23. Bertemu kembali

106 5 0
                                    

Hari pernikahan Nala dan Luth telah diumumkan akan berlangsung lima hari lagi, dan hanya anggota keluarga terdekat yang diundang. Acara pun akan diselenggarakan dengan sederhana, di sebuah masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah Nala. Gadis itu tidak protes sama sekali, karena Luth bilang padanya tidak suka acara mewah dan hanya ingin acaranya dihadiri oleh orang-orang terdekat. Bagi Nala, bisa menikah dengan Luth sudah menjadi impian terindahnya, bagaimanapun konsep pernikahan mereka nanti, Nala akan menyukainya. Bahkan meski hanya akan di rumah dan tanpa riasan pun, sepertinya Nala akan setuju-setuju saja, karena cintanya pada Luth sudah ada di level bucin.

Meski yang diberitahu hanya keluarga terdekat, tapi hal itu dapat terdengar oleh Celia, karena diam-diam gadis itu masih sering mencari tahu tentang Luth.

Tidak perlu dijelaskan bagaimana perasaan gadis itu, tentu dia sangat kecewa dan sakit hati, tapi apa dia masih berhak untuk marah? Hari ini, entah sudah berapa kali sejak pagi dia berusaha menghubungi nomor Luth untuk meminta bertemu, sampai akhirnya Luth baru merespons jam 8 malam, dan mau menemuinya. Celia membuat janji di sebuah kafe outdoor dengan desain vintage yang terletak di pusat kota. Dua puluh menit menunggu sampai hampir habis segelas kopi espresso akhirnya Luth menampakkan diri. Celia secara spontan langsung berdiri begitu melihat kedatangan Luth, yang meski hanya mengenakan hoddie tapi terlihat menawan. Celia akui, rasa cintanya pada lelaki itu belum pudar.

Gadis itu langsung memeluk erat tubuh Luth, mencium wangi parfumnya yang khas dan selalu memenangkan, dan tanpa sadar air matanya mulai menetes begitu saja. Luth tidak berusaha melepaskan pelukan itu, tidak juga mengeratkan nya.

"Aku kangen ...."

Entah Luth harus marah atau apa, perasaannya sungguh tidak karuan, terlebih melihat gadis itu menangis dalam pelukannya. Luth akui, dia benci melihat gadis itu menangis, terlebih karenanya. Merasa diperhatikan oleh beberapa pengunjung lain, Luth pun akhirnya berusaha meleraikan pelukan itu, dan meminta Celia untuk kembali duduk.

Luth memanggil waiters, memesan minuman untuknya juga untuk Celia, tentu saja dia masih ingat minuman kesukaan gadis itu, dan dia cukup terkejut ketika melihat gelas di depan Celia yang menyisakan sedikit kopi espresso.

"Sejak kapan kamu suka espresso?" tanya Luth heran, karena kopi itu sudah hampir habis.

Celia tersenyum kecil. "Sejak pisah sama kamu, karena setelah dicoba ternyata rasanya tidak lebih pahit dari perpisahan kita," jawabnya mendadak puitis.

"Kamu sendiri yang menginginkan hal itu."

"Maaf."

"It's okay, semuanya udah terjadi."

"Aku dengar, kamu akan segera menikah, benar?"

"Iya."

"Bahkan pernikahan itu akan dilangsungkan sebelum acara pertunangan ku, apa maksudnya?"

"Kalau sudah ketemu yang baik, kenapa harus lama-lama nunggu? Nanti ujungnya pisah," kata Luth terdengar sarkas.

"Siapa gadis itu?" Mata indah Celia kembali berkaca-kaca, dadanya sesak luar biasa.

"Tidak penting untuk kamu tau, aku juga gak mau tau calon suami kamu."

Celia merasa tertohok. Apakah sakit yang dia rasakan saat ini juga dialami oleh Luth, dan apa Luth ingin balas dendam padanya? Mengapa harus dengan cara seperti ini?

Waiters kembali sambil membawa segelas kopi dan jus strawberry. Celia tersenyum begitu jus strawberry diletakkan di hadapannya, dia terharu karena Luth masih mengingat minuman kesukaannya. Dia rasa, Luth juga masih mencintainya.

"Aku harap kabar ini gak bener, karena aku rasa kamu masih mencintai aku."

Perasaan kamu gak salah, Sel. Batin Luth.

"Sakit banget hati aku denger kabar ini, dan apa perasaan kamu juga seperti ini ketika mendengar kabar pertunangan ku?"

Luth mengalihkan pandangannya ke arah lain, tidak kuasa melihat gadis yang sangat dicintainya terus menangis. Ingin rasanya dia menghapus air mata itu, tapi dia pikir Celia berhak merasakan semua ini.

"Tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi. Jalani hidup kita masing-masing, dan berbahagialah dengan pilihan kamu," ungkap Luth lalu menyeruput kopinya.

Celia mendongak, lalu menghela napas panjang. Dia tidak bisa memaksa Luth untuk membatalkan pernikahannya, meski rasanya berat untuk diterima. Namun, apa yang Luth katakan ada benarnya, mereka harus bisa menjalani hidup masing-masing dengan kebahagiaan yang baru.

...

Rakha menghentikan motornya di depan Nala yang tengah duduk sendirian di halte sambil bersenandung kecil, dapat dia duga gadis itu pasti sedang menunggu calon suaminya.

Nala langsung membuang muka dan menutup mulutnya begitu pandangan mereka bertemu, dia masih sebal karena perkataan Rakha tempo hari.

Setelah meletakkan helmnya, Rakha menghampiri Nala lalu duduk di sampingnya.

"Nunggu Luth lagi? Feeling ku sih dia gak bakal datang."

"Kalo kamu kesini cuma bikin kesel, mending pergi."

"Sudah malam, ikut aku aja, biar aku yang anterin kamu pulang."

Nala menggeleng.

"Gak ada yang larang kamu buat jatuh cinta sama siapa aja, tapi tolong jangan jadi bodoh hanya karena seorang lelaki. Aku sayang sama kamu, Na. Makanya aku gak mau kamu salah pilih."

Bukan sekali Rakha mengucapkan hal itu, dan terdengar begitu serius. Namun, Nala tahu kalimat sayang yang Rakha ucapkan bermakna sayang kepada seorang sahabat, tidak lebih. Nala tidak paham, kenapa Rakha bisa seburuk itu menilai Luth, padahal mereka sama-sama lelaki.

"Lelaki itu yang dipegang omongannya, dan Luth telah membuktikan kepada aku kalau dia memang serius."

"Kamu sama sekali gak curiga?" Rakha terkekeh tidak habis pikir. "Sekadar janji untuk menjemput kamu saja dia sering ingkar, apalagi janji besar."

Nala mengepalkan kedua tangannya, baru kali ini dia benar-benar dibuat kesal oleh seseorang, ingin rasanya dia memukul Rakha sekarang juga.

"Sudahlah, urus saja hubungan kamu sama Suraya!"

Gadis itu kemudian bangkit dan tersenyum lebar begitu melihat mobil yang sangat tidak asing di matanya muncul. Lalu tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi, dia segera berlari dan masuk ke dalam mobil Luth, meninggalkan Rakha yang masih mematung di tempatnya.

"Itu Rakha?" tanya Luth lupa-lupa ingat.

"Iya."

"Ngapain disitu?"

Nala menahan senyum begitu melihat wajah Luth tampak sedikit dongkol, apa dia cemburu? Ah, rasanya mood Nala langsung membaik.

"Kamu cemburu?"

"Sebentar lagi kan kita akan menikah, apa pantas kamu masih dekat dengan lelaki lain?"

"Dia sahabatku, kamu juga kenal."

"Tetap aja gak bagus Na, dan aku gak suka liatnya."

"Oke. Kalo gitu mulai sekarang aku akan berusaha menjauh dari lelaki lain."

"Good girl," puji Luth sambil mengacak gemas rambut Nala, membuat Nala terkekeh senang.

"Ini juga kali terakhir aku jemput kamu sebelum kita nikah, mulai besok kita gak boleh ketemu dulu."

"Aku bakal kangen banget."

"Biasanya juga kita jarang ketemu, kan?"

"Tapi sekarang beda, Luth. Kata orang, yang mau nikah itu ujiannya banyak, aku takut hal-hal yang gak diharapkan terjadi."

"Hust, gak boleh ngomong gitu, semuanya bakal baik-baik aja sampai kita sah menjadi suami istri."

Nala mengangguk, semoga saja apa yang Luth katakan benar.

Pilihan Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang