"Ada apa Papa memanggilku?"
Ujar Jimin sembari menutup pintu dibelakangnya.Brak!
Sempat terperanjat saat sebuah dokumen dibanting di depan wajahnya.
"Kau pikir rancangan sampah ini akan menarik perhatian investor?" Nadanya tidak tinggi tapi terdapat cemoohan di dalamnya.
Jimin menunduk, entahlah, kenapa tidak bisa melawan. Bayang-bayang masa lalu selalu membuatnya takut. Ruangan gelap, cambukan, teriakan Papanya memenuhi kepala.
Cacian dan makian Papa Park bahkan tidak bisa sepenuhnya bisa dia dengar. Yang dia ingat adalah dorongan untuk keluar dari ruangan ini.
Anak pembawa sial!
Tidak bisa di andalkan!
Seharusnya kau yang mati, bukan Ji-hyun!Jimin meninggalkan ruangan Papanya tanpa mendengarkan cacian lelaki tua itu hingga selesai. Dia mendengar Papanya memanggil meminta kembali, tapi saat ini pikirannya kosong. Tujuannya hanya satu, apartment pribadinya.
.
.
.
Taehyung sedang ada pasien saat ponselnya berdering tanpa henti, namun untuk membuat kondisi tetap kondusif selama konseling, ponselnya dalam mode silent.Lelaki tampan tersebut tersenyum dan melambaikan tangan saat pasiennya meninggalkan ruangan.
Alis tebal mengernyitkan, tumpen Jimin menelfonnya tanpa henti. Meski ada perasaan tidak nyaman, tapi berusaha di abaikan.
Taehyung mengetukkan jari dengan tidak sabar, menunggu Jimin mengangkat panggilannya.
Dia menghembuskan napas lega saat di dering ketiga panggilannya di angkat.
"Hyung."
"Sayang, kamu kenapa?" Taehyung mulai panik, kenapa suara Jimin terdengar lemah.
"D-darah, Hyung," Ucapan Jimin tidak menjawab pertanyaan Taehyung, tapi makin membuat kalang kabut.
Dengan terburu-buru, kunci mobil diraih, lari meninggalkan ruangan yang seharusnya akan ada pasien 15 menit lagi. Bahkan panggilan suster pun dia abaikan.
"Kamu dimana?" Terengah-engah, kenapa lift rasanya lambat sekali?
"Airnya berdarah, Hyung," Jimin terisak. "Sakit."
Oke, Taehyung tidak bisa lebih panik lagi dari ini. Hanya apartment pribadi Jimin yang terpikirkan saat ini. Dia memacu mobil dengan kecepatan penuh. Tidak peduli rambu lalulintas, bahkan bamper mobil yang tergores pun di abaikan.
.
.
.
Brak!Pintu kamar dibanting. Terdengar kucuran air dari kamar mandi. Tanpa banyak kata Taehyung membuka pintu putih di depan mata.
Di depan matanya, Jimin tenggelam dalam di jakuzi, atau lebih tepatnya menenggelamkan diri.
Taehyung berlari, menarik pemuda manis. Dengan buru-buru menggendong Jimin ke dalam kamar dan memberikan nafas buatan.
Denyut jantungnya lemah. Astaga! Dia panik.
"Uhuk!"
Beruntung Jimin memuntahkan air yang mungkin sudah masuk ke paru-paru.
Tanpa membuang waktu, lelaki tampan itu kembali menggendong Jimin dan membawa ke rumah sakit.
"Hyung, tidak mau ke rumah sakit."
Taehyung mana mau dengar, yang di pikirannya hanya keselamatan orang yang disukainya. Masalah yang lain dia pikirkan belakangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined Love
Fanfiction"Menurutmu mana yang lebih menyakitkan, bunuh diri menggunakan obat atau menggunakan pisau? Atau haruskah aku berdiri di tengah jalan dan menutup mata?" -Park Jimin "Tidak bisakah aku menjadi alasanmu untuk terus bertahan?"- Kim Taehyung "Kau bukan...