Badan Asahi masih bergumul di dalam selimut ketika mama Hamada membangunkannya. Selimut berbulu tipis itu menutup separuh wajah pucat Asahi yang masih setia memejamkan mata.
"Asahi.. Bangun, nak" Panggilan yang disertai guncangan pelan dari nyonya Hamada. Si kulit pucat mengerutkan keningnya karena merasa tidur nyenyaknya telah diinterupsi.
"Ayo bangun, mama sudah siapkan air hangat untuk mandi" Sudah menjadi rutinitas untuk mendengar Asahi mendesah frustasi setiap mendengar kata mandi. Belasan tahun hidup nyonya Hamada terus memahami yang tidak biasa dari anak angkatnya itu.
"Kenapa manusia harus mandi" Mata Asahi masih tertutup ketika ia menyuarakan keresahan untuk kali ke sekian. Meskipun penuh dengan rasa terpaksa, Asahi tetap bangkit dari kasurnya dan bergegas ke kamar mandi.
Wajah kusut Asahi muncul dari balik pintu kamar mandi. "Mama, Asa lupa bawa handuk" Asahi sedikit mengeraskan suaranya agar dapat terdengar oleh sang ibu.
Kepala Asahi kembali menyembul keluar ketika mendengar suara langkah kaki yang berjalan ke arah kamar mandi. Tangan tuan Hamada terulur untuk memberikan handuk kepada anak semata wayangnya. Pintu kembali ditutup dengan tergesa-gesa setelah Asahi tahu bahwa yang membawakan handuk bukanlah ibunya.
"Maaf ya, nak. Papa yang bawa handuknya, mama masih di dapur jadi tidak dengar kamu memanggil. Handuknya papa gantung di gagang pintu, hati-hati jatuh kalau mau buka pintu"
Tuan Hamada tidak pernah lupa kalau ada jiwa gadis lugu di dalam tubuh Asahi. Dia yang punya rasa malu teramat tinggi sampai sulit untuk mandi sendiri tentu masih tidak terbiasa dengan sang ayah yang ikut serta dalam urusan seperti itu. Tuan Hamada menyadari dan ikut merasakan dilema yang dialami oleh Asahi.
Usai mandi, Asahi ikut bergabung ke meja makan untuk menikmati sarapan bersama. Sepanjang sarapan Asahi lebih banyak diam dan menanggapi obrolan di antara mereka bertiga seperlunya. Isi kepalanya mengudara ke banyak tempat, berusaha mengalihkan pikiran yang terus mengganggunya sejak tadi.
"Papa... Asa mau minta maaf" Kedua orang tua angkat Asahi berhenti berbicara ketika mendengar suara cicit Asahi.
"Eh?" Sang ibu berseru heran. Berbeda dengan suaminya yang hanya menatap teduh.
"Sekarang anak papa sudah besar, ya. Malu itu wajar sayang, gapapa" Tuan Hamada tau anaknya masih harus membiasakan diri dengan fisik barunya. 20 tahun rasanya tidak seberapa dengan ratusan tahun menjadi seorang gadis di masa dunia masih berjuang bersama.
Hamada Asahi adalah anaknya. Bagaimanapun juga, dia yang harus memahami anaknya melalui jalan yang berbeda. Sejak janji untuk membahagiakan si gadis tersumpah di dalam nuraninya, Tuan Hamada tau bahwa bukan dia yang harus memilih langkah yang harus diambil Asahi. Dia yang punya tanggung jawab untuk memastikan Asahi anaknya berjalan ringan tanpa hambatan.
"Mama ngga paham. Intinya mama sayang kalian" Celetuk nyonya Hamada mencairkan suasana sendu haru di antara suami dan anaknya. Mereka bertiga tertawa renyah dan melanjutkan makan dengan tenang.
"Asa ada libur akhir tahun kan? Kita pergi ke tempat nenek mau?" Asahi mengagguk mantap, senyumnya semakin sumringah menanti hari libur di akhir tahun. Musim dingin terakhirnya untuk bahagia.
Asahi berangkat kuliah dengan langkah ringan. Dia memeluk erat jaket tebal yang ia kenakan sambil menunggu bus tiba. Bersenandung kecil nada acak yang terngiang di kepalanya. Hari paling hangat di antara dua musim dingin menurut Asahi adalah hari sebelum salju pertama. Angin semilir, tidak kering, matahari cerah. Lengkap untuk memulai harinya dengan baik.
"Mau kemana?" Asahi terlalu larut dalam senandungnya sampai tidak sadar ada mobil hitam yang berhenti tepat di depan halte bus.
"Mau kuliah, Jaehyuk-ssi" Asahi menjawab seperlunya. Jaehyuk bangkit dari bangku kemudi untuk membuka pintu di depan Asahi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last || Jaesahi
FanfictionKetika setiap jiwa diberikan empat kali kesempatan untuk berada di dunia, mereka memiliki permulaan yang hampir serupa dengan hidup-hidup sebelumnya. Yang berbeda adalah ketika hati nurani dan takdir lain mengajak mereka mengambil langkah. Di hidupn...
