CHAPTER EMPAT PULUH DUA

172 29 4
                                    

"Sin..."

Ryan menghampiri Sindy yang sedang memeriksa daftar para tamu undangan pernikahannya yang akan digelar awal bulan depan. Perhatian seketika teralihkan pada Kakak laki-lakinya yang datang ke kamarnya.

"Lo harus izin dulu sama Leanna. Lo samperin dia, gak perlu tertekan lagi soal pasangan."

"Enggak ah. Ngapain..."

"Sindy, ayolah. Toh tanpa mempermasalahkan Leanna, pernikahan lo tetap berjalan kan?" bujuk Ryan.

"Enak aja. Kalau gak mempermasalahkan dia, gue udah nikah dari tahun lalu. Sekarang terserah deh dia mau dateng atau enggak, gak perduli gue."

"Sin, lo kan udah mau nikah. Kalau lo berpikiran dewasa, lo gak usah mempermasalahin ini lagi. Gimana pun juga Leanna kakak lo, lo harus minta izin ke dia karena mau ngelangkahin dia, Sin..."

"Gak usah, biarin aja. Paling nanti juga dia bikin alasan untuk gak datang. Percuma saja, Ian," ucap Rita tiba-tiba ikut pembicaraan mereka saat masuk ke dalam kamar Sindy sambil membawakan seperangkat perhiasan keluarga.

"Ma, Ryan tahu Mama marah dan kecewa sama Leanna. Tapi jangan begini dong, Ma. Mama sama aja bikin kita gak akur satu sama lain tahu?"

"Nih, bagus gak? Ini Papa mu simpan dari Nenek. Kamu nanti pakai di acara pernikahan ya?" ucap Rita memberikan kotak perhiasan tersebut kepada Sindy dan mengabaikan apa yang dikatakan Ryan.

"Cocok gak ya sama gaunnya, Ma?"

Ryan mengambil alih kotak perhiasan tersebut dari tangan Rita sebelum Sindy mengambilnya.

"Perhiasan ini, harusnya Leanna dulu yang pakai. Kalau lo mau pakai, sana izin dulu sama Lea," tukas Ryan kesal.

"Kak! Apaan sih..."

"Satu lagi, lo gak pernah mikir apa gimana susahnya Leanna nyari cowok yang bisa diajak datang ke acara pertunangan lo cuma buat nyelamatin muka lo?"

Sindy tak menjawab sampai Ryan akhirnya keluar, Rita juga tak sempat menyahut karena Ryan sudah berjalan keluar dari kamar Sindy sambil membanting pintu.

Di depan pintu, ternyata ia sudah dicegat oleh istrinya yang tak sengaja mendengar keributan itu.

"Kamu ngapain sih ke rumah Mama sama Papa cuma mau ngajak berantem aja?" tegur Lily sambil mengikuti suaminya menuruni tangga.

"Aku cuma mau menegaskan sama Sindy untuk datang ke Leanna dan minta izin. Apa sih susahnya?"

"Ya udahlah, sayang. Emangnya penting banget?"

"Ya pentinglah! Ini bukan cuma soal kebudayaan, tapi attitude dia. Sopan gak begitu? Sekarang kamu mikir, saat kita mempertanyakan dan memaksakan seseorang untuk berjodoh, itu sama aja kita meragukan Tuhan, tahu? Ini semua bukan salah Leanna." Ryan berjalan menuju mobilnya sementara Lily mengikutinya dengan raut wajah yang bingung.

"Kamu kenapa sih? Tumben ributin soal Lea, biasanya kamu diem aja."

"Justru karena selama ini aku diem aja, keluarga ini jadi kacau."

"Sebenernya ada apa sih, sayang? Serius deh, perubahan kamu drastis banget."

Ryan menghela napas panjang. Kemudian ia menyenderkan punggungnya di senderan jok mobil.

"Kenapa?"

"Nenek Lea, minta tolong sama aku untuk menghubungi nomor pacar Lea."

"Pacar Lea? Laki-laki yang waktu itu datang tiba-tiba sambil bawa buket bunga?"

Ryan menganggukkan kepalanya. Kemudian ia kembali menghela napas dalam-dalam.

"Aku telepon nomor itu hanya untuk memastikan laki-laki bernama Daniel itu apa benar pacarnya Lea. Tapi laki-laki itu bilang ... kalau... Dia bosnya, bukan pacarnya. Dan ... Dia datang ke acara itu karena kasihan sama Leanna yang hampir ditipu sama cowok asing yang dia temuin di aplikasi pencarian jodoh."

Sunshine in Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang