TMI: Dulu waktu nulis chapter ini, Isso terlalu sedih ngebayangin suasananya sampe mutusin buat unpublish. Kaya.. gimana bisa ngebayangin hal manis tapi perasaannya tuh sedih, tapi situasinya sebenernya manis banget (ini dibayangan Isso sih, gatau kalo kalian juga ngerasa gitu atau engga)
Cuma Isso selalu ngebayangin gimana endingnya, gimana ceritanya nanti. Akhirnya mutusin buat dicoba lanjut lagi deh. Kalo emang nanti Isso bener-bener ga sanggup nyelesaiin book ini, Isso minta maafnya dari sekarang yaaa hehe
Happy Reading ^^
Issolaten
---
"Aiguu, udah mirip sama kimbap" Jihoon bergurau melihat penampilan Asahi yang tertutup rapat. Padahal musim dingin belum datang, tapi pakaian Asahi sudah lebih dari tiga lapis.
"Dingin, Jii. Kita emangnya mau kemana??" Asahi melepaskan jaket padding nya lalu meninggikan suhu penghangat di dalam mobil.
"Ke kantor papa ku hehehe -- ett jangan ngambek dulu. Janji bentar doang, abis itu kita ke peternakan sesuai sama kemauan kamu kemarin" Jihoon dengan sigap menahan gerakan Asahi yang ingin kembali turun dari mobil.
Asahi mendelik jengah, namun tidak lagi banyak tingkah dan duduk manis saat mobil melaju ke perusahaan milik ayah Jihoon. Mata Asahi menatap lurus jalan kota, sesekali melihat iklan yang terpajang di samping jalan.
'Satu tahun, Sa. Sisanya hanya satu tahun sebelum semuanya benar-benar selesai' Begitulah pikir Asahi. Dia telah melihat dunia di empat masa yang berbeda, hidup terakhirnya yang paling membahagiakan sekaligus menenangkan.
"Kamu lagi random banget ya sekarang. Beli gelang samaan buat kita bertiga, warnain rambut, sekarang mau ke peternakan" Jihoon melirik sekilas ke puncak kepala Asahi yang sebagian besar tertutup kupluk putih.
Dibalik kupluk putih itu ada rambut Asahi yang sebelumnya coklat gelap menjadi lebih terang disertai beberapa rambut yang kuning gading. Jihoon ingat bagaimana Asahi melakukan panggilan video dengannya begitu bersemangat. "Jii, lihat. Rambut Asa abis diwarnain sama Ryu" Begitu ucapnya sambil mengibaskan rambut yang sedikit berada di bawah telinga.
Cantik tentu saja. Warna rambut Asahi tidak mengurangi apapun pada dirinya. Justru menambah seri pada kulit pucat setiap kali dia dengan bangga menunjukkan rambut barunya pada orang-orang terdekat. Mereka seperti melihat anak gadis yang baru saja dibelikan gaun untuk hari ulang tahunnya.
Tangan kanan Jihoon meraih puncak kepala Asahi, mengusap pelan kepala lelaki manis di sampingnya. "Sa, jangan disimpen sendiri masalahnya"
Suasana di dalam mobil rasanya menjadi semakin hening dan menghilangkan kenyamanannya. Asahi terdiam menunduk selama perjalanan yang tersisa, sesak sedih yang sering ia hiraukan rasanya membuncah ketika mendengar ucapan Jihoon terhadapnya.
Pada akhirnya tangis Asahi pecah saat mobil Jihoon memasuki area parkir perusahaan. Mereka tidak langsung keluar dari mobil, Jihoon membiarkan Asahi menuntaskan tangisnya dulu. Tangan Jihoon dengan setia mengusap kepala Asahi untuk menenangkannya sekaligus memberikan kenyamanan tambahan yang sempat hilang.
"Asa mau cerita? Ngga papa kalau Asa gamau" Asahi masih terus menangis ketika kepalanya menggeleng pelan. Dia rasa cukup orangtuanya yang tau, menambahkan orang lain akan membuatnya semakin sulit di kemudian hari.
Asahi tidak ingin menambahkan bebannya pada orang lain lagi.
"Sini peluk" Badan Jihoon tergerak maju untuk meraih Asahi ke dalam pelukannya. Tangannya kembali menepuk pelan pundak Asahi.
"Ngga suka, Jii" Asahi bergeliat tidak nyaman di dalam pelukan Jihoon, dia berusaha melepaskan kedua tangan Jihoon yang merengkuhnya.
Jihoon melemparkan senyum tidak bersalah setelah pelukannya terlepas, di sisi lain Asahi menatapnya kesal dengan mata yang masih sembab dan hidung yang memerah. Setidaknya tangis Asahi dapat dihentikan, mendengarnya tanpa bisa berbuat apapun membuat Jihoon merasa tidak berguna.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last || Jaesahi
أدب الهواةKetika setiap jiwa diberikan empat kali kesempatan untuk berada di dunia, mereka memiliki permulaan yang hampir serupa dengan hidup-hidup sebelumnya. Yang berbeda adalah ketika hati nurani dan takdir lain mengajak mereka mengambil langkah. Di hidupn...
