Taehyung membingkai potret Jimin dalam memory nya. Rambut hitamnya yang halus, wajahnya yang gemas seperti bayi, bibir tebal yang seringkali dia kecup. Tapi semua keindahan itu sirna sudah, terganti dengan wajah pias tanpa cahaya dan bibir pucat.
Mereka cukup dekat tapi dia juga belum tau apa saja yang sudah terjadi pada Jimin-nya, kenapa sampai nekat melukai diri sendiri. Sebagai seorang psikiater dia tau ada yang salah pada Jimin-nya, bahkan sejak pandangan pertama. Ingin rasanya mencerca, memeluk tubuh rapuhnya.
"Ekhm," Jin berdeham, sengaja, biar Taehyung tau ada orang lain diantara keduanya. Bisa-bisanya Taehyung memandang Jimin penuh cinta sedangkan Jin ada disebelahnya.
"Kok kamu bisa sama Jimin sih?" Selidik Jin. Dia sudah kepalang penasaran, males basa basi, apalagi sama teman lama, bahkan adik tingkat.
Taehyung hanya memandang Jin dengan pandangan tidak biasa.
"Sejak kapan kalian dekat? Setauku Jimin gak akan kasih alamat apartemen pribadinya ke sembarang orang, bahkan Jungkook saja gak tau."
Taehyung bahkan belum menjawab pertanyaan Jin yang sebelumnya, tapi kini lelaki tinggi itu sudah menanyakan hal lainnya.
"Aku jawab yang mana dulu, Hyung," memutar bola mata malas.
"Yang tinggal jawab aja sih, apa susahnya," Jin gemes, ganteng kok ya kadang lemot. Pura-pura lemot lebih tepatnya.
Ceklek!
Pintu terbuka dari arah luar. Terlihat kedua orang tua Jimin berjalan ke arah ranjang. Mama Park berjalan tergesa saat melihat ranjang, terdapat putra kesayangan terbaring lemah. Beda dengan papa Park, sedikitpun tidak ada raut khawatir, yang ada hanya tatapan menghakimi.
"Jin, bagaimana bisa anak sialan ini masuk rumah sakit?" suaranya tidak tinggi, tapi percayalah setiap kata yang keluar mampu menghancurkan hati yang mendengarnya, apalagi Jimin.
Iya, pemuda manis itu sejak tapi sudah sadar tapi memilih diam mendengarkan celotehan kakak sepupunya.
"Percobaan bunuh diri? Memalukan. Apa yang bisa paman banggakan dari anak seperti dia," Mendungus marah.
Mama Jimin mengelus lengan suaminya, menenangkan, biar bagaimanapun ini di rumah sakit, tidak sepantasnya berkata demikian, terlebih ada orang asing diantara mereka.
Jin menggertakkan gigi, kesel pengen mukul tapi paman sendiri, tapi kalau di diemin juga bikin sakit hati. Dia paham kenapa Jimin tertekan, bahkan memerlukan pengawasan psikiater.
"Paman, maaf, dengan segala hormat, Jimin masih perlu istirahat total, mungkin lebih baik paman kembali ke kantor saja," Usir Jin secara halus.
Mama Park tersenyum tidak enak, "Jin, Bibi titip Jimin, ya."
"Baik, Bi," Lelaki berbahu lebar merangkul pundak bibi nya sekilas. Memberi kekuatan. Dia tahu hanya mama Park yang benar-benar menyayangi Jimin, hanya saja wanita itu tidak bisa berbuat banyak.
"Permisi, Dok," Mata wanita paruh baya itu memandang Taehyung sekilas, tersenyum sopan khas keluarga terpelajar.
"Ayo, Pa, biarkan Jimin istirahat," Mama Park memaksa suaminya meninggalkan ruang inap putra mereka.
Semenjak kepergian keduanya, ruangan kembali hening.
"Cih! Tanya keadaan anaknya kek, ini malah sibuk memikirkan citra keluarga," Jin ngedumel.
Taehyung melirik, "Orang tua jiminie memang seperti itu, Hyung?"
Menghembuskan napas berat, "Hm, sejak kakak lelaki Jimin meninggal."
Taehyung kaget, "Lho bukannya Jimin anak tunggal?"
Jin tersenyum perih, malas sebenarnya mengingat masa lalu, apalagi sesuatu yang menyedihkan," Sebenarnya Jimin punya kakak lelaki, kesayangan paman Park, tapi sejak kecelakaan itu terjadi, segalanya berubah."
Jimin tidak bisa lagi berpura-pura tidur, apalagi sejak tadi dengan susah payah menahan isakan yang memilukan.
Ponsel di saku Jin berdering, tanpa menunggu waktu lama, tombol hijau digeser.
"Iya, sus, baik saya segera ke sana," Setelah memastikan panggilan terputus, ponsel kembali di masukan saku. Sebelum kemudian menepuk pundak Taehyung pelan, "Kapan-kapan kita ngobrol lagi, aku ada pasien darurat di IGD."
"Hm."
Taehyung kembali memandang Jimin, dia tahu sejak tadi pemuda itu sudah bangun, dia bahkan tau sejak tadi Jimin menangis. Dari tarikan nafasnya saja dia tahu betapa sakit yang dirasakan.
"Nagis aja gak apa-apa, Sayang," Perlahan Taehyung mendekati ranjang, duduk di sebelah Jimin.
"Hyung, hiks, mungkin sebaiknya aku saja yang mati," Jimin berkata dengan nafas tersengal. Air mata tidak terbendung.
"Gak, Sayang," Tidak banyak kata, hanya pelukan yang Taehyung berikan. Dia tahu, saat ini Jimin hanya perlu pelukan dan perlindungan.
"Gak boleh ngomong begitu lagi ya, kamu tau, aku selalu ada di sini," Telapak tangan itu memeluk semakin erat. Air mata Jimin membasahi pundak pun tidak dihiraukan.
Setelah beberapa saat pelukan dilepaskan, tangan Taehyung terulur, menyeka air mata yang luruh.
"Kamu tau kalau aku sayang kamu, kan? Tetap bertahan ya?" Kembali, badan mungil di rengkuh dalam pelukan.
"Tapi kamu bukan punyaku, Hyung," Meski perih, itulah kenyataan yang harus Jimin terima.
Taehyung hanya bisa diam dan mengeratkan pelukan, bukan hanya untuk menguatkan Jimin tapi untuk dirinya sendiri. Apa yang harus dia lakukan sekarang?

KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined Love
Fanfiction"Menurutmu mana yang lebih menyakitkan, bunuh diri menggunakan obat atau menggunakan pisau? Atau haruskah aku berdiri di tengah jalan dan menutup mata?" -Park Jimin "Tidak bisakah aku menjadi alasanmu untuk terus bertahan?"- Kim Taehyung "Kau bukan...