6. Selalu Indah

80 21 0
                                    

Musim gugur di abad ke-10, Asami duduk berhadapan dengan seorang cendekiwan baik yang mau mengajarinya membaca selama beberapa bulan terakhir.

Sejak Asami menginjakkan kaki ke tanah Goryeo, menjadi budak yang dijual ke tuan tanah, dimerdekakan, sampai bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, cendekiawan adalah orang yang membantunya untuk berbahasa.

Tanpa disadari, Asami juga membantu cendekiawan itu memahami bahasanya. Berawal dari mencoba memahami bahasa tubuh, kosakata umum, berbicara frasa singkat, Asami sudah berada di tahap tertarik pada bacaan yang dituliskan oleh cendekiawan.

"Baiklah, seperti biasa, kamu bisa bertanya padaku jika ada bacaan yang membingungkan" Ucap cendekiawan dengan menyunggingkan senyum hingga membentuk lesung.

Asami menyambut lembaran kertas kuning itu, salah satu alasan dirinya mau giat membaca adalah syair-syair lama yang tertulis di atasnya. Cendekiawan membiarkan Asami tenggelam dengan bacaannya, sesekali melihat Asami tersenyum ketika sampai pada kata yang menyenangkan hati.

"Syair anda selalu indah, saya ingin juga bisa melakukannya" Asami memuji sosok di hadapannya, tanggannya mengepal semangat.

"Buatlah, aku juga ingin membacanya" Cendekiawan tersenyum simpul, binar mata Asami membangkitnya hangat yang telah lama padam di dirinya. Gadis desa di hadapannya ini gemar menyenangkan hati orang lain dengan kegiatan kecilnya.

"Kakak, aku sudah tiba" Suara laki-laki menginterupsi keduanya. Lelaki yang tiba mengenakan baju ksatria lengkap dengan pedang yang terbalut di dalam sarungnya itu menepuk pelan kepalanya. Meskipun Asami dapat melihat tidak ada sehelai daun yang menempel di sana.

Tangannya yang kosong mengepal di atas tangannya yang memegang pedang, hembusan nafas hangat untuk menghilangkan sementara dingin dari sana. Asami melihatnya dalam potongan yang lambat, apalagi ketika mata mereka bersitatap membuat lelaki di depan pelataran sana tersenyum sampai matanya hilang tertutup kelopak.

"Kenapa hari ini dingin sekali? Jangan lupa pakai baju hangat" Ucapnya tanpa melunturkan senyum.

"Eii, begitukah caramu menyapa orang baru? Aku juga tau kalau dia cantik" Cendikiawan yang paling tua di antara mereka bertiga, namun sepertinya kedekatan diantara dua lelaki membuat mereka sama-sama santai.

Asami tersenyum malu, wajahnya bersemu meskipun terpaan angin musim gugur menyapu wajahnya. Cendekiawan hanya tertawa singkat, sedangkan lelaki ksatria itu tetap mempertahankan senyumnya.

"Sepertinya anda punya tamu, kalau begitu saya pamit" Dengan begitu Asami bangkit dari duduknya untuk mengenakan sepatu yang ada di depan pelataran.

"Bolehkah aku tau, dari keluarga mana kamu berasal?" ksatria itu kembali bersuara saat Asami melangkah.

"Saya hanya pengrajin gerabah sebatang kara, tuan" Asami jawab tunduk, dia tau pertanyaan itu hanya terlontar dari anggota keluarga yang punya kuasa. Menjawab juga mengapa dia bisa sangat santai dengan cendekiawan yang lebih tua darinya.

Asami tidak lagi mempunyai keberanian untuk mengangkatkan kepala, matanya selalu tertuju pada ujung sepatu lawan bicara. Derajatnya rendah, sosok di hadapannya itu jauh berada di atasnya.

"Lihat aku. Mataku tidak berada di telapak" Titahnya.

"Asami, dia memintamu untuk melihatnya" Kali ini cendekiawan yang bertutur, Asami menurut untuk mengangkat kepalanya agar kembali melihat wajah orang yang satu jengkal lebih tinggi dari Asami.

Rahang maskulin dipadukan dengan hidung bangir dan mata seperti kacang badam. Alis Tebal yang senada warna kelam rambutnya menambahkan karisma pada dirinya. Badannya terbalut apik di dalam baju ksatria, sepadan dengan kulitnya yang tampak sering berada di bawah terik matahari.

The Last || JaesahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang