🐣Hujan🐣

2.1K 89 0
                                    

"Kamu nampak pucat, sayang."
Ica tersenyum tipis lalu berkata, "Aku gak kenapa-napa. Cuma sedikit lemes aja, mungkin karena terlalu lelah."

Sehun mengerutkan halisnya, lalu mengambil alih cucian piring yang sedang dikerjakan oleh Ica, "Kamu seharusnya hanya duduk manis saja, kita punya banyak Art, kenapa harus repot-repot? utamakan kesehatan kamu, sayang," membawa ica duduk di kursi meja makan.

"Kalau aku umurnya gak panjang, kamu gimana?"

"Hey! Apa yang kamu katakan?!"

"Aku nanya aja, hehe," lalu mengambil sebelah tangan Sehun dan menaruhnya pada pucuk kepala, tanpa disuruh Sehun pun mengelusnya.

~~~

"Samudraaa!"

Samudra menahan pedal remnya saat suara lengkingan yang memanggil namanya itu bergema dipenjuru parkiran sekolah.

"Lo kok mau ninggalin gue, sih!"

"Eh iya sal, kita hari ini gak balik bareng, lo naik taksi aja." ujar Samudra.

"Kok gitu?"

Samudra memalingkan wajahnya ke arah Viqa yang sudah menunggu diujung gerbang, "Gue mau nganter Viqa, dia gak ada yang anterin."

Salsa berenggut kesal, "Kan dia bisa naik taksi. Lo, 'kan biasanya sama gue!"

"Kasian, Sal. Dia cewe, takut kenapa-napa."

"Kalo dia cewe, gue apa?"

"Sunggokong! dah, ah, gue mau anterin dia balik, lo naik taksi aja. Byee, honeyy!!" Lalu menjalankan motornya dan pergi dari area sekolah bersama Shaviqa Sugianto.

Salsa hanya bisa menarik nafasnya berat. Menyebalkan sekali Samudra, lebih mementingkan Viqa daripada dirinya yang jelas-jelas rumah mereka berdampingan, sedangkan rumah Viqa berlawanan arah dan cukup jauh. Viqa juga kenapa manja sekali, sih? emang apa susahmya tinggal naik taksi dan duduk manis daripada naik motor dengan angin yang gleber-gleber, nanti masuk angin lebih merepotkan Samudra, atau bisa jadi badannya yang tak terlalu tinggi itu terbawa angin. Begitulah kira-kira isi batin Salsa yang sedang menunggu taksi di halte terdekat.

Tak terasa lama menunggu, langit berubah menjadi kelabu, dan angin berhembus lumayan kencang. Membuat Salsa memeluk dirinya sendiri dan memilih untuk duduk di dalam halte, karena sedari tadi ia hanya berdiri mematung.

Lain dengan Samudra yang sudah sampai dirumah Viqa. Ia menyodorkan lengannya agar Viqa turun dari motor dengan hati-hati, karena motornya terlalu tinggi untuk seukuran Viqa. Viqa menggapai tangan besar Samudra dan turun dengan perlahan.

Ia menghampiri seorang wanita yang sedang menyapu halaman, diikuti oleh Samudra dari belakang karena ia sehabis memarkirkan motornya diluar halaman rumah. Hilang pun tak apa, ia ikhlas, anggap saja sodaqoh.

"Ibuuu, Viqa pulaangg," Lalu menyalimi tangan ibu tersebut diikuti oleh Samudra.

"Bawa siapa kamuu???" Tanya Ibu menggoda Viqa.

"Ini Samudra, bu. Teman sekolah." Lalu lanjut berjalan menjumpai wanita lagi yang sedang menjemur.

"Mama, Viqa pulaaangg!" Menyalimi lalu berlalu.

Samudra hanya menurut saja dan mengikuti kemana Viqa berjalan sambil melihat-lihat sekitarnya. ia akui rumah Viqa memang luas dan juga besar, tapi tetap saja tidak mengalahkan rumah Papa Sehun.

Tak berselang lama, Viqa kembali menyapa wanita satu lagi yang sedang menjemur baju.
"Bundaa sayaaangg, Viqa pulaaang!" Langsung memeluk.

Samudra tentu saja tidak ikut berpelukan, bisa-bisa di gantung pakai jemuran. Ia hanya memasang senyum manisnya.

Mereka pun melerai pelukan itu, "Mami ada, bun?"

Bunda tersenyum tipis lalu menggusak rambut Viqa, "Mami kamu tadi sempat pulang, tapi langsung pergi lagi." Ada rasa kecewa yang tergambarkan diraut wajah Viqa.

Mereka pun diajak masuk, dan duduk diruang tamu. Sambil menunggu Viqa dan orang yang disebut bunda tadi masuk ke dalam untuk membuat teh. Samudra melihat-lihat sekitaran rumah Viqa, sedikit berantakan karena banyak mainan anak kecil. Disini banyak sekali anak-anak, anak sepantarannya, bahkan orang dewasa, terlihat seperti panti asuhan, tapi Samudra tidak mempermasalahkan itu.

Yang menjadi masalahnya adalah mengapa Salsa tidak kunjung memberikan kabar padanya. Padahal sedari tadi ia terus mengecek handphonenya, siapa tau Salsa memberinya pesan. Pikiran Samudra teralihkan oleh sebuah foto keluarga yang terpampang jelas dan besar di dinding. Ada banyak keluarga yang berjejer disitu, termasuk tiga orang wanita yang tadi Viqa sapa satu persatu. Tapi ada seorang wanita yang sangat mirip dengan Viqa, ia terlihat sangat angkuh dari segi gaya berfotonya saja terlihat.

Tak lama, hujan turun dengan deras. Ia kembali gelisah karena Salsa tak kunjung memberikan kabar. Samudra pun mendial nomor Salsa, berdering, namun tidak diangkat. Apakah Salsa marah padanya?

"Diminum."

Samudra sedikit tersentak saat Viqa datang bersama teh yang sudah disajikan diatas meja.

Viqa menyelipkan helaian rambutnya dibelakang telinga, "Kenapa, kamu kaya orang gelisah?"

Samudra terus mendial nomor Salsa, "Salsa gak ngabarin aku kalo dia udah pulang atau belum, diluar hujan."

"Taksi disekitar sekolah gak susah kok. Pasti Salsa langsung dapet taksi dan pulang, mungkin dia lagi istirahat, makanya ga angkat telpon kamu." ujar Viqa menenangkan Samudra.

Samudra mengangguk dan meminum teh hangat, mereka pun larut dalam obrolan meskipun Samudra sedikit gelisah.

"Aku pulang dulu ya," lalu mengambil kunci motor serta memakai hoodienya.

Viqa ikut bangkit dari duduk, "Loh, hujannya masih deras loh, Samudra?"

"Gak papa."

Ia langsung berlari keluar dari halaman rumah yang cukup luas itu dan alhamdulillah motornya masih ada. Langsung saja ia mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, menuju halte di dekat sekolahnya.

Ia terlalu khawatir sampai lupa berpamitan dengan orang tua Viqa. Celana SMA yang dipakai oleh Samudra sudah basah kuyup, ia tidak membawa mantel, tapi Hoodie yang dikenakan Samudra cukup tebal, jadi baju seragam putihnya tidak basah. Sesampainya disana, benar saja, Salsa masih ada dan sedang menutup telinganya karena petir yang menggelegar memekakkan telinga.

Samudra langsung memeluk Salsa dan memberikannya ketenangan. Salsa yang sedari tadi menangis pun merasa lega karena Samudra datang menjemputnya. Samudra menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Salsa, menghapus air mata gadis itu dan memakaikannya hoodie agar tidak kedinginan.

"Cengeng lo!" Kembali membawa Salsa ke dalam pelukannya.

Setelah hujan reda, mereka pun pulang dengan keadaan berantakan. Tetapi Samudra mengendarai motor dengan sangat pelan seperti menghayati perjalanan. Salsa pun hanya diam saja sedari tadi, mengeratkan pelukannya pada pinggang Samudra, seolah tidak ingin kehilangan lagi.

Samudra berhenti pada tukang wedang susu jahe. Ia memesan dua gelas untuk menghangatkan tubuh keduanya. Mereka duduk dibangku panjang pinggir jalan. Samudra yang merasa risih melihat rambut salsa yang berantakan, mengambil ikat rambut Salsa dan mengikatnya dengan penuh perhatian. Lalu, karena leher Salsa terlihat sangat jelas, ia memakaikan tudung hoodie-nya agar lebih tertutup.


Akankah ada cinta sempak alias cinta segitiga atau hanya menggantung dengan ending? Mari kita lihat ha ha ha ha🌚



Tangerang, Rabu 08 Maret 2022
21.00 WIB

Males, ribet. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang