Jihoon bergegas memasuki ruang rapat, langkahnya cepat dan tegas. Udara terasa tegang, seolah mengetahui bahwa pertemuan ini bukan sekadar rapat biasa. Di ujung ruangan, duduk seseorang yang sejak kemarin terus menghantui pikirannya.
"Maaf menunggu lama," ucap Jihoon dengan nada formal, mencoba menyembunyikan gejolak di dadanya. Suara itu terdengar tegas, tapi jika didengarkan lebih saksama, ada getaran kecil yang tak bisa disembunyikan.
Jaehyuk hanya menoleh perlahan, sekilas anggukan menjadi satu-satunya respons. Rapat antara dua pewaris pun dimulai, meskipun topik sebenarnya bukan hanya tentang urusan perusahaan.
Saat rapat selesai, para staf beranjak keluar satu per satu, hingga akhirnya hanya Jihoon dan Jaehyuk yang tersisa. Namun, Jihoon menahan pria itu dengan sebuah kalimat yang membuat atmosfer ruangan berubah seketika.
"Bisa bicara sebentar, Jihyuk ssi? Atau... haruskah saya panggil Anda Yoon Jaehyuk?" Kalimat itu meluncur pelan namun tajam. Jihoon berdiri tegak di ambang meja, matanya menatap lurus, tajam, tanpa gentar.
Kalimat itu membuat Jaehyuk menegang. Wajahnya yang awalnya datar kini menunjukkan secercah keterkejutan. Tangan yang sebelumnya bertumpu santai di atas meja kini perlahan mengepal, jemarinya tampak menggenggam sisa-sisa ketenangannya yang mulai runtuh.
"Maaf saya salah memperkenalkan diri saat bersama Asahi," jawab Jaehyuk, datar. "Saya tidak bermaksud membiarkannya."
Jihoon memicingkan mata, mendekat selangkah. "Lalu kenapa menggunakan nama mendiang kakakmu sendiri?"
Kata-kata itu seperti pukulan kedua. Sorot mata Jaehyuk kini mulai kehilangan fokus, berkedip dua kali, cepat dan gugup.
Jaehyuk tetap diam, tapi tubuhnya berbicara lebih jujur dari kata-kata yang ia tahan. Jaehyuk tidak ingin menjawab.
"Kalian tidak bertukar jiwa, bukan?" Kalimat itu bukan sekadar tuduhan, melainkan sebuah ketakutan yang tak ingin diakuinya. Dan kini, ketakutan itu berputar liar dalam benak Jaehyuk.
Namun Jaehyuk masih membisu. Ia hanya menatap Jihoon dalam diam, sebelum akhirnya melangkah pergi tanpa sepatah kata pun. Membiarkan Jihoon berdiri sendiri dengan pikirannya yang kacau.
Ruang rapat kembali sunyi. Jihoon menatap pintu yang kini tertutup, jantungnya berdetak semakin cepat. Semua fakta yang ia terima seolah mengguncang realita yang selama ini ia percayai.
"Sudah kubilang, jangan ikut campur, Park Jihoon."
Suara berat itu datang dari bingkai pintu. Haruto berdiri di sana, menyandarkan tubuhnya pada kusen, kedua tangannya disilangkan di dada. Tatapan matanya tajam, tidak seperti biasanya. Ia bukan lagi teman santai yang suka bercanda, melainkan sosok yang menyimpan rahasia besar.
"Salah satu langkah saja, ku pastikan Asahi tidak akan bertemu musim dingin tahun ini," lanjutnya, datar namun mengancam.
Jihoon mendesis, "Pak tua berisik."
Ia melangkah mendekat, tidak lagi menyembunyikan amarahnya. Persahabatannya dengan Haruto terasa seperti ilusi yang perlahan runtuh. Fakta bahwa Haruto tahu begitu banyak, tapi memilih bungkam, membuatnya merasa dikhianati.
"Aku bisa membuatmu lupa soal kemarin. Kalau kau mau," ucap Haruto dengan tenang, seperti menawarkan permen kepada anak kecil.
"Lantas aku harus apa? Diam? Mengetahui Asahi akan mati tanpa bisa berbuat apa-apa? Cepat atau lambat, aku pasti akan gila!" Suara Jihoon meninggi, emosinya tak bisa lagi ia kendalikan.
"Benar. Kau hanya perlu diam," jawab Haruto tegas.
Senyuman sinis tersungging di wajah Haruto. Biasanya dia hanya terlihat santai dan sembrono, tapi kini, dia menunjukkan sisi lain dari dirinya—dingin, terukur, dan sangat... magis.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last || Jaesahi
FanfictionKetika setiap jiwa diberikan empat kali kesempatan untuk berada di dunia, mereka memiliki permulaan yang hampir serupa dengan hidup-hidup sebelumnya. Yang berbeda adalah ketika hati nurani dan takdir lain mengajak mereka mengambil langkah. Di hidupn...
