Ketika setiap jiwa diberikan empat kali kesempatan untuk berada di dunia, mereka memiliki permulaan yang hampir serupa dengan hidup-hidup sebelumnya. Yang berbeda adalah ketika hati nurani dan takdir lain mengajak mereka mengambil langkah.
Di hidupn...
Asahi familiar dengan tempat yang ia kunjungi. Tak peduli berapa abad telah berlalu, susunannya tak pernah berubah. Langit-langit dari kayu gelap, jendela-jendela kertas berbingkai bambu yang mengayun tertiup angin lembut, aroma teh dan tanah basah yang selalu menyelimuti udara. Tempat itu seolah berdiri di luar waktu, membeku dalam kenangan yang tak bisa dihapus. Yang berbeda hanya sosok yang menunggunya dan Ryujin.
"Jane," bisiknya lirih, nyaris tanpa suara.
Wanita yang duduk di dekat jendela itu menoleh perlahan. Matanya memantulkan cahaya lembut matahari sore. Senyum mengembang di wajahnya, hangat dan tidak dibuat-buat—bukan senyum dari musuh, bukan juga dari kekasih. Tapi dari seseorang yang menyimpan kenangan pahit dengan tenang.
"Selamat datang, Ash," ucapnya, suara itu seperti melodi lama yang memanggil pulang.
Jiwa Asahi dan Ryujin tertukar di tempat ini. Asahi kembali dalam wujud lamanya, sosok perempuan yang pernah menjalani cinta paling menyakitkan dalam hidupnya. Asahi bertemu Jane dengan wujud jiwanya yang dulu.
"Bagaimana rasanya kembali menjadi gadis, hm?" tanya Jane sambil menatap wajah Asahi yang diam membeku.
Tak ada ironi, tak ada sindiran, hanya pertanyaan netral yang meluncur ringan, namun menyentuh saraf-saraf yang belum sembuh.
"Ingin jadi selingkuhan lagi?" tambahnya, kali ini dengan tawa kecil yang menggoda, namun menusuk.
Asahi tak menjawab. Ia menatap lantai, lalu jendela, lalu kembali ke wajah Jane. Diam yang terlalu dalam untuk dibalas kata.
"Bagaimana rasanya jadi laki-laki, Ryu?" Kini Jane memindahkan fokus pada Ryujin.
Ryujin mengangkat bahu dengan senyum miring. "Tidak buruk. Setidaknya aku lebih tinggi dari dia sekarang," candanya, menyenggol lengan Asahi dengan ringan.
Jane tertawa, dan untuk sejenak, ruangan itu terasa seperti reuni sahabat lama. Tapi waktu di tempat ini tak seperti waktu manusia. Ia mengalir lambat, seperti kabut pagi yang tak tahu kapan harus menghilang.
"Sebelum kalian kembali ke nirwana..." Jane mengangkat botol soju, lalu menunjuk meja kecil tempat tiga gelas mungil tertata. "...keberatan duduk minum bersama istri sah ini, Ash?"
Asahi mendesah pelan. "Tidak ada yang lucu dari mati digantung karena jadi selingkuhan raja, Jane," ujarnya pelan namun tegas.
Jane tidak tersinggung. Ia hanya mengangkat bahu kecilnya. "Tahu. Buktinya aku masih terjebak disini setelah 5 abad lamanya"
Mereka bertiga duduk. Jane menuangkan soju ke gelas mereka satu per satu. Uap dingin dari botol menyatu dengan aroma ruangan—seperti musim gugur yang tak kunjung pergi.
"Karena aku?" tanya Asahi lirih, menunjuk dirinya sendiri dengan ragu.
Jane menggeleng perlahan. "Karena lebih banyak yang mati setelahmu, Ash. Terutama saat suamiku memilih pergi bersamamu. Aku jadi membenci semua wanita."
Ada jeda. Hening yang berat.
"Suamiku itu bodoh ya?" lanjut Jane sambil menatap langit-langit. "Bahkan di kehidupan terakhirnya pun masih melakukan hal yang sama."
"Dia masih hidup," sanggah Asahi cepat.
Jane menatapnya dengan senyum getir. "Aku yang menyajikan teh untuknya, Ash. Jiwon...? entahlah. Aku lupa siapa yang ia sebutkan. Tapi wajahnya tetap sama. Penuh penyesalan, seperti biasanya."
Ryujin tertawa kecil. "Wah, aku tidak menyangka bergosip soal kematian akan menyenangkan," katanya ringan.
Dua wanita itu menoleh bersamaan, lalu tertawa kecil. Bahkan dalam kematian, manusia masih mencari tawa sebagai pelipur lara. Sejenak, kematian bukanlah beban, melainkan ruang untuk bernapas.
"Kau tetap mati, Ryu. Pintu itu bisa membawamu pulang ke nirwana," Jane menunjuk pintu tempat tamunya masuk.
"Kalau gantinya aku bisa bertemu ayah, aku tidak masalah." Ryujin menyandarkan punggungnya, santai.
"Berteman dengan penjaga nirwana membuatmu jadi seperti ini. Jangan sering-sering bertemu dia lagi" Jane menceramahi Ryujin, memperingatinya agar berjaga jarak dengan penjaga nirwana.
Segelas, dua gelas, ketiganya larut dalam obrolan. Membicarakan yang hidup maupun yang mati. Botol demi botol tandas, Asahi tidak merasakan mabuk sedikitpun, malah lebih ringan dari biasanya.
Seandainya bisa diulang, Asahi ingin meminum teh pelepas memori setiap kali mati. Supaya rasa sakitnya tidak ikut terbawa. Supaya semuanya selalu terasa baru. Supaya ia bisa memilih takdir yang lebih lembut—mungkin bukan cinta pertama, tapi cinta yang membahagiakan.
Dia menatap kosong ke dalam gelasnya.
Selama ini, ia mengejar cinta pertamanya dengan membabi buta. Ia kira itu takdir. Ia percaya, terlalu dalam, bahwa laki-laki yang pernah membuatnya bahagia bisa melakukannya lagi.
Padahal takdir laki-laki itu adalah menderita. Dan menularkan penderitaan itu padanya.
"Benar. Kamu juga bodoh, Asahi," komentar Ryujin menyeletuk.
Asahi tertawa lirih. Tak membantah. Ia memang bodoh.
"Sekarang bersiaplah untuk bahagia di nirwana. Aku akan menyeduh teh pelepas memori untuk kalian berdua"
Jane beranjak dari duduknya, memanaskan teko berisi air dan dedaunan. Menyiapkan dua cangkir keramik, masing-masing bercorak unik, milik masing-masing jiwa.
Tak lama, Jane kembali dengan dua gelas teh hangat yang mengeluarkan aroma bunga.
"Jika kalian meminumnya, semua memori kalian akan terhapus," ucap Jane seperti membaca mantra kuno. "Setelah minum, kalian bisa keluar dari pintu yang sama saat kalian masuk. Saat kalian reinkarnasi, kalian akan menjalani hidup kalian seperti pertama kali."
Asahi menatap gelasnya. Uapnya menari lembut, berputar seperti fragmen hidup yang ingin ia lepaskan. Ia memutar gelas perlahan, memperhatikan pantulan cahaya di permukaannya. Lalu ia menatap Ryujin. Sahabatnya mengangguk, memberi isyarat bahwa mereka akan baik-baik saja.
Asahi tersenyum. Ia membawa gelas ke bibirnya, menyesap perlahan... lalu meneguk semuanya. Hangat. Lembut. Seolah teh itu bukan hanya menghapus memori, tapi juga luka, penyesalan, dan cinta yang salah arah.
Akhirnya, ia tiba di momen itu. Momen ketika ia melepaskan semuanya, bukan dengan kemarahan, bukan dengan kepahitan, tapi dengan lega dan senyum.
"Berbahagialah, Asahi," ucap Jane. Suaranya berubah. Tidak lagi formal, tidak lagi sarkastik. Penuh rasa sayang.
Asahi dan Ryujin berdiri. Mereka saling menggenggam tangan, seperti dua anak kecil yang akan melangkah ke dunia baru. Tak ada kepastian di balik pintu itu—hanya kemungkinan. Tapi kali ini, mereka siap menyambutnya.
Langkah mereka ringan. Suara langkah mereka tak lagi menekan tanah, melainkan seperti melayang perlahan. Saat pintu dibuka, cahaya putih menyambut. Hangat. Bersih. Seperti pagi pertama dalam kehidupan baru.
Mereka menoleh sekali lagi ke arah Jane, yang berdiri di tempatnya, tersenyum sambil memandangi mereka pergi. Ia tak menangis. Ia hanya diam menunggu.
Dan saat cahaya itu menelan tubuh Asahi dan Ryujin, suara denting bel kembali terdengar dari arah pintu yang sama.
Jane menoleh kembali tersenyum.
"Selamat datang, Yoon Jia," ucapnya lembut, menyambut tamunya yang baru datang, seperti menyambut takdir baru yang datang mengetuk.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.