18. Your Cry in April

144 15 0
                                        

Seharusnya semua kembali normal. Seharusnya Asahi bisa menjalani hidupnya seperti sediakala. Seharusnya satu musim itu tidak berpengaruh apapun dibandingkan 20 tahun hidupnya. Seharusnya Asahi bisa melupakan Jaehyuk.

Nyatanya tidak. Asahi menjalani hidupnya dengan emosi kosong. Asahi sangat berharap sosok Yoon Jaehyuk ada di hadapannya sekarang.

Hari ini pun sama. Tidak ada hal yang berarti terjadi. Semua sama, datar tanpa nyawa. Asahi berjalan seorang diri keluar dari kelas. Asahi menahan isak tangisnya sambil berjalan keluar. Langkahnya hilang arah, menjauh dari gedung fakultasnya.

Sebuah mobil melambat di samping Asahi. Mobilnya sama hitamnya, tapi Asahi tahu kalau bukan mobil itu yang ia harapkan ada sekarang. Kaca kursi penumpang terbuka, menampilkan Jihoon dan Haruto di barisan depan. "Masuk"

Titah Haruto dituruti oleh Asahi, sedangkan Jihoon menatapnya penuh rasa iba. Asahi kini duduk di baris kedua, menyandarkan kepalanya dengan penuh helaan napas. "Menangislah jika memang dirasa perlu"

Asahi akhirnya menangis. Tidak meraung ataupun merintih, isak tangisnya hanya dipenuhi hening dan napas yang tersendat. Asahi menyalurkan frustasinya ke setiap bulir air mata.

Di luar sana awan hitam saling bergelung sebelum akhirnya ikut serta menangis. Asahi terus menangis selama perjalanannya pulang. Usai menangis, tubuhnya yang ikut lelah akhirnya mengalah dan membuatnya terlelap.

Mobil melaju hanya ditemani suara roda yang menggilas aspal basah dan gemuruh lembut hujan di kejauhan. Jihoon dan Haruto duduk dalam diam, sesekali saling bertukar pandang dengan kekhawatiran yang tak terucap. Tatapan mereka sesekali tertuju pada Asahi yang tertidur di kursi belakang, wajahnya masih tampak lelah dengan sisa air mata yang belum sepenuhnya kering.

Mereka bertiga tiba di apartemen tempat tinggal Asahi ketika si manis masih terlelap. Tanpa berusaha membangunkan, Jihoon menggendong Asahi naik ke unit tempat keluarga Hamada. Haruto ikut serta berada di sampingnya, membantu menekan bel rumah keluarga Hamada.

Pintu rumah terbuka oleh mama Asahi. "Ya ampun, maafkan Asahi yang merepotkan kalian" ucapnya penuh rasa terima kasih, sambil mengusap kedua tangannya di apron yang masih dikenakannya. Wajahnya menunjukkan kelegaan sekaligus sedikit kekhawatiran, namun ia segera membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan mereka masuk.

Aroma teh hangat dan kayu manis dari dapur menyambut kehadiran mereka, menciptakan suasana hangat di tengah cuaca yang dingin. Jihoon mengangguk sopan, Haruto membalas senyuman kecil, lalu keduanya masuk dengan hati-hati, seolah tak ingin mengusik keheningan rumah itu.

Mama Asahi memandu mereka ke arah kamar tidur Asahi. Jihoon dengan hati-hati merebahkan tubuh Asahi ke tempat tidur, membenarkan posisi selimut dan menyelipkan beberapa helai rambut dari wajahnya. Tidurnya masih lelap, nafasnya teratur, seakan tubuhnya benar-benar menyerah pada rasa lelah yang menumpuk. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, membuat semuanya terasa seperti bagian dari mimpi yang rapuh.

"Terima kasih sudah mengantarkan Asahi pulang" Ucap mama Asahi. Jihoon menunduk hormat, dan Haruto hanya membalas dengan senyum tenang. Belum sempat mereka beranjak, suara pintu depan terdengar terbuka.

"Aku pulang" terdengar suara pria dewasa dari ruang tamu, berat dan tenang, khas seorang kepala keluarga yang baru saja pulang dari rutinitas panjang. Tuan Hamada melangkah masuk dan melepaskan sepatu dengan gerakan pelan.

Tuan Hamada bersitatap dengan istri dan para tamunya. Sekilas wajahnya terlihat datar, namun matanya menyorot tajam, menyiratkan sesuatu yang tak biasa. Tidak perlu waktu lama untuk mengenali salah satu dari tamu yang tiba. Beratus-ratus tahun, wajahnya selalu sama. Bersih tanpa cacat sedikitpun.

"Baru satu musim, jangan menjemputnya dulu" Ucap Tuan Hamada lugas.

---

Asahi terbangun dari tidurnya. Mulai mencerna bahwa dirinya telah nyaman berbalut selimut. Jendela kamarnya menampilkan gemilang bintang malam, hujan telah lama reda dan digantikan perannya oleh bulan.

Kepala Asahi pening akibat menangis. Sedihnya masih bergelung di dalam hati. Ia belum pernah merasakan kegundahan seperti ini—tidak saat cinta pertamanya dahulu, tidak juga saat pertama kali hatinya patah.

Yang ini berbeda.

Yang ini jauh lebih dalam.

Dan menyakitkan.

Meski berkali-kali ia menolak, membantah, dan berusaha meyakinkan dirinya bahwa semuanya hanyalah emosi sesaat, semakin kuat suara di dalam dirinya berkata sebaliknya. Ia jatuh cinta lagi. Pada orang yang sama.

"Asahi... kenapa kamu begini lagi..." bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.

Asahi menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal, mencoba menahan isak yang kembali muncul. Tapi air mata tidak pernah bisa diajak kompromi. Ia tumpah, jatuh tanpa aba-aba. Rasa sesak itu kembali menyeruak, menghimpit dadanya. Ada rasa takut. Ada rasa malu. Ada rasa bersalah. Tapi di balik semua itu, ada cinta yang terus tumbuh diam-diam, menolak untuk mati.

Asahi membenci dirinya sendiri karena tak bisa mengendalikan perasaannya. Terlebih, dia membenci kenyataan bahwa dirinya seorang laki-laki yang jatuh cinta pada laki-laki juga. 

Dunia tidak akan memahaminya. Asahi sendiri pun belum sanggup menerimanya. Ia ingin berhenti, ingin memutar waktu. Tapi nyatanya ia justru semakin tenggelam.

"Asa anak mama..."

Suara lembut itu menyentaknya. Pelukan hangat menyusul, menyelimuti tubuhnya yang gemetar. Nyonya Hamada entah sejak kapan sudah berdiri di depan pintu kamar, lalu menghampiri anak laki-lakinya dan langsung memeluknya erat. Seolah tahu, seolah mengerti, tanpa perlu penjelasan panjang. Hanya dengan satu kalimat, semua benteng pertahanan Asahi runtuh.

Tangisnya pecah.

Ia membenamkan wajah ke pundak ibunya, memeluk tubuh itu erat-erat, seolah sedang mencengkeram satu-satunya pelampung di tengah lautan badai. Bahunya naik turun, napasnya tersengal, suaranya pecah tak beraturan.

Nyonya Hamada tidak bertanya apa pun. Tidak meminta penjelasan. Ia hanya memeluk, membiarkan anaknya menangis sepuasnya. Jemarinya mengelus punggung sang anak, gerakannya lambat dan penuh kasih, seperti saat Asahi masih kecil dan terbangun karena mimpi buruk.

"Asahi sayang, Asahi anak mama... Asahi punya mama di sini..." katanya berulang-ulang, menjadi mantra yang menenangkan, menjadi jangkar yang menahan Asahi agar tidak tenggelam lebih dalam ke dalam gelapnya pikiran sendiri.

"Mama..." suara Asahi akhirnya terdengar, parau, nyaris seperti bisikan. "Asa minta maaf... Asa juga nggak mau begini... Mama, Asa sama sekali nggak ingin jatuh cinta lagi..."

Nyonya Hamada mengencangkan pelukannya, membiarkan anaknya terus berbicara dalam tangis.

Hatinya berkecamuk. Ia pernah bersumpah tidak akan membiarkan dirinya kembali terjebak. Tapi nyatanya, ia sendiri yang tidak bisa menepati janjinya. Ia kalah oleh rasa rindunya sendiri. Kalah oleh luka yang belum sempat sembuh, tapi sudah dipaksa untuk dilupakan.

"Ma... Kenapa harus dia lagi... Kenapa harus Jaehyuk lagi..."

Dalam diamnya, Nyonya Hamada menitikkan air mata. Bukan karena kecewa, bukan karena marah, tapi karena ia tahu. Cinta, dalam bentuk apa pun, selalu datang dengan luka dan perjuangan. Ia tidak akan pernah membenci anaknya, siapa pun yang ia cintai.

Ia hanya ingin Asahi tahu... bahwa ia tidak sendiri.

 bahwa ia tidak sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Last || JaesahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang