1 : Harapan

1.5K 133 29
                                    

Lasem, 1359

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lasem, 1359

Seorang pemuda tengah sibuk mengangkat beberapa kayu bakar di bahunya. Wajah tampannya dibasahi oleh peluh yang keluar dari pori-porinya, sesekali ia menyeka peluh yang mengganggu itu dengan kasar. Ia berjalan menembus hutan untuk kembali menuju ke kediamannya, pria itu nampak sesekali bersiul menikmati perjalanannya yang cukup melelahkan. Ia harus melewati hutan dan lembah untuk kembali menuju ke tempat tinggalnya yang berada di pusat kota Kerajaan Lasem.

Sang Bagaskara kembali menuju peraduannya, dimana langit akan mulai gelap. Pria  berusia 28 tahunan itu mulai mempercepat langkahnya agat tidak kena semprot omelan rama-nya. 20 menit kemudian ketika hari mulai benar-benar gelap ia telah sampai di sebuah rumah yang terlihat cukup mewah dibandingkan dengan penduduk sekitarnya. Rumah itu memiliki halaman yang luas disertai dengan pagar yang terbuat dari batu bata merah yang melingkari kediaman itu.

Sang pemuda menuju tempat dimana kayu bakar disimpan, ia melemparkan kayu itu dengan begitu keras. Ia menghela nafas sejenak, lalu ia segera berjalan menuju dapur yang berada tepat di sebelah penyimpanan kayu bakar. Ia mengambil sebuah kendi kecil di atas meja yang berisikan air minum, diteguknya air minum itu dengan rakus hingga beberapa air membasahi dada bidangnya.

"Gajendra," sapa seseorang yang membuatnya tersedak.

"Uhuk-uhuk!" Pria yang bernama Gajendra ia menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit karena tersedak air minum.

"Dasar kau ini, aku sedari tadi memanggilmu," ucap seorang wanita yang mulai masuk ke dalam dapur yang terbilang cukup luas itu.

"Sungguh usaha yang bagus untuk membunuhku," balas Gajendra dengan sinis, wanita itu hanya bisa tersenyum jahil ke arah Gajendra ia. Wanita itu terlihat serius ketika mengatakan hal tersebut.

"Apa?" tanya Gajendra singkat.

"Apa aku boleh menikah denganmu?" tanya sang wanita dengan frontal, tentunya hal itu membuat Gajendra mendelik karena terkejut dengan ucapan seorang wanita bangsawan yang begitu frontal.

"Karwita, kau gila," balas Gajendra sembari berjalan meninggalkan Karwita yang masih tersenyum penuh arti ke arahnya. Gadis itu mengikuti langkah Gajendra, ia mengekor di belakang Gajendra bagaikan seekor itik yang mengikuti induknya.

"Ayolah, kangmas! Kau sudah tua, kenapa tidak menikah? Apa kau ingin menjadi perjaka tua dan hidup tanpa istri ?" ejek Karwita.

"Ada apa denganmu? Tidak bosan ya, kau selalu mengikuti dan mengajakku menikah?" Gajendra menghentikan langkahnya dan membuat Karwita menabrak punggung shirtless pria itu.

"Astaga, jangan berhenti mendadak!" gerutu Karwita sembari mengelus keningnya yang tak sakit. Gajendra mendengus kesal karena sikap gadis ini, sedari dulu Karwita tak pernah menyerah untuk mendekati Gajendra dengan cara yang begitu aneh untuk ukuran seorang bangsawan terpandang. Gajendra cukup terkenal di Kerajaan Lasem karena wajahnya yang cukup tampan, dan tubuhnya yang begitu jakung berbeda dengan kebanyakan pria di daerah sini. Selain dikenal karena ketampanan dan kegagahannya, ia dikenal juga dengan kecerdasannya sebagai seorang pembuat keris dan juga seorang tabib. Namun, ketika teman sebayanya sudah menikah dan bahkan telah dikaruniai banyak anak , ia malah memilih untuk tetap melajang. Banyak wanita yang berusaha keras untuk mencuri perhatian pria berkulit tan ini dengan cara apapun, seperti berkunjung ke tempat pengobatan Gajendra meskipun sebenarnya tak sakit. Berpura-pura jatuh ketika berada di depan pria ini dan lain sebagainya, salah satu wanita yang menggandrungi pria ini adalah Karwita, putri dari seorang petinggi kerajaan Lasem.

Bahkan dengan terang-terangan ia menyatakan perasaannya berulang kali kepada Gajendra. Ia tak memikirkan gunjingan masyarakat terhadap dirinya, ia bersikap acuh dan mencoba untuk menjadi dirinya sendiri.

"Kangmas! Aku sudah berulang kali berkata padamu, bahwa aku tidak akan menyerah begitu saja." Karwita terlihat bersungguh-sungguh kepada Gajendra yang tengah bersidekap di hadapannya.

"Pulanglah," perintah Gajendra dengan tegas.

"Tidak mau!" seru wanita yang baru berusia 22 tahun itu sembari berkacak pinggang. Gajendra menghela nafasnya dengan berat, ia memijit pangkal hidungnya. Sejujurnya, ia merasa sangat lelah ketika harus berhadapan dengan sosok Karwita yang terbilang keras kepala dan sangat cerewet ini.

"Karwita, aku mohon." Gajendra berusaha untuk berbicara sesopan mungkin agar Karwita pergi meninggalkannya sendirian.

"Aku butuh istirahat," imbuhnya. Karwita mendengus, ia mencoba memahami keadaan Gajendra yang terlihat begitu lelah.

"Baiklah, aku akan pergi." Ketika Karwita ingin berjalan meninggalkan Gajendra, seseorang memanggil nama gadis itu.

"Karwita! Ayo kesini, kita makan malam bersama!" periak seseorang itu dari balai utama rumah ini. Karwita tersenyum sumringah mendengar tawaran yang diucapkan oleh pria tersebut, lalu segera berlari menuju ke arah sumber suara.

"Njeh!" Teriak Karwita dengan penuh semangat. Gajendra hanya bisa mendengus sembari berjalan menyusul Karwita.

Karwita duduk di sebelah kanan pria yang memanggilnya tadi, pria itu terlihat sebaya dengan Gajendra. Ia di kenal oleh masyarakat Lasem sebagai ayah kandung Gajendra, pria itu bernama Rajendra Charika. Seorang tabib yang begitu sakti mandraguna, ia memiliki keahlian menyembuhkan yang begitu menakjubkan.

"Ayo, nduk. Makanlah, tadi aku habis pergi memancing di tepi segara. Aku mendapatkan banyak ikan untuk makan malam," ucap Rajendra dengan begitu ramah.

"Wah, terimakasih. Rama!" pekik Karwita dengan penuh semangat, mendengar hal itu membuat Rajendra terkekeh kecil sedangkan Gajendra terlihat sangat terkejut dengan panggilan Karwita kepada Rama-nya.

Setelah menyelesaikan makan malamnya, Karwita memutuskan untuk segera pulang. Ia diantar oleh Gajendra karena khawatir jika seorang gadis harus pulang sendirian ditengah malam seperti ini tentunya akan sangat berbahaya.

Rajendra membereskan semua makanan yang ada di bangsal utama rumah ini, setelah selesai ia berjalan menuju suatu ruangan yang berada tepat di ujung rumah ini. Ia membawa obor untuk menerangi ruangan ini, dan terlihat beberapa serat atau tulisan yang ada di tempat ini. Rajendra mengambil sebuah daun lontar kosong, lalu menuliskan sebuah pesan kepada seseorang dari Lamajang yang bernama 'Sasmita'

Pesan itu berisikan sebuah petunjuk menuju tempat dimana Batara Kala menyimpan air mata suci untuk melenyapkan kutukan hidup abadinya. Pasalnya, meskipun usia Gajendra telah menginjak 28 tahun Tarachandra atau Rajendra tak menua sedikit pun. Ia kini bahkan terlihat seusia dengan putranya, tentunya membuat seluruh masyarakat yang mengenalnya sangat terheran-heran.

Harapan satu-satunya adalah ia harus menemukan sebuah tempat yang bernama Tirta Amerta. Tarachandra bahkan tidak tahu dimana tepatnya mata air tersebut, ia hanya meminta petunjuk kepada para brahmana dan tetua yang mengerti mengenai tempat tersebut. Setelah menyelesaikan tulisannya pada beberapa lembar daun lontar, ia menghembuskan nafasnya dengan kasar sembari menatap langit-langit ruangan itu.

"Maya, jika memang aku hidup abadi, aku hanya berharap akan bisa bertemu denganmu lagi di masa depan."

•••••••

Glosarium :
- Nduk : panggilan untuk anak gadis
- Kangmas : panggilan untuk seorang pria yang lebih tua
- Segara : Laut
- Rama : panggilan untuk ayah

Jangan lupa vote dan comment💜💜💜

Jangan lupa vote dan comment💜💜💜

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KALA II : Another World [Salakanagara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang