam kan kamu abis muntah-muntah," ucap Luth.

"Muntah-muntah?" tanya Bu Riris heran.

Nala hanya diam dan mencoba memasukan nasi goreng ke dalam mulutnya, tapi baru sendok itu hendak masuk ke mulut, rasa mual langsung menyerang. Nala menjatuhkan sendok itu kembali dan segera berlari ke kamar mandi. Bu Riris terlihat panik, begitupun Luth yang langsung menyusulnya.

"Enggak apa Mas, tunggu di luar aja," cegah Nala disela rasa mual nya saat Luth mendekat dan hendak memijat tengkuknya. Namun Luth tidak menggubris, dia malah menemani Nala sampai Nala terus memuntahkan cairan bening ketika tengkuknya dipijat.

Huek huek ...

Anehnya yang keluar sejak tadi hanya cairan, apa karena Nala belum makan apa-apa lagi sejak semalam? Luth memapahnya kembali ke meja makan setelah Nala bilang sudah merasa lebih baik.

"Sejak kapan kamu mual-mual begini, Nak?" tanya Bu Riris khawatir bercampur penasaran.

"Dari semalam, Ma."

"Jangan-jangan kamu hamil," tebaknya membuat Luth yang sedang minum langsung terbatuk-batuk.

Luth dan Nala langsung saling pandang, membuat senyum Bu Riris mengembang. Dia akan sangat bahagia jika anaknya hamil, karena itu berarti sebentar lagi akan memiliki cucu. Namun, Nala segera menggeleng menepis tebakan ibunya.

"Enggak, Ma. Ini karena semalam aku minum kopi, jadi mual nya masih kerasa sampai sekarang."

"Kenapa minum kopi, kamu kan tau akibatnya kalo minum kopi?"

"Eum, penasaran aja nyobain punya Mas Luth."

"Duh, tapi itu bahaya buat kamu, Na. Luth, lain kali cegah ya kalo Nala nekad mau minum kopi, karena akibatnya akan kayak begini."

Luth hanya mengangguk, dia lega karena Nala tidak menceritakan yang sebenarnya. Jika saja Bu Riris tahu, habis dia diomeli nantinya.

Setelah sarapan, Luth harus pergi untuk bekerja, Nala mengantarnya ke depan.

"Kalo ada apa-apa langsung hubungi ya," peringat nya.

"Iya, nanti malam Mas beneran gak bisa kesini?"

"Enggak. Paling aku jemput kalo kamu udah mau pulang, tapi jangan lama-lama nanti gak enak sama Mama Papa ku."

"Oh, bukan karena kamu kangen aku?" tanya Nala setengah bercanda.

"Jangan kepedean, aku gak akan kangen sama kamu."

"Kok gitu?!"

Luth terkekeh sambil mencubit gemas pipi sang istri. "Bercanda."

Nala tidak jadi marah mendengar hal itu.

Sebenarnya Nala ingin cerita tentang apa yang dia lihat pagi tadi, dia khawatir jika terus membiarkan ibunya seperti itu. Namun, sepertinya Luth tidak punya waktu untuk mendengar ceritanya. Alhasil, Nala hanya bisa memendamnya dan berharap semoga batuk darah itu tidak akan terjadi lagi pada sang ibu.

"Iya, janji cuma tiga hari."

"Kalo gitu aku berangkat."

Nala meraih tangan Luth untuk dicium seperti biasa. "Hati-hati," pesannya dan hanya dibalas senyuman oleh Luth sebelum benar-benar pergi.

Nala masih berdiri di depan rumah meski mobil Luth telah hilang dari pandangan. Pikirannya kemudian melayang pada ucapan ibunya saat sarapan tadi. Dia jadi bertanya, bagaimana jika dirinya benar hamil? Tentunya bukan masalah karena dia juga sudah merasa siap untuk menjadi seorang ibu, dan akan sangat senang. Lagipula apa yang perlu dia takutkan? Dia sudah dewasa dan memiliki suami, pernikahannya pun sudah berjalan hampir 2 bulan. Namun, kembali perkataan Luth saat diawal pernikahan mereka mengganggu pikiran. Kalau Nala hamil secepat ini, apa Luth akan menerima, sementara waktu itu dia bilang harus ada banyak persiapan sebelum menjadi orang tua? Ah, kenapa Nala jadi begitu pusing memikirkannya?

Nala kembali masuk untuk membereskan meja dan mencuci piring, tapi begitu masuk ternyata sang ibu sudah membawa piring juga gelas kotor itu ke wastafel dan kini tengah mencucinya.

"Ma, udah biar aku yang cuci, Mama istirahat aja," cegah Nala sambil menggeser tubuh ibunya dan mengambil alih pekerjaannya.

"Gak apa, kamu yang harusnya istirahat, Mama baik-baik aja kok."

Bohong, jelas Nala lihat wajah sang ibu selalu pucat. Jadi Nala tidak menghiraukan, dan tetap mencuci piring juga gelas kotor itu.

"Ingat kan apa yang dokter bilang kemarin, Mama jangan sampai telat minum obat dan banyak pikiran, udah ya mending sekarang Mama duduk aja."

Akhirnya Bu Riris mengalah karena lelah mendengar Nala yang begitu cerewet, dia duduk sambil terus memperhatikan kegiatan anaknya. Sungguh meski cerewet begitu, Nala selalu dia rindukan, dan dia bahagia ketika Nala kembali ke rumah.

"Na, nanti kita ke makam Papa ya, Mama kangen sekali, sudah lama kuburan beliau juga belum dibersihkan."

Nala yang kini sedang memindahkan piring ke dalam rak, menoleh pada sang ibu ketika mendengar permintaan itu.

"Kamu masih sering kirim doa untuk Papa, kan?"

"Iya dong, Ma, setiap habis salat aku gak pernah absen doain Papa."

Bu Riris tersenyum lega. "Baguslah, setidaknya hanya itu hadiah yang bisa kita beri untuk Papa di sana. Jangan pernah berhenti doain Papa, dan Mama juga kalau nanti udah gak ada."

Deg.

Jantung Nala rasanya seperti mau copot dari tempat. Dia selalu lemas jika orang tuanya membahas kematian. Walau hidup ini tidak kekal, dan setiap manusia akan meninggal, tapi tidak ada yang siap dengan namanya perpisahan, terlebih berpisah dengan orang tersayang. Nala tidak suka mendengarnya.

"Mama jangan ngomong kayak gitu, aku akan selalu kirim doa buat Papa, selalu doain Mama juga biar cepat sembuh. Pokoknya, Mama harus sehat, panjang umur, biar bisa nemenin aku terus," ucap Nala yang kini sudah memeluk ibunya.

Bu Riris hanya tersenyum, dia tidak bisa berjanji untuk itu, tapi dia juga mengharapkan apa yang Nala katakan. Tentu saja, dia ingin menemani Nala melewati hari-harinya, melihat cucunya kelak. Namun, jika memang usianya tidak sampai ke sana, Bu Riris juga tidak akan bisa menolak. Dia tidak ingin terus menyusahkan Nala karena penyakitnya ini, dia juga lelah menahan sakit, dia sering kesepian dan merindukan suaminya. Jadi yang bisa dia lakukan saat ini hanya pasrah menerima takdir dan terus memperbaiki diri untuk bersiap-siap kapanpun Tuhan akan menjemputnya.

"Na, sebelum ke makam sebaiknya kita ke rumah sakit dulu ya?"

"Kenapa? Mama ada yang sakit lagi?"

Bu Riris menggeleng dengan senyuman lembutnya. "Mama curiga kamu hamil, Na. Jadi Mama penasaran banget, siapa tau kecurigaan Mama itu benar."

"Ah, enggak deh, Ma. Tadi aku muntah tuh cuma karena efek kopi semalam, gak mungkin hamil."

"Memangnya kenapa kalo hamil, toh kamu punya suami?"

"Aku gak ngerasa lagi hamil kok, Ma."

"Nala, memangnya kamu tau gimana rasanya hamil? Kamu aja belum pernah hamil, gimana sih," celetuk Bu Riris tidak habis pikir.

"Jangan bahas itu dulu ya, Ma, liat nanti aja deh, toh sekarang juga aku udah gak mual lagi, gak pusing juga. Ya udah aku mau siap-siap dulu ya!"

Setelah mengecup pipi sang ibu, Nala berlari menuju kamarnya, membuat Bu Riris hanya menggeleng sambil terkekeh gemas. Sejak menikah, Bu Riris dapat merasakan anaknya itu hidup bahagia, dan tentu hal itu membuatnya lega. Semoga hubungan Nala dan Luth semakin baik dan langgeng, hanya itu harapan Bu Riris untuk mereka.

Pilihan Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang