16. Percaya dan Sepenuhnya

138 14 0
                                        

Cepat atau lambat, Jaehyuk tahu momen ini akan datang. Sejak Asahi memanggilnya 'Jaehyuk' beberapa minggu lalu, ia selalu menghindar agar hatinya siap. Tapi persiapan itu ternyata tak pernah cukup untuk menahan gemuruh di dadanya sekarang.

Mereka duduk berhadapan di meja makan yang kosong. Tak ada hidangan. Hanya dua cangkir teh beraroma bunga yang mulai mendingin. Aroma itu seharusnya menenangkan, tapi tidak bisa menenangkan Jaehyuk hari ini.

Jaehyuk tidak menatap adiknya. Tatapannya terpaku pada noda kecil di meja kayu, pada uap teh yang menghilang di udara, pada apapun selain wajah Jia yang penuh luka yang tak bisa ia sembuhkan.

"Oppa..." panggilan lembut itu membuat tubuh Jaehyuk menegang.

Bukan karena panggilannya, tapi karena nada suaranya. Ada luka di sana. Ada kesedihan yang tak asing. Jia berbicara seperti biasa, tenang, pelan, penuh kasih. Tapi itu yang membuat Jaehyuk semakin hancur.

"Sehancur itu ya?" tanya Jia, suaranya hampir tak terdengar. "Apa kejadian itu masih menghantuimu?"

Hantu? Bukan. Ini bukan bayangan masa lalu yang gentayangan. Ini adalah kenyataan yang hidup dan bernapas.

"Oppa, Jaehyuk oppa sudah tenang di sana," lanjut Jia. Suara Jia gemetar, bergetar antara keyakinan dan ketidakpastian. Ia tidak sedang berbicara untuk meyakinkan Jaehyuk. Dia sedang berbicara untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Jaehyuk tidak menjawab. Hanya menggertakkan rahangnya, menatap kosong ke arah teh di hadapannya. Di bawah meja, tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-bukunya menegang.

Tidak.

Jaehyuk belum tenang. Jaehyuk bahkan belum mati. Dia masih di sini. Dia terjebak dalam tubuh adiknya, Jihyuk.

Ketika semua orang menangis di atas pusaranya, ketika doa-doa dikirimkan untuknya, mereka tak tahu... bahwa Jaehyuk tidak benar-benar pergi.

Dia hanya berpindah.

"Jaehyuk oppa hanya ingin menyelamatkanmu. Sudah takdirnya kalau Jaehyuk oppa yang ternyata harus pergi lebih dulu..."

Takdir? Jaehyuk ingin tertawa, tapi yang keluar hanyalah desahan napas yang getir. Takdir seharusnya membebaskan. Bukan menyiksanya. Bukan meninggalkannya terperangkap dalam tubuh seseorang yang tidak dia pilih, di dunia yang tidak mengenalnya, dengan wajah yang mengingatkan semua orang pada luka.

Di depannya, Jia menunduk. Matanya berkabut, dan Jaehyuk bisa melihat rasa bersalah yang sudah bertahun-tahun bersarang di sana. Tapi yang membuatnya gila adalah—rasa bersalah itu bukan ditujukan padanya. Itu ditujukan pada Jihyuk.

Orang yang seharusnya hidup. Orang yang seharusnya menyambut pagi dengan langkah ringan.

Bukan dia. Bukan Jaehyuk, yang membawa beban dua kehidupan dan satu kematian.

"Oppa, ku mohon... ingat Jihan. Bertahanlah... untuk Jihan..."

Itulah puncaknya. Kata-kata itu, permohonan yang begitu tulus hampir putus asa.

Dia menegakkan tubuhnya, akhirnya menatap mata Jia. Dalam tatapan itu, tidak ada kebencian. Hanya keputusasaan yang menumpuk, dan keinginan untuk dipercaya.

"Jia," suaranya pelan tapi tegas. "Kalau aku bilang aku ini Jaehyuk, kamu percaya?"

Jia menatapnya, dan untuk sepersekian detik, Jaehyuk bisa melihat harapan kecil dalam mata adiknya dengan cepat hancur dan diganti oleh air mata.

"Ah oppa... jangan begini..." katanya, tubuhnya sedikit berguncang.

Jaehyuk menghela napas. "Tidak kan?" gumamnya sambil berdecih. "Tentu saja tidak. Jadi anggap saja angin lalu."

"Kenapa harus jadi Jaehyuk oppa?" tanya Jia dengan suara pecah.

"Entahlah, Jia. Aku hanya... ingin dikenal sebagai Jaehyuk." Untuk pertama kalinya, Jia tahu maksud tangisan keluh kesah dari sang kakak selama ini. Bukan karena luka lama, tapi karena tak seorang pun lagi mengenali siapa dia sebenarnya.

Jaehyuk hidup, tapi dunia memilih untuk percaya bahwa dia telah mati.

Dan mungkin... itu yang paling menyakitkan.

---

Hari itu, saat Jihoon datang, Asahi melakukan sesuatu yang baru baginya. Si manis membiarkan dirinya melangkah lebih dulu, memeluk sahabatnya itu erat-erat. 

Surai coklat muda Asahi berlabuh halus di bahu Jihoon. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menyandarkan dirinya, meminta tanpa kata-kata untuk didengarkan.

Jihoon, yang semula kaget dengan sambutan itu, perlahan merespons dengan kehangatan. Tangan Jihoon terulur mengelus lembut kepala Asahi.

"Kamu kenapa, cantik?" Tanya Jihoon tanpa menurunkan tangannya dari kepala si manis.

Asahi mengangkat kepalanya, menatap Jihoon dengan mata bulat yang berkilat, mencari makna di balik kata itu. Ada jeda sesaat sebelum ia memanggil lirih, "Jihoonie...."

Melihat ekspresi Asahi yang ragu-ragu, Jihoon segera tersenyum menenangkan. "Tidak apa-apa, Sa. Cantik yang aku maksud bukan seperti perempuan. Kamu cantik seperti matahari pagi. Sangat menarik mata dan membuatku ingin tersenyum."

Perlahan, rona merah muda merayap di kulit pucat Asahi. Pujian Jihoon terasa lebih hangat daripada api unggun yang pernah mereka nikmati bersama di malam musim dingin.

Tertawa kecil, Jihoon menarik kembali tubuh mungil Asahi ke pelukannya. Rasanya begitu alami, begitu benar. Dan yang lebih membuat hati Jihoon membuncah adalah kenyataan bahwa Asahi tidak menolak. Sebaliknya, Asahi membiarkan dirinya larut dalam kehangatan itu, memejamkan mata sejenak, menikmati rasa aman yang jarang ia temukan.

"Katakan saja apa yang ingin kamu rasakan, Sa," bisik Jihoon lembut di telinga Asahi. "Aku akan berikan semua yang bisa kuberikan."

Pelukan mereka mengerat. Aroma kayumanis yang khas dari tubuh Asahi mengisi indera penciuman Jihoon, membuat suasana semakin nyaman di antara mereka.

"Asa suka dipeluk seperti ini," kata Asahi akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan yang hanya bisa didengar Jihoon. "Terimakasih, Jihoonie."

Asahi melingkarkan tangannya di pinggang Jihoon. Tidak ada ketakutan akan salah paham, tidak ada keraguan apakah tindakannya akan dinilai aneh. Ia hanya jujur pada dirinya sendiri—pada kebutuhannya akan kehangatan, akan sentuhan yang menenangkan.

Asahi kini lebih nyaman menjadi dirinya sendiri. Seorang laki-laki yang menemukan kekuatan dalam kelembutan, keberanian dalam kejujuran, dan keindahan dalam hubungan yang tulus. 

Ia tahu, tidak banyak yang mengerti itu. Dunia sering terlalu sibuk memberi label dan mengkotakkan. Tapi Jihoon? Jihoon mengerti. Jihoon tidak pernah memintanya berubah, tidak pernah menuntutnya menjadi sesuatu yang lain.

Bersama Jihoon, Asahi bisa menjadi dirinya sendiri sepenuhnya. Bisa bersandar tanpa malu, bisa tersenyum tanpa takut disalahartikan.

Pelukan itu berlangsung lama, tanpa kata-kata, tapi penuh makna. Jihoon mengelus punggung Asahi perlahan, membiarkannya tahu bahwa ia diterima, bahwa ia berharga sebagaimana adanya.

Dalam diam itu, Asahi merasa hatinya dipenuhi rasa syukur. Ia bersyukur atas keberanian kecil yang membawanya memeluk lebih dulu. Ia bersyukur atas tangan hangat Jihoon yang tidak ragu membalas pelukannya. 

Ia bersyukur atas setiap detik di mana ia bisa menjadi Asahi, sepenuhnya.

Ia bersyukur atas setiap detik di mana ia bisa menjadi Asahi, sepenuhnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Last || JaesahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang