Salju turun tanpa henti sejak pagi. Butir-butir putih itu melayang perlahan, menghiasi atap-atap rumah, menutupi pepohonan, dan membalut dunia dalam diam yang menenangkan. Jalanan kota seakan melambat, orang-orang berlalu-lalang dengan langkah cepat, wajah mereka tertutup syal dan jaket tebal.
Namun di tengah dingin yang menggigit, ada kehangatan yang hanya bisa ditemukan bukan dari api, tapi dari perasaan. Pergi mendatangi suatu tempat, menanti, dan bertemu orang yang menyenangkan juga bisa memberikan hangat pada diri.
Contohnya Asahi yang datang ke restoran untuk menemui janji makan malamnya. Ia tersenyum saat melihat sosok yang sudah menunggunya.Wajah itu terlihat gugup, tapi penuh harap.
"Maaf membuatmu menunggu, Jaehyuk ssi," ujarnya lembut sembari menarik kursi dan duduk.
Jaehyuk yang duduk dengan tangan bertaut di pangkuan, menoleh cepat. Ia berusaha terlihat santai, meski telapak tangannya basah karena gugup.
"Tidak apa-apa, Asahi. Aku juga baru tiba di sini." Sebuah kebohongan kecil. Ia sudah duduk sejak langit masih berwarna jingga.
Ia menatap Asahi dengan pandangan yang tak bisa disembunyikan. Matanya menangkap setiap detail—pipinya yang memerah karena dingin, matanya yang berkilat di bawah lampu restoran, hingga caranya menyelipkan rambut ke belakang telinga.
Ada sesuatu dalam kesederhanaannya yang begitu menarik. Tanpa banyak usaha, si manis berhasil mencuri perhatiannya. Tubuhnya dibalut turtleneck biru yang kontras dengan rambut coklat terangnya. Warna itu membuat wajahnya seolah bersinar, membuat Jaehyuk sejenak lupa bagaimana caranya bernapas.
Selalu cantik. Begitulah komentar singkat dari Jaehyuk di kepalanya.
"Asahi... terimakasih sudah datang. Aku tahu undangan ini mendadak, apalagi aku menghubungimu lewat Jihoon."
Nada suaranya pelan, hati-hati, seperti seseorang yang sedang menginjak es tipis.
Asahi tersenyum, mengangguk. "Terimakasih juga sudah mengundangku."
Dan kemudian, keheningan yang canggung mengisi ruang di antara mereka. Suara garpu dan gelas dari meja lain terdengar lebih nyaring dari biasanya. Jaehyuk memutar gelas air di hadapannya, mencari keberanian dari riaknya yang tenang.
Jaehyuk akhirnya membuka suara lagi, "Maaf juga... tentang di kuil. Aku tidak seharusnya memaksamu."
Nada penyesalan itu tulus. Ia teringat jelas ekspresi Asahi hari itu, ragu-ragu namun tetap menuruti permintaannya yang sembrono.
Asahi tertawa pelan. Tawa itu membuat bahunya naik sedikit dan matanya menyipit. Lelaki di hadapannya terlihat berbeda dengan orang yang memaksanya untuk menggenggam tangan. Jaehyuk di hadapannya sekarang sangat kaku.
"Aku justru lebih menyukai sikapmu waktu itu, Jaehyuk ssi. Hari ini kamu terlalu kaku." Lesung pipi si manis muncul saat dirinya tersenyum.
Tawa Asahi menelusup ke dalam dada Jaehyuk, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia nyaris tersedak air minumnya, tapi berhasil menyembunyikannya dengan batuk pelan.
Ia menatap Asahi dengan ekspresi campur aduk antara malu dan lega. "Kalau begitu, mungkin kamu bisa berhenti memanggilku 'Jaehyuk ssi'?"
"Baiklah, Jaehyukkie?" goda Asahi.
Dan seperti sihir, seluruh ruang seolah menghilang. Hanya ada Asahi di matanya. Jaehyuk menyukai perasaan ini—hangat, tenang, dan juga menegangkan. Ia ingin perasaan itu bertahan selamanya, sampai jantungnya tak mampu lagi bekerja.
Sementara itu, di luar restoran, seorang gadis berdiri menatap ke dalam. Jemarinya dimasukkan ke dalam saku mantel panjangnya. Nafasnya membentuk embun di udara dingin. Dirinya tersenyum tipis melihat orang-orang saling membagi kasih sayang yang dimiliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last || Jaesahi
Fiksi PenggemarKetika setiap jiwa diberikan empat kali kesempatan untuk berada di dunia, mereka memiliki permulaan yang hampir serupa dengan hidup-hidup sebelumnya. Yang berbeda adalah ketika hati nurani dan takdir lain mengajak mereka mengambil langkah. Di hidupn...
