Epilog

195 19 4
                                        

50 tahun kemudian...

Langit Korea memerah senja, dedaunan berguguran perlahan di sepanjang trotoar. Haruto melangkah perlahan, setiap gesekan daun kering di bawah kakinya seolah membangkitkan gema masa lalu. Bertahun-tahun ia tak menginjakkan kaki di negeri ini. Hari ini, akhirnya ia kembali.

"Banyak sekali yang berbeda..." gumamnya, matanya menyapu bangunan-bangunan tinggi yang dulu tak ada. Korea telah berubah, dan begitu pula dirinya.

Ia berjalan menuju kampus lamanya. Gedung-gedung baru menjulang di tempat di mana dulu hanya ada taman dan bangku kayu. Tapi tak semuanya hilang. Ada satu tempat kecil yang masih bertahan—kafe tua di sudut jalan, kini tampak lebih hidup dengan sentuhan kayu dan lampu-lampu hangat menggantung dari langit-langit.

Saat Haruto membuka pintu kafe itu, aroma kayu manis dan madu langsung menyambut, menyeruak bersama kenangan yang menyesak dada.Hawanya hangat bak musim semi.

"Selamat datang," ucap seorang gadis di balik meja kasir.

Haruto menatapnya, tersenyum simpul. Selamat datang lagi, Ryu.

"Aku mau teh hangat... dan kue itu," katanya, menunjuk salah satu kue manis yang tampak biasa tapi mengandung arti besar baginya.

Setelah membayar, ia berkata pelan, "Itu untukmu. Jangan lupa dimakan."

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan melangkah keluar dengan tangan kosong. Tapi hatinya hangat. Gadis itu tak tahu siapa dia, tapi Haruto tahu—jiwa itu pernah menjadi seseorang yang sangat berarti baginya. 

Ryujin telah bereinkarnasi dalam wujud baru. Ia tak perlu menjelaskan apa-apa. Cukup tahu bahwa jiwa itu hidup, bahagia, dan baik-baik saja.

"Permisi, Paman," suara kecil menghentikan langkahnya. Seorang anak lelaki berdiri menatapnya dengan mata bulat penuh harap. "Boleh temani aku sebentar? Aku kehilangan Kakekku."

Haruto mengangguk dan meraih tangan kecil itu. "Tentu. Ayo duduk sebentar."

"Umurmu berapa?" tanyanya sambil menatap wajah mungil yang entah kenapa begitu familiar.

"Lima tahun!" jawab si anak, bangga sambil menunjukkan kelima jarinya.

"Kenapa bisa terpisah dari Kakekmu, hm?" Haruto mengusap kepala si kecil, gerakan refleks yang mengalir dari dalam.

"Karena dompet Kakek tertinggal di toko. Dia lari balik ke sana, tapi aku nggak tahu jalannya. Jadi aku tunggu di sini saja," jelasnya polos.

"Anak pintar," kata Haruto, menahan senyum. Ia menatap wajah mungil itu lebih dalam. Ada sesuatu yang sangat akrab.

"Jisung!" Teriakan lemah dari kejauhan membuat Haruto menoleh. 

Seorang kakek tua, tubuhnya membungkuk oleh waktu, berjalan tertatih mendekat. "Jisung!"

Anak kecil itu langsung berdiri dan berlari ke pelukan kakeknya. Haruto hanya bisa terpaku.

Wajah itu... meski waktu telah menorehkan kerut di sana, Haruto tidak bisa salah mengenalinya.

"Ternyata benar ya" Gumam Haruto pelan. Rupanya nirwana tengah memberikan kado selamat datang kepada Haruto.

"Terima kasih sudah menemani cucuku," katanya dengan senyum tulus. Suaranya parau tapi masih mengandung kehangatan yang sama seperti dulu.

Haruto mengangguk. Ia ingin mengatakan banyak hal. Tentang betapa ia merindukan sosok itu... Tapi ia memilih diam. Beberapa perasaan tak perlu kata-kata, cukup dikenang dan dilepaskan dengan senyum.

Wajahnya memang telah termakan oleh waktu, keriput-keriput mengukir cerita panjang kehidupan yang telah dilaluinya. Namun bagi Haruto, tak ada yang berubah—di matanya, si kakek tetaplah sosok yang paling cantik, sama seperti di masa mudanya. 

Kecantikan itu bukan lagi soal rupa, melainkan tentang cinta dan ketulusan yang tak pernah luntur, bahkan oleh usia. Haruto mengingat dengan jelas bagaimana sorot mata dan senyum lembut itu telah mencuri hatinya sejak lama, dan tak sekalipun pesonanya memudar.

Ketika melihat cucunya yang kini menggenggam tangannya dengan erat, Haruto merasakan hangat yang familiar menyusup ke dalam hatinya. Dunia yang dulu terasa asing dan keras bagi cinta mereka, kini justru memberikan pelukan hangat seolah mengamini hubungan itu. 

Tak ada lagi penolakan, tak ada lagi tatapan sinis—hanya penerimaan dan kasih sayang yang tulus. Dalam momen itu, Haruto tahu bahwa perjuangan mereka dulu tidak sia-sia.

Si manis akhirnya mendapatkan cinta sejatinya. Cinta yang setia, lembut, dan bertahan hingga uban menutupi rambut. Mereka telah hidup bersama, tertawa dan menangis bersama, dan kini menua bersama—suatu impian sederhana yang dulu terasa mustahil, tapi kini telah terwujud sepenuhnya. 

Saat keduanya berpamitan dan undur diri, Haruto hanya tersenyum simpul. Tak ada air mata, hanya ketenangan dan rasa syukur yang mengalir dalam dadanya. Ia menatap mereka berjalan beriringan, tangan saling menggenggam erat, langkah mereka perlahan menjauh hingga akhirnya lenyap di ujung jalan. 

Di sana, dalam keheningan yang syahdu, Haruto tahu bahwa cinta sejati benar-benar ada—dan ia telah menjadi bagian dari kisah indah itu.

"Selalu cantik, Asahi. Aku akan menunggumu kembali" Gumamnya lalu kembali berjalan tanpa tujuan jelas.

Tujuan Haruto selama ini, yaitu memberikan kebahagiaan di hidup terakhir si manis, telah ia penuhi dengan sepenuh hati. Tak ada lagi yang ia sesali. Melihat si manis bahagia adalah anugerah terbesar yang bisa ia terima.

The last thing  for your happiness  is make you loved by everyone, including me

-SELESAI-


The Last || JaesahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang