Asahi duduk bersandar pada tiang kayu kuil kecil yang tersembunyi di kaki gunung. Tempat yang jadi saksi bisu permohonannya saat salju pertama turun, tempat ia menanam harapan yang tak berani ia ucapkan dengan lantang. Niat awalnya hanya untuk mampir sejenak, menenangkan diri sebelum kembali menanggung rindu yang menyiksa. Namun, hujan turun dengan deras melarangnya pergi.
Angin dingin menerpa kulit, menembus jaket tipis yang melingkupi tubuhnya. Tapi rasa dingin itu tidak seberapa dibanding perasaan yang mengaduk dalam dada. Rindu yang mengendap, tidak pernah reda.
"Tidak dingin, Asahi?" Sebuah suara yang sangat dikenalnya terdengar, memecah suara hujan yang monoton.
Asahi membeku. Suara itu suara yang selama ini hanya ia dengar dalam ingatannya. Apakah ini hanya ilusi yang diciptakan oleh pikirannya sendiri karena terlalu merindukan seseorang? Ia tidak berani menoleh. Hatinya rapuh, dan ia takut kalau semua ini hanya lamunan kosong.
"Kulitmu tetap saja pucat, ya..." suara itu kembali terdengar. Lebih dekat, lebih nyata. Asahi memeluk lututnya lebih erat, seolah sedang menjaga pecahan hatinya agar tidak berserakan. Jika suara itu mengucapkan satu kalimat lagi, ia tahu ia takkan sanggup menahan tangis.
Namun yang datang bukan hanya kalimat. Tangan hangat menyentuh wajahnya yang tersembunyi di balik lengan. Lembut, hati-hati, takut Asahi akan menghilang.
"Selalu cantik, Asahi."
Dan detik itu juga, air mata yang selama ini tertahan tumpah begitu saja.
Asahi mengangkat wajahnya perlahan. Jaehyuk benar-benar ada di sana. Berdiri di bawah hujan, wajahnya teduh seperti payung yang melindungi dari panas siang. Matanya penuh ketulusan, dan senyumnya menenangkan. Seolah waktu tidak pernah memisahkan mereka.
Tangis Asahi pecah tanpa bisa ditahan. Ia menangis karena bahagia, karena sedih, karena lelah menyimpan semua sendiri. Ia menangis karena akhirnya, seseorang yang ia rindukan ada di hadapannya, nyata dan hangat.
Tanpa sepatah kata pun, Jaehyuk menariknya dalam pelukan. Pelukan itu bukan sekadar pelukan—ia adalah tempat pulang, perlindungan, dan penghiburan yang selama ini Asahi dambakan. Di dada Jaehyuk, Asahi menangis sepuasnya, membiarkan tubuhnya melebur dalam hangatnya kasih yang ia pikir telah hilang.
"Maaf," isaknya, "ternyata aku yang merindu. Aku benar-benar menyukaimu lagi, Jaehyukkie. Kumohon... jangan menghilang dariku lagi..."
Kata-kata itu meluncur begitu saja di sela tangisnya. Mungkin nanti Asahi akan merasa malu, mungkin ia akan menyesali kejujurannya. Tapi saat ini, yang penting baginya adalah ia tidak lagi memendam semuanya sendiri.
Jaehyuk tidak langsung menjawab. Ia hanya memeluk Asahi lebih erat, dia ingin memastikan bahwa si manis tidak akan merasa sendiri lagi.
"Aku di sini sekarang," bisiknya lembut, "aku tidak pergi ke mana-mana lagi."
Tangan Jaehyuk mengusap punggung Asahi dengan gerakan yang tenang dan meyakinkan. Setiap sentuhannya membawa ketenangan yang meresap hingga ke relung hati terdalam.
Hujan masih turun, tapi dunia terasa jauh lebih hangat bagi Asahi. Di bawah langit kelabu dan di depan kuil kecil yang penuh kenangan, ia menemukan kembali tempat hatinya berlabuh.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dada Asahi tidak terasa sesak. Ia telah menyampaikan perasaannya, dan Jaehyuk membalasnya bukan dengan kata-kata indah semata, tapi dengan kehadiran yang nyata dan ketulusan yang tak terbantahkan.
Dan pada akhirnya, mungkin ini bukan hanya hujan yang menghalangi langkahnya.
Mungkin ini adalah hujan yang sengaja turun... agar ia tidak melewatkan kesempatan untuk mencintai lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last || Jaesahi
FanfictionKetika setiap jiwa diberikan empat kali kesempatan untuk berada di dunia, mereka memiliki permulaan yang hampir serupa dengan hidup-hidup sebelumnya. Yang berbeda adalah ketika hati nurani dan takdir lain mengajak mereka mengambil langkah. Di hidupn...
