Asahi memeluk sosok tegap dihadapannya. Bau kayumanis dari si lelaki menenangkan indra penciumannya yang hampir mati rasa karena terlalu dingin. Sosok tegap itu menyampirkan mantel tebal di atas gaun dan jaket tipis milik Asahi. "Lain kali jangan keluar seorang diri tanpa penghangat seperti ini"
"Aku tidak tau kalau suhunya akan sedingin ini. Maaf" Asahi menunjukkan wajah sedihnya. Namun siapa yang mau percaya dengan alasannya saat seluruh Korea tahu kalau sebentar lagi tahun baru?
Beruntung lapisan yang ia kenakan hari ini lebih dari cukup untuk memberikan satu pada Asahi. "Aku berhutang banyak padamu, manajer Jung"
"Jangan memanggilku seperti itu, aku merasa kamu terus memberikan penghalang bagimu untuk mendekat. It's Jiho for you" Asahi terkekeh ketika melihat Jiho merajuk.
"Baiklah... Terima kasih Jiho nim" Jiho tersenyum ketika Asahi menyebutkan nama depannya. Mereka berdua melanjutkan jalan-jalan mereka di akhir tahun ini.
Tangan keduanya tertaut, berayun mengikuti langkah kaki yang berjalan beriringan. Wajah Asahi bersinar lembut dengan seri tipis di sekitar pipi dan hidungnya. Sangat manis sampai Jiho bahkan tidak peduli dengan apapun yang ada di depannya. Jiho terus melihat si gadis sambil menyunggingkan senyum.
"Ah, kamu tau kalau ada kuil di atas gunung sana?" Jiho menunjuk salah satu puncak yang mereka berdua lihat. Asahi hanya menggeleng pelan.
"Katanya impianmu terkabul jika berdoa di sana saat salju pertama" Tangan kecil Asahi diremat pelan.
"Aku tau sekarang sudah jauh di tengah musim dingin, namun tidak ada salahnya berdoa selain pada waktu salju pertama. Mau ke sana?" Ajakan itu terlontar dari Jiho. Matanya berbinar penuh harap agar Asahi mau ikut dengannya.
Di sinilah mereka sekarang.
Masih dengan tangan yang saling menggenggam, mereka pergi ke kuil yang dipercaya Jiho bisa mengabulkan impiannya. Sinar matahari sore memancar melalui jendela kuil, menerangi wajah Jiho dan Asahi yang berdiri berdampingan.
Udara yang tenang dan harum dupa membuat mereka merasa lebih dekat dengan kekuatan yang lebih besar. Jiho menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam, dan berdoa dengan sungguh-sungguh, sementara Asahi tetap menatap tulisan-tulisan di papan doa, seolah-olah mencari jawaban atas pertanyaan yang belum terucap.
'Aku ingin pergi ke luar negeri' Asahi pernah hidup di luar negeri. Sekarang pun bukanlah negeri di mana ia dilahirkan.
'Aku ingin punya peliharaan' Asahi pernah memelihara hewan ternak. Meskipun bukan miliknya, tapi Asahi merasa senang pernah memeliharanya.
'Aku ingin jadi penulis' Asahi pernah membaca tulisan seorang cendekiawan. Selalu indah entah setelah dibaca kali ke keberapa.
'Aku ingin kami menikah' Ah. Asahi juga tidak pernah menikah. Asahi ingin sekali menikah dengan pujaan hati yang kini berdiri di sampingnya.
'Aku ingin segera punya anak' Bagaimana rasanya merawat anak kandung? Asahi juga penasaran.
'Aku harap semuanya panjang umur' Umur Asahi bahkan tidak pernah mencapai kepala tiga. Bagaimana rasanya menua ya?
"Sepertinya tidak hanya dirimu yang percaya dengan kuil ini, manajer Jung" Asahi bersuara pelan, lebih mirip seperti berbisik untuk dirinya sendiri.
Mungkin kuil yang sedang sepi atau telinga Jiho yang terlalu tajam, dia dapat menangkap jelas apa yang Asahi katakan. "Karena sudah banyak doa yang pernah terkabul di sini"
"Itu tulisan ku beberapa tahun lalu" Jiho menunjuk sebilah papan bambu tipis dengan tulisan yang hampir pudar.
"Kamu mau menuliskan harapan, Asahi?" Jiho menyodorkan selembar papan bambu dan sebuah spidol. Asahi menyambutnya, namun terdiam sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last || Jaesahi
FanfictionKetika setiap jiwa diberikan empat kali kesempatan untuk berada di dunia, mereka memiliki permulaan yang hampir serupa dengan hidup-hidup sebelumnya. Yang berbeda adalah ketika hati nurani dan takdir lain mengajak mereka mengambil langkah. Di hidupn...
