Bab 21 Pagi Yang Canggung

1.9K 51 0
                                    

Setibanya Sinta di dapur, ia langsung menuju pantri yang ada di sana untuk membuatkan sarapan untuknya dan juga untuk kedua majikannya itu. Walaupun sejak kedatangannya, Bima seakan tidak mengalihkan pandangannya dari Sinta. Namun Sinta memilih tidak menghiraukannya karena tidak mau Caca curiga nantinya. Lagi pula Caca saat ini menempel padanya walaupun ia tidak tahu kenapa.

"Mbak," panggil Caca sambil menarik baju Sinta di belakangnya. Sinta yang sedang memasak sayurnya, mau tak mau menoleh ke arah Caca dan berlutut di sana.

"Ya. Ada apa, Ca?" tanya Sinta sambil tersenyum kepada Caca. Ia bisa melihat raut cemas di wajah cantik itu yang membuatnya bingung.

"Em, Mbak Sinta mau berjanji enggak sama Caca?" tanya Caca dengan wajah berharapnya. Ia melihat ke arah kedua mata Sinta. Sinta yang mendapat tatapan itu hanya bisa menatapnya bingung. Bingung dengan perilaku Caca pagi ini, karena sebelumnya ia tidak pernah seperti ini.

"Janji apa Ca?" tanya Sinta masih dengan senyumannya.

"Janji jangan tinggalkan Caca! Caca enggak mau Mbak Sinta pergi kayak tadi." Ucap Caca dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. Terlihat cairan bening di kedua pelupuk mata kecil nan indah itu sudah hendak mengalir. Namun Caca masih bisa menahannya untuk tidak keluar dari kedua matanya. Melihat kesedihan Caca, membuat Sinta juga ikut merasa bersalah. Karena sejujurnya ia juga sudah menyukai Caca dari dulu. Mungkin karena sifat keibuan yang ada di dalam diri Sinta, membuatnya begitu sabar meladeni sifat jail Caca padanya dulu. Baginya, Caca dulunya nakal itu dikarenakan ia kurang kasih sayang dari seorang ibu. Jadi ia melampiaskannya dengan menjaili para pengasuhnya dulu.

Sinta pun tersenyum dan menghela nafasnya mendengar ucapan itu. perlahan ia menarik tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Ia bisa merasakan tubuh Caca yang bergetar dan terdengar isak nya di dalam dekapannya itu.

"Iya Caca sayang, Mbak janji enggak akan tinggalkan Caca. Lagi pula Mbak mau pergi ke mana? Sedangkan Mbak sudah enggak punya siapa-siapa lagi selain Bi Inah dan keluarga Caca" ucap Sinta sambil mengelus punggung Caca, mencoba menenangkan hati putri kecil itu.

Caca hanya mengangguk sambil terus mengeratkan pelukannya itu. Dengan sabar Sinta menenangkan majikan kecilnya itu.

Setelah merasa Caca yang sudah sedikit tenang, Sinta melepas pelukannya dan meminta Caca untuk menunggunya di meja makan karena ia harus menyelesaikan masakannya itu. namun, bukannya menurut malah Caca menggeleng dan tetap berada di sana. Alasannya karena ia takut Sinta yang akan meninggalkannya lagi. Akhirnya mau tak mau Sinta membiarkannya di sana dan ia langsung melanjutkan aktivitas masaknya itu.

Sedangkan Bima, semenjak Sinta berkutat di dapur ia kembali masuk ke dalam kamarnya untuk segera bersiap-siap untuk berangkat ke perusahaannya.

"Hah, baru kali ini rasanya aku malas untuk pergi ke kantor" ucap Bima sambil memakai jam tangan di lengan kirinya. Ia terlihat geleng-geleng sambil menatap wajahnya di dalam cerminnya itu. Ia merasa lucu dengan tingkahnya seperti anak abg yang sedang jatuh cinta padahal umurnya saat ini sudah hampir kepala tiga itu. Walaupun sebenarnya memang benar, ia sedang jatuh cinta. Jatuh cinta dengan wanita biasa yang merupakan pengasuh dari putri semata wayangnya itu.

Setelah selesai dengan penampilannya, Bima akhirnya keluar dari kamarnya sambil membawa tas kerjanya. Ia pun langsung menuju ke meja makan dan di atas meja itu sudah tersedia beberapa menu untuk sarapan pagi. Caca dan Sinta juga sudah berada di meja makan itu menunggu kedatangannya.

Setibanya di sana, Bima langsung duduk di tempatnya dan mulai melakukan aktivitas sarapan pagi. Sarapan pagi ini terasa sangat canggung karena baik Bima dan Sinta saling terdiam. Sinta yang tengah sibuk dengan Caca yang sangat menempel padanya, sampai tidak menyadari Bima yang selalu menatapnya sambil menikmati sarapannya itu. Tak beberapa lama kemudian Bima pun selesai dengan sarapannya lalu beranjak dari duduknya sehingga membuat Caca dan Sinta menoleh ke arahnya.

The Owner Of The HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang