Perpustakaan itu berdiri bisu, menelan waktu bersama tumpukan buku yang sudah lupa debu pertama menempel di mana. Di antara barisan rak tinggi dan langit-langit yang menjulang, Ryujin duduk seorang diri. Tak ada suara lain, hanya detak jarum jam yang menggantung di dinding . Tapi di dalam kepala Ryujin, suara itu dikalahkan oleh gaduh yang tak berhenti.
Dia yang menyuruhnya datang. Tapi nyatanya, dia yang tidak ada di tempatnya. Ryujin memarahi sosok yang tidak bersamanya sekarang.
"Memarahiku tidak akan membuatmu senang sama sekali."
Suara itu terdengar begitu nyata di belakangnya, terlalu dekat. Ryujin tersentak, tubuhnya tegak waspada. Ia berbalik cepat, melihat Haruto berdiri di sana, tubuh jangkungnya membaur dengan bayangan rak buku.
Ryujin mendengus pelan. "Jangan muncul tiba-tiba seperti itu."
Haruto hanya menaikkan sebelah alis, ekspresinya datar, seakan tak ada apapun yang berlalu sejak mereka terakhir bertemu.
"Kenapa aku harus melatih mendengarkan suara hati?" Ryujin bertanya, suaranya dingin, tajam. Sama seperti ketidaksabarannya.
Haruto melangkah pelan, suara sepatunya seperti menyentuh lantai dengan sengaja. "Memangnya nyaman dengan suara hati yang sebanyak itu bertebaran?"
Ryujin diam, tapi tubuhnya sedikit mengendur. Tentu saja tidak. Suara-suara itu bukan hanya sekadar gema pikiran, tapi emosi. Kesedihan, ketakutan, kebohongan, nelangsa yang ikut menyusup dalam tiap detik. Kadang-kadang ia ingin memilih tuli, agar dunia terasa lebih sunyi.
"Karena kamu tahu jawabannya," lanjut Haruto, kini duduk di hadapannya. "Kamu harus melatihnya. Supaya kamu bisa memilih... hati siapa yang ingin kamu dengar, emosi siapa yang ingin kamu rasakan."
Ryujin menatapnya lama. "Kenapa tidak dihilangkan saja? Kau bisa, kan?" tanyanya lirih.
Haruto menghela napas, tapi tak ada rasa iba dalam ekspresinya. "Karena ada tujuannya. Sesuatu yang perlu kamu pahami." Ia mencondongkan tubuh, suaranya mengecil. "Aku tahu kamu penasaran dengan suara orang yang berbeda dengan hatinya. Lebih tepatnya... suara Asahi."
Mata Ryujin membelalak. Ia tidak bisa menyangkal, karena di lubuk hatinya yang paling dalam, ia memang ingin tahu. Suara Asahi... adalah suara miliknya. Bukan hanya suara yang ia dengar setiap kali ia menutup mata, tapi suara yang muncul dalam bisikan-bisikan batinnya, saat pikirannya kacau, saat ia tidak tahu mana yang nyata dan mana yang hanya pantulan dari kehidupan sebelumnya.
Ada dualitas yang membingungkan, seperti melihat bayangannya di cermin yang retak—sama, tapi berbeda. Muncul pertanyaan paling menakutkan dari semua ini. Kalau suara Asahi adalah suaranya... lalu suara hati Ryujin yang asli, yang murni... seperti apa?
"Bagus," kata Haruto, menyeringai tipis. "Kamu akhirnya bisa paham maksudku."
Ryujin menarik napas panjang. "Aku tidak tahu akan seperti apa nantinya... Tapi setidaknya, kalau aku bisa mendengar lebih baik, itu cukup." Kata-katanya pelan, seperti menyerah—mungkin menerima bahwa ini jalannya.
Haruto diam. Hanya matanya yang menatap Ryujin dalam, seperti menembus pikirannya.
Lalu dengan suara yang nyaris berbisik, ia berkata, "Kamu tahu betul ke mana perginya."
Perpustakaan terasa makin sunyi. Sunyi yang menusuk, bukan menenangkan. Ryujin menatap Haruto, dan perlahan, sebuah kata muncul dalam benaknya. Tidak berasal dari suara, tapi rasa yang menempel di udara. Kata itu berdiri tegak, membebani napasnya.
Kematian.
Haruto mengangguk pelan, lalu mengacungkan jempolnya, seolah menyetujui jawaban yang tak pernah benar-benar ditanyakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last || Jaesahi
FanfictionKetika setiap jiwa diberikan empat kali kesempatan untuk berada di dunia, mereka memiliki permulaan yang hampir serupa dengan hidup-hidup sebelumnya. Yang berbeda adalah ketika hati nurani dan takdir lain mengajak mereka mengambil langkah. Di hidupn...
