6. Harapan sederhana seorang ibu

67 7 2
                                    

Langit telah gelap, ada banyak bintang di angkasa yang sayang jika diabaikan mata. Namun meski berada di luar rumah, sejak tadi Nala diam tanpa berminat memandang ke atas sana. Mata gadis itu tertuju ke jalanan yang lenggang, dengan tatapan kosong, sementara pikirannya begitu berisik.

Dari depan pintu, Bu Riris memperhatikan sikap anaknya yang hari ini terlihat berbeda, tidak seceria biasanya. Dia pun akhirnya memutuskan untuk mendekat, karena takut terjadi sesuatu pada sang anak.

"Nalani," panggil Bu Riris, kemudian duduk di samping Nala.

"Eh, Mama," balas Nala setelah beberapa detik, lalu tersenyum kecil pada sang ibu.

"Ada masalah di tempat kerja?"

Nala menggeleng. "Enggak ada, memangnya kenapa?" dia malah balik bertanya.

"Akhir-akhir ini Mama lihat kamu kayak banyak pikiran. Cerita ya Nak, kalo ada masalah."

"Masa sih, Ma?" tanya Nala sambil terkekeh.

"Kamu gak bisa bohongi Mama, ayo cerita. Apa jangan-jangan, kamu ada masalah sama Luth?"

Nala segera mengalihkan pandangannya kembali ke depan, kemudian berusaha memasang wajah biasa saja.

"Enggak ada kok, kami baik-baik aja."

"Oh iya, tapi kenapa sekarang Luth makin jarang main ke sini?"

"Banyak kerjaan di kantornya, kalo libur dia pasti main kesini kok."

"Nala, sebenarnya Mama kurang suka liat kamu sama Luth terlalu lama menjalin hubungan seperti ini, Mama ingin lihat kalian menjadi pasangan yang sah di mata hukum dan agama, agar tidak menimbulkan fitnah. Mama rasa kalian sudah cukup dewasa dan siap kejenjang pernikahan. Kamu tahu sendiri Nak, Mama sudah sering sakit-sakit-an, dan harapan terbesar Mama sebelum menyusul Papa hanya melihat kamu menikah."

"Mama, kenapa bicara seperti itu? Mama pasti sembuh, dan harus hidup lebih lama lagi."

Tampaknya kali ini, Bu Riris begitu serius dengan ucapannya. Sungguh, anak mana yang tidak akan merasa gelisah dan sedih mendengar orang tuanya membahas kematian? Memang, penyakit sang ibu semakin sering kumat, tapi besar harapan Nala agar ibunya kembali sembuh dan berumur panjang.

"Apa sampai sekarang, Luth belum ada membahas hal itu?"

Belum kelar satu masalah, timbul lagi masalah baru. Nala benar-benar bingung bagaimana cara menjawabnya, karena sampai sekarang hubungannya dengan Luth tidak jelas. Bahkan Nala merasa, Luth semakin menjauh darinya.

"Nala rasa belum, Ma."

"Kalo gitu coba kamu tanya duluan, sebenarnya dia serius enggak sama kamu."

"Enggak ah, Nala malu."

"Kenapa harus malu? Kamu gak mau kan hubungan mu sama Luth terus seperti ini?"

Bukannya mendesak, hanya saja Bu Riris tidak mau anaknya dipermainkan. Telinganya juga sering panas, setiap kali Nala jadi bahan ghibah tetangga, karena tidak kunjung dinikahi kekasihnya. Ah, andai mereka tahu jika keduanya bahkan bukan sepasang kekasih.

"Kalo Luth serius sama kamu, dia pasti gak akan ragu buat datang kesini bersama kedua orang tuanya."

Nala mendongak, lalu menghela napas berat.

"Udah malam Ma, sebaiknya kita masuk ke dalam yuk, udaranya makin dingin," ajak Nala sambil menarik pelan tangan ibunya, membawa masuk ke dalam rumah.

...

Luth tersenyum miring setelah membaca rentetan pesan yang dikirim oleh Nala. Sumpah, dia tidak menyangka jika Nala bisa menjadi seperti ini padanya, padahal di awal-awal kenal, Nala merupakan gadis yang cukup pemalu.

"Udah cinta banget kayaknya, rugi kalo dibiarin gitu aja," gumamnya, lalu melemparkan handuk yang semula digunakan untuk mengeringkan rambut ke sembarang arah.

Akhirnya dia balas pesan Nala, dengan bilang bahwa siang ini akan datang ke rumah Nala, karena kebetulan sekarang hari minggu.

Satu jam setelah menerima pesan, Luth menepati janjinya. Dia datang dan seperti biasa, disambut hangat oleh Bu Riris.

Nala tidak pernah bisa menutupi raut bahagianya setiap kali dekat dengan Luth. Melihat wajah lelaki itu secara langsung, mendengar suaranya, adalah hal yang selalu Nala harapkan bisa dia dapatkan setiap hari. Keinginan yang sangat sederhana bukan?

Luth tidak pernah berpikir dua kali untuk membelikan Celia barang-barang mewah, membawanya makan di restoran mahal, atau pergi ke tempat-tempat indah. Bukannya menyesal, Luth malah merasa sangat senang dan puas jika melihat gadis yang dicintainya bahagia. Berbeda dengan Nala, gadis itu tidak pernah dibelikan barang-barang mahal, diajak makan pun selalu di rumah makan sederhana, tapi ajaibnya Nala bahagia luar biasa. Bahkan, senyumnya lebih lebar dari senyum Celia setelah dibelikan tas seharga puluhan juta.

Sejujurnya, Luth juga jarang memberi Nala hadiah, mungkin itu sebabnya Nala akan sangat bahagia jika dibelikan sesuatu oleh Luth. Seingat Luth, selama dia dekat dengan Nala, malah Nala yang lebih sering memberinya hadiah. Gadis itu selalu menyisihkan uang untuk membelikan Luth sesuatu dari hasil gajinya setiap bulan yang tidak seberapa.

Contohnya hari ini, begitu Luth datang dia segera masuk ke kamar, mengambil sesuatu di sana, lalu menyerahkannya pada Luth. Rupanya ini alasan gadis itu mengirimkan rentetan pesan padanya.

Sebuah gelang bertuliskan nama Nala, kemudian sambil tersenyum Nala memamerkan gelang yang dikenakannya, dengan motif yang sama bertuliskan nama Luth. Aish, seperti remaja yang baru pacaran saja, norak sekali.

"Dipake dong, nunggu PO nya lama loh."

Luth memaksakan tersenyum dan akhirnya memakai gelang itu, dengan niat kuat akan membuangnya begitu pulang nanti.

"Sini, foto dulu."

Nala mengambil ponselnya, meminta Luth untuk mengulurkan tangan, lalu memotret sepasang gelang itu. Setelah selesai, dia tersenyum puas.

"Buat apa beli gelang kayak gini?"

"Biar kamu selalu ingat nama aku, hehe."

"Kenapa harus diingat, kalo nama kamu udah tertulis di sini?"

Nala menunduk dengan pipi memerah, tersipu malu saat Luth menunjuk dadanya sendiri setelah mengatakan itu. Sementara Luth, mati-matian tengah menahan tawa puas karena berhasil membuat Nala salah tingkah untuk kesekian kalinya. Luth masih tidak habis pikir, bagaimana bisa Nala sebodoh ini? Apa dia tidak bisa membedakan, mana lelaki yang sungguh-sungguh menyayanginya, dan mana lelaki yang hanya berniat main-main dengannya?

"Ah iya, aku belum pernah liat kamu pake kemeja pemberianku, gimana pas enggak ukurannya?" Nala mengalihkan topik, berusaha menyembunyikan rasa malunya.

Kemeja itu bahkan masih ada dalam paper bag yang jika tidak salah ingat Luth simpan di sudut kamar, entah sudah dibuang atau tidak.

"Oh, pas kok," jawab Luth sekenanya.

"Bagus deh, berarti kalo mau beli baju buat kamu, aku udah tau ukurannya."

"Daripada uangnya buat beli sesuatu yang gak penting, lebih baik disimpan, buat biaya pengobatan Mama kamu."

"Kalo itu udah aku sisihkan, kamu tenang aja."

Terserah saja lah, toh Luth sudah mengingatkan, tapi dasarnya Nala memang bodoh, susah diberi tahu. Besok-besok, jangan salahkan Luth jika dia menyesali kebiasaannya ini, hahaha.

Pilihan Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang