Bab 15 Terbayang-bayang

2.1K 69 0
                                    

Setelah meletakkan tubuh Sinta yang basah itu di atas ranjang, Bima langsung mencari Pak Parjo. Tak lupa Bima mengambil jubah mandi yang ada di kamar milik Sinta itu untuk menutupi tubuhnya saat ini yang masih dalam keadaan setengah telanjang itu.

Setelah memerintahkan kepada Parjo, Bima langsung kembali ke dalam kamarnya untuk membersihkan dirinya. Namun, saat ia tengah berada di bawah guyuran shower miliknya, tiba-tiba pikirannya kembali teringat pada bibir Sinta yang beberapa waktu lalu sempat bersentuhan dengan bibirnya. Tanpa sadar Bima memegangi bibir bawahnya dengan jari jempol dan telunjuk kanannya.

"Lembut," ucap Bima tanpa sadar saat teringat akan bibir ranum itu. Seketika Bima menggelengkan kepalanya demi menghilangkan pikiran kotornya.

"Gila! Benar-benar gila! Bagaimana mungkin aku kebayang-bayang bibir itu. haish," ucap Bima yang tampak frustasi karena terbayang-bayang oleh kejadian tadi.

"Apa karena aku sudah terlalu lama tidak pernah merasakannya lagi setelah perceraianku?" tanya Bima pada dirinya sendiri. Kemudian bayangannya kembali teringat saat ia melihat lekuk tubuh Sinta di balik pakaian longgarnya. Karena tubuhnya basah, sehingga membuat pakaiannya menempel di permukaan tubuhnya.

"Ish, aku tak boleh di sini terlalu lama agar tidak terbayang itu lagi" ucap Bima lalu ia langsung mempercepat kegiatan mandinya itu sebelum pikirannya malah menjadi liar. Karena jika sudah itu terjadi, dia harus mencari seseorang agar bisa menuntaskannya.

Setelah selesai dengan mandinya, ia langsung memakai pakaian santainya dan pergi ke kamar Sinta dan Caca. Sesampainya di sana, Bima sudah melihat Caca yang juga sudah berganti pakaiannya.

"Bagaimana keadaanmu? Apa masih merasa sakit?" tanya Bima saat sudah berada di samping Sinta.

"sudah tidak apa-apa Tuan!" sahut Sinta lalu ia menoleh ke arah jam dinding. Seketika ia melotot melihat jam dinding yang sudah menunjukkan hampir jam 4 sore. Perlahan ia menggeser kakinya menepi untuk mencoba bangun dari sana.

"Mau kemana kamu?" tanya Bima seketika membuat Sinta menghentikan langkahnya. Lalu ia menoleh ke arah Bima dengan tatapan bingungnya.

"Saya mau ke dapur Tuan, untuk memasak buat makan malam." Sahut Sinta langsung membuat Bima menghela nafasnya.

"Tidak usah! Malam ini kita order makanan saja. Dan jangan bergerak, sebentar lagi dokter akan segera datang" ucap Bima sambil menatap tajam ke arah Sinta. Mendengar perintah dari majikannya, Sinta hanya bisa menurutinya.

Dan benar, tak lama kemudian seorang dokter perempuan datang. Bima pun meninggalkan kamar tersebut membiarkan sang dokter memeriksa keadaan Sinta.

Tak lama kemudian, dokter pun undur pamit setelah memeriksa keadaan Sinta dan juga memberikan resep obat padanya.

"Terima kasih, dok" ucap Bima sambil mengulurkan tangannya pada dokter wanita yang sudah berumur itu. sambil tersenyum, dokter itu juga membalas uluran tangan Bima tersebut.

"Sama-sama Pak! Tadi saya juga sudah membantu istri Bapak berganti pakaian. Tolong di jaga ya Pak, biasanya nanti malam beliau akan mengalami demam." Ucap dokter itu kepada Bima. Bima yang mendengar ucapan dokter wanita itu hanya bisa tersenyum kaku karena ia salah kira tentang Sinta.

"I-iya dok," sahut Bima lalu sesaat kemudian keduanya melepaskan jabatan tangan keduanya.

"Kalau begitu, saya permisi dulu Pak," ucap dokter itu. Bima hanya bisa mengangguk padanya. Lalu dokter itu segera pergi meninggalkan vila tersebut dengan di antar oleh Pak Parjo.

Setelah kepergian dokter itu, Bima langsung pergi ke dapur untuk membuatkan semangkuk bubur dan segelas teh hangat untuk Sinta. Setelah jadi, Bima membawanya ke kamar Caca.

"Mbak? Mbak Sinta beneran gak papa?" tanya Caca sambil duduk di tepi ranjang samping Sinta. Melihat wajah cantik Caca yang tengah mengkhawatirkannya itu membuat Sinta tersenyum sambil mengangguk.

"Iya Non, gak papa kok" ucap Sinta sambil mengelus rambut Caca dengan lembut. Merasakan usapan lembut pada rambutnya, membuat Caca langsung berbaring di samping tubuh Sinta yang tengah bersandar itu. lalu Caca memeluk pinggang Sinta dengan erat.

"Jangan sakit ya Mbak, nanti kalau Mbak sakit Caca main sama siapa?" tanya Caca sambil memeluk tubuh pengasuhnya itu.

Sinta yang merasa bersalah itu langsung membalas memeluk tubuh Caca dan berbaring di sampingnya.

"Iya Non, setelah ini Mbak janji gak akan sakit lagi. Okay?" ucap Sinta sambil mengelus lembut punggung Caca. Caca hanya mengangguk mendengarnya.

"Mbak, boleh enggak Caca minta satu permintaan sama Mbak?" ucap Caca sambil mendongak melihat ke arah wajah Sinta. Sinta yang mendengar ucapan itu sedikit bingung, namun kemudian ia mengiyakannya.

"Apa Non?" tanya Sinta penasaran.

"Aku mau Mbak Sinta berhenti memanggilku Non. Cukup panggil Caca saja. Ya?" ucap Caca seketika membuatku terdiam. Bagaimana aku bisa lancang memanggil majikanku dengan hanya namanya saja. Pastinya aku tidak seberani itu untuk mengiyakan permintaannya.

"Ta-tapi ....." belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Caca lebih dulu memotong perkataanku.

"Kalau Mbak enggak mau, Caca enggak mau lagi sama Mbak" ucap Caca sambil perahan melepaskan pelukannya. Mendengar ucapan itu seketika membuatku secara refleks langsung meraih tubuh Caca dan memeluknya kembali.

"I-iya Baiklah. Mulai sekarang Mbak panggil Caca ya? bagaimana?" ucapku yang sontak saja membuat Caca kegirangan.

"Yey! Makasih Mbak." Sahut Caca sambil memeluk tubuh Sinta dengan erat. Tanpa keduanya sadari, di balik pintu kamar tersebut ada sepasang mata yang menyaksikan peristiwa itu. Si lapa lagi kalau bukan Bima. Terlihat jelas senyuman indah terbit di kedua sudut bibirnya melihat kemesraan Sinta dan Caca.

"Sepertinya Caca juga sudah menyukai Sinta." Ucap Bima sambil tersenyum. Lalu ia langsung kembali menetralkan ekspresinya dan setelah itu ia masuk ke dalam kamar tersebut.

"Tu-tuan?" ucap Sinta yang kaget melihat kedatangan Bima sambil membawa sebuah nampan di tangannya. Seketika ia terbangun dari tidurnya.

"Makanlah! Kubuatkan bubur dan teh hangat untukmu" ucap Bima sambil meletakkan nampan tersebut di atas nakas. Melihat Sinta yang bengong sambil melihatnya membuat Bima geleng-geleng kepala.

"Atau kau mau aku menyuapimu?" ucap Bima sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Sinta.

Blush

Seketika saja wajah Sinta berubah memerah mendengar ucapan itu, apalagi di tambah Bima yang mendekatkan wajahnya kepadanya itu. Perlahan ia memundurkan kepalanya dengan perasaan gugup dan detak jantungnya yang tak karuan itu.

"I-iya Tuan. E-eh, ti-tidak usah, Tuan." sahut Sinta sambil terbata. Karena gemas melihat tingkah Sinta, membuat Bima refleks mengusap kepala Sinta seperti saat ia mengelus rambut Caca.

"Pintar" ucap Bima saat ia mengusap kepala Sinta. Mendapatkan perlakuan itu membuat Sinta terdiam membeku di tempatnya.

"Ca, ayo kita keluar dulu. Biarkan Mbak Sinta makan terlebih dahulu. Makanan untuk kita juga sudah datang" ucap Bima kepada Caca.

"Iya Pa, Mbak Caca keluar dulu ya?" ucap Caca yang berpamitan pada Sinta. Sinta hanya tersenyum dan mengangguk. Kemudian keduanya pergi meninggalkan kamar itu.

*****

The Owner Of The HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang