22. Takdirnya Masih Sama

132 15 2
                                        

Biasanya Jaehyuk akan menyamar jadi pelanggan setia cafe. Menunggui si manis bekerja selama shift nya sambil menyeruput capucino hangat. Sedangkan yang ditunggui sesekali mencuri pandang dan tersenyum pada Jaehyuk. Hari ini hanya ada Asahi yang bersama Ryujin, sebab Jaehyuk tengah melakukan perjalanan jauh.

"Warna rambut kita sekarang mirip ya" Ryujin menghempaskan rambutnya untuk bersikap pamer atas pujian Asahi.

"Shift mu selesai jam berapa, Sa? Ayo jalan-jalan dulu"

"2 jam lagi kok. Ryu punya tujuannya ngga?" Ujar Asahi saat melihat jam dinding menunjukkan pukul 2 siang.

Si gadis menggeleng, dia hanya ingin menghabiskan waktu bersama. Soal tujuannya sama sekali belum terpikirkan.

"Eh, Sa" Ryujin membisik, mengisayaratkan Asahi untuk mendekat.

"Lelaki yang pakai jaket itu berpacaran dengan keduanya, tahu" Bisik Ryujin sambil sedikit melirik ke arah meja berisi tiga orang.

"Ryu jadi penggosip sekarang" Kekeh Asahi.

Denting pintu berbunyi menandakan pengunjung cafe kembali bertambah. "Selamat dat-..""

Sosok yang datang adalah adik dari pujangga si manis. Yoon Jia kembali datang ke cafe dengan hawa tidak bersahabat.

Jia berjalan perlahan, menatap Asahi dari ujung kepala sampai kaki dengan pandangan penuh penghinaan. Tapi ia tak langsung bicara. Dia berjalan pelan, mendekat ke arah mereka berdua, lalu membuka suara dengan nada yang dingin, datar, tanpa sedikitpun belas kasih.

"Benar-benar menjijikkan," katanya, suaranya terdengar keras di dalam keheningan cafe. "Kemarin kamu menyangkal, sekarang kamu bersembunyi. Seperti orang yang tahu bahwa dirinya sendiri adalah aib."

Kata-kata itu menghantam lebih keras dari tamparan. Suara bisik-bisik mulai bergaung, kecil, halus, tapi nyata. Asahi bisa merasakan puluhan tatapan menusuk ke arahnya, menguliti dirinya hidup-hidup.

Asahi mencoba menarik napas panjang, mengunci emosinya di dasar tenggorokan. "Tolong," katanya, suaranya bergetar menahan amarah dan kepedihan, "jangan bersikap seperti ini."

Namun Jia hanya terkekeh sinis, seolah Asahi telah mengatakan lelucon buruk. "Aku harus apa, hah? Pura-pura buta? Pura-pura tuli? Kau..." Ia mendekat lebih lagi, menatap tajam langsung ke dalam mata Asahi, "...menyukai sesama laki-laki?"

Seketika dunia berhenti berputar untuk Asahi. Napasnya tertahan. Pengunjung cafe, yang semula ragu untuk campur tangan, kini menatap dengan mata terbuka lebar, haus akan drama yang jarang terjadi dalam kehidupan mereka yang monoton.

"Sudah cukup," kata Asahi, hampir berbisik, berharap suara kecilnya mampu menghentikan bencana ini.

Tapi Jia tidak peduli. Kata-kata kasar terus meluncur dari bibirnya, masing-masing seperti peluru yang ditembakkan langsung ke hati Asahi. Ia ingin membuat Asahi hancur. Ia ingin melihat pecahan-pecahan itu berserakan di lantai.

"Aku hanya berharap kamu mati saja, Asahi."

Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan penuh racun. Asahi tidak kaget. Ia tahu pada akhirnya, semua akan mengarah ke sana. 

Yang mengejutkan untuknya adalah tangan lain menampar pipi Jia. Ryujin, yang sedari tadi diam, kini berdiri dengan matanya berkilat marah. Ia menatap Jia dengan kemarahan yang tak tertahan, tangan kanannya bergetar setelah tamparan itu.

"Kamu pikir kamu siapa?" Ryujin berteriak. "Tuhan? Malaikat? Seenaknya mengharapkan orang lain mati!"

Tamparan lain mendarat. Jia berusaha menghindar, tapi Ryujin terlalu cepat. Tamparan demi tamparan menghujani wajah Jia, diiringi makian yang kini meledak keluar tanpa filter. Cafe itu berubah menjadi medan pertempuran emosi.

The Last || JaesahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang