CHAPTER DUABELAS

196 36 0
                                    

Satu porsi steak daging sapi buatan Leanna sudah habis Daniel makan. Sejujurnya, memang karena masakan Leanna kali ini masih bisa diterima lidahnya. Atau, Daniel sendiri mengelak dengan meyakini kalau ini semua hanya karena dirinya sedang kelaparan.

Akan tetapi, Daniel tak bisa mengelak kalau kopi yang dibuatkan oleh Leanna, benar-benar diluar ekspektasinya. Satu kata yang sejauh ini bisa Daniel simpulkan, yaitu enak.

Tak perlu bicara, Leanna menyadari itu dari ekspresi wajah Daniel yang kelihatan lebih tenang. Wajah kesalnya sudah tak terlihat lagi. Dan Leanna akhirnya bisa menghela napas lega.

"Jadi, gimana?" tanya Leanna menunggu pujian dari Daniel.

"Apa kamu bisa bertanggung jawab atas ini?" tanya Daniel malah menunjukkan tangannya yang masih diperban.

Leanna menghela napas panjang, ia hanya mengangguk pelan lalu membereskan dapur.

"Saya akan bantu kamu mengetik."

"Kamu pikir gampang? Seorang penulis itu terbiasa menyingkronkan apa yang ada di kepala mereka dengan jari. Apa jari-hari tangan kamu bisa sejalan dengan isi kepala saya?" tanya Daniel terdengar protes, tapi dirinya masih sesekali menyeruput kopi espresso buatan Leanna.

Leanna baru akan menyahut, sampai sebuah notifikasi pesan singkat masuk ke ponselnya. Ada pesan dari nomor tak dikenalnya.

Hi, ini Leanna kan? Aku Stevi, sekretaris OSIS SMA 3 Wiyata. Aku cuma mau konfirmasi, kamu bisa dateng kan ke acara reuni kali ini? Aku perhatiin kamu jarang dateng, mungkin sibuk banget ya? Tapi aku harap kali ini kamu dateng ya, soalnya kita mau buka letter capsule lho. Salam hangat, dari Stevi -

Kalau dipikir-pikir, teman-temannya tak memiliki salah apapun. Leanna enggan mengakui kalau selama ini, dirinyanlah yang bermasalah. Ketakutannya, dan rasa tak percaya diri yang membuatnya menarik diri.

"Apa ada yang menyalakan air?" tanya Daniel ketika merasa mendengar suara air mengalir ke lantai kamar mandi.

"Oh, ya. Saya lupa!" pekik Leanna buru-buru berlari menuju kamar mandi sampai ia tak sadar ponselnya terjatuh.

"Berapa tagihan air bulan ini?" gumam Daniel berusaha tenang, sementara tangannya memungut ponsel Leanna yang tergeletak di lantai.

Karena itu, Daniel tak sengaja melihat isi pesan yang baru saja dibaca oleh Leanna barusan. Daniel mengerutkan keningnya heran. Ia pikir, Leanna berasal dari keluarga yang lengkap, tapi kenapa anak itu selalu kelihatan penuh beban pikiran dan menjadi orang yang tak banyak bicara?

Sebenarnya, Daniel sudah menebak kalau Leanna bukanlah tipe wanita yang memiliki ruang pertemanan yang besar, atau hidup yang glamor. Hanya saja, tak pernah menghadiri reuni? Baginya itu hal yang sedikit ganjal saat ia mengetahui di negara ini, reuni adalah hal yang sering ditunggu dan sangat digemari.

Daniel menghempaskan rasa penasaran itu, bersamaan dengan ponsel milik Leanna di atas meja. Bukan urusannya. Ia hanya perlu memikirkan bagaimana tangannya bisa sembuh besok.

***

Satu tangan Daniel Kim masih diperban. Sementara kedua tangan Leanna sudah penuh menumpu beberapa novel yang dipilih oleh Daniel Kim sendiri.

Jaman perbudakan seharusnya telah usai. Tapi Leanna terpaksa harus menyembunyikan hal itu dengan tersenyum melihat orang-orang di sekitarnya yang menatap prihatin padanya.

Berbeda dengan berbelanja makanan yang tinggal mengambil dan memasukkan keranjang, membeli buku sesuatu hal yang berbeda. Apalagi bagi seorang Daniel Kim. Entah apapun itu, Leanna yakin Daniel memilih buku fiksi dengan memperhatikan cover, blurb, dan ketebalan buku.

Sunshine in Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang