Ketika setiap jiwa diberikan empat kali kesempatan untuk berada di dunia, mereka memiliki permulaan yang hampir serupa dengan hidup-hidup sebelumnya. Yang berbeda adalah ketika hati nurani dan takdir lain mengajak mereka mengambil langkah.
Di hidupn...
Sinar terik matahari menembus lembut dari celah tirai jendela kamar, menciptakan gurat cahaya keemasan di permukaan ranjang. Hangatnya menyentuh pipi Asahi yang masih tenggelam dalam lelapnya, membuat kelopak matanya perlahan bergetar. Mimpi indah yang baru saja menyapanya terpaksa buyar ketika sinar itu mengusik wajahnya. Dengan gumaman kecil, ia menggeliat pelan.
"Asahi, bangun, nak. Mandi dulu," seruan nyaring dari arah dapur membelah keheningan pagi.
Asahi membuka satu matanya, meringis kecil. "Kenapa manusia harus mandi, sih," gumamnya lirih penuh protes, sebelum akhirnya menyerah dan menyeret tubuhnya keluar dari selimut hangat. Dengan langkah malas, ia berjalan menuju kamar mandi.
Wajah kusut Asahi kembali muncul dari balik pintu kamar mandi. "Mama, Asa lupa bawa handuk" Asahi sedikit mengeraskan suaranya agar dapat terdengar oleh sang ibu.
Kepala Asahi kembali menyembul keluar ketika mendengar suara langkah kaki yang berjalan ke arah kamar mandi. Tangan tuan Hamada terulur untuk memberikan handuk kepada anak semata wayangnya.
"Mama masih di dapur jadi tidak dengar kamu memanggil" Jelas tuan Hamada.
Asahi tersenyum, mengambil handuk dari tangan sang ayah. "Terimakasih, pa" ucapnya sebelum kembali menyelesaikan urusannya di kamar mandi.
Usai membersihkan diri, Asahi muncul lagi dengan coat hitam tergantung di lengannya. Rambutnya masih sedikit basah, aroma sabun menyegarkan menempel di tubuhnya. Ia bergabung di meja makan, duduk di seberang ibunya yang sedang mengoleskan mentega ke roti.
"Hari ini Asahi diantar siapa?" tanya sang ibu sambil menoleh sekilas.
"Jihoonie," jawabnya singkat namun penuh semangat. Hatinya riang membayangkan perjalanan singkat bersama sahabatnya itu. Usai sarapan, ia berpamitan dengan kedua orangtuanya, lalu melangkah keluar.
Udara pagi terasa segar, dedaunan kuning berguguran seiring tiupan angin. Langkahnya ringan saat ia berjalan menuju halte, menikmati setiap detik keheningan sebelum rutinitas hari dimulai. Namun sebuah sedan hitam yang berhenti di hadapannya membuat alisnya bertaut.
"Haru?" tanyanya, heran melihat siapa yang turun dari kursi pengemudi.
"Jihoon ada urusan mendadak. Aku yang akan antar kamu hari ini," jawab Haruto sambil membuka pintu.
Asahi hanya diam sejenak, lalu masuk ke dalam mobil. Suasana hangat dari pemanas mobil menyambutnya. Ia mendesah lega, lalu berucap lirih, "Terima kasih, Haru."
Haruto hanya menoleh sebentar, tersenyum samar dan mengusap puncak kepala Asahi dengan lembut. Mobil pun melaju membelah jalanan kota.
Tak lama, mereka tiba di depan Fakultas Ilmu Budaya. Asahi turun, melambaikan tangan, lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Namun, telinganya menangkap percakapan dua mahasiswa yang tengah duduk di tangga kampus.
"Kamu udah dengar tentang kuil di gunung itu?" ujar salah satu.
"Katanya kalau kamu berdoa di sana saat salju pertama turun, permohonanmu bakal terkabul."
Kata-kata itu menancap di benak Asahi. Pandangannya beralih ke arah gunung di kejauhan, puncaknya sudah diselimuti putih tipis. Rasa penasaran menggantikan niat awalnya untuk masuk kelas. Mungkin sekali ini saja, ia bisa bolos sehari untuk cari tahu.
Jalan menuju kuil cukup terjal, anak tangga dari batu menuntunnya naik satu per satu. Pohon-pohon di sekitar menjulang tinggi, daunnya mulai meranggas. Di ujung jalan, sebuah kuil kecil berdiri tenang di tengah semesta yang sunyi. Angin berhembus lembut, menggerakkan pita-pita doa yang terikat pada tiang-tiang bambu.
"Asahi..." bisik angin, atau mungkin hanya bayangan dalam pikirannya.
"Kenapa hari ini dingin sekali?" Ucap Asahi sambil mengeratkan coat nya. Tangannya terkepal, ditiup sesekali untuk mendapatkan panas. Tiba-tiba muncul tangan lain di sampingnya.
"Mau menggenggam tanganku saja? Tanganku lebih hangat" Ucap laki-laki di hadapannya.
"Begitukah caramu menyapa orang baru?" Tanya Asahi heran.
"Tidak. Tapi kulitmu pucat, aku takut kamu pingsan kedinginan" Jawab lelaki itu santai.
"Hei. Aku ini sehat tau" kesal Asahi.
"Tapi dingin kan? Genggam saja, tidak apa" Tawar lelaki itu lagi.
Asahi meraih tangan lelaki itu ragu. Ternyata benar, tangannya hangat. Kali ini Asahi menggenggam dengan kedua tangannya.
"Lebih baik?" Tanya si lelaki. Asahi mengangguk, tersenyum tanpa rasa bersalah.
"Kamu kemari karena dengar rumor itu ya? Permohonan mu terkabul jika berdoa di saat salju pertama turun"
Asahi mengangguk, ia sendiri penasaran.
"Aku datang ke sini selalu dengan doa yang sama, tapi tidak pernah tahu kapan akan dikabulkannya" testimoni negatif dari lelaki membuat Asahi terkekeh.
"Memangnya berdoa apa?" Tanya Asahi penasaran.
"Aku berdoa agar anakku menyukai pasanganku"jawabnya.
"Anak?" Heran Asahi. Lelaki itu mengangguk singkat.
"Aku menyukai seseorang. Dan aku ingin anakku juga menyukainya nanti" Jawab lelaki itu.
"Coba ganti doanya. Kamu minta pada nirwana agar cinta sejati mu disukai oleh anakmu" saran Asahi.
Secercah harapan muncul dari manik si lelaki. Sambil tetap menggenggam tangan dingin Asahi, dia berbalik menghadap ke papan doa.
Matanya terpejam dengan hikmat, menyalurkan harapan dari hati terdalam. Mangkok perunggu bergeming di depan batang dupa yang tinggal setengah.
Angin berhembus mulai menjadi semakin dingin, kepingan gerimis tidak lagi mencair dalam perjalanannya menuju bumi. Satu keping terus berayun seirama dengan angin.
Tolong buat anakku menyukai cinta sejati ku ini.
Kepingan salju pertama akhirnya tiba menginjak bumi, disusul dengan kepingan selanjutnya.
"Asahi" Suara Jihoon. Asahi mengedarkan pandangannya mencari arah suara.
"Jihoonie!" serunya, langsung memeluk sahabatnya erat. Kehangatan Jihoon menyelimuti tubuhnya yang dingin.
"Untung ada yang lihat kamu ke sini. Lain kali kabari aku dulu"
"Tapi kata Haru, kamu sibuk..."
Jihoon terkekeh. "Haru memang suka mengatur"
Mereka tertawa sebentar, sampai Jihoon menoleh dan melihat pria yang tadi berdiri dengan Asahi.
"Ah, Yoon Jaehyuk-ssi. Saya tidak menyangka akan bertemu Anda di sini."
Jaehyuk tampak gugup. "Saya cuma sesekali ke sini."
"Ini anak kolega ayahku," ujar Jihoon memperkenalkan.
Jaehyuk mengangguk canggung. "Kalau begitu, saya pamit dulu. Saya harus menjemput anak saya."
Ia berbalik, hendak pergi, tapi langkahnya tertahan. Sebuah tangan kecil menahan lengan bajunya.
"Eum... Makasih?" ucap Asahi, pelan dan tulus.
Jantung Jaehyuk berdebar lebih kencang. Sebaliknya waktu di sekitar Jaehyuk memutar lambat.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.