1. Awit
Karangan-karangan bunga berucap kata selamat menghias kanan kiri jalan ketika Bentley Continental biru itu melaju perlahan. Derum suaranya yang halus semakin menipis bersamaan dengan pengemudinya yang melambatkan kecepatan. Lelaki di balik kemudi melirik gerbang tinggi bertulis Sutedja sarana medis Group, sebelum menekan klakson guna menyapa empat orang petugas keamanan yang tengah tersenyum di balik pos jaga.
Ia menghentikan kendaraannya di sisi pos dan membuka jendela mobil, menjulurkan tangan keluar, menunjuk karangan bunga yang berjejer di belakang sana. "Siapa yang kirim, Pak?"
"Banyak, Bapak," jawab salah satu security, tergopoh-gopoh menghampiri. "Ada daftar pengirimnya kalau Bapak mau lihat."
"Nanti kirim ke Andreas," ujar si lelaki dengan santai. "Dari kapan aja itu datangnya?"
"Baru pagi ini semua, Bapak. Khusus menyambut anniversary perusahaan, katanya."
"Oh," Lelaki itu mengangguk paham. Tersenyum tipis sebelum menutup jendela mobilnya lagi. Kembali melajukan sedannya memasuki pelataran kantor, berhenti tepat di depan pintu utama. Ia melepas sabuk pengaman bersamaan dengan seorang petugas di depan sana yang mendekat, menundukkan kepalanya sambil memberi hormat.
"Pagi, Pak Anthariksa."
Antha membuka pintu mobil kemudian balas menyapa. "Pagi," ia menyerahkan kunci mobilnya pada lelaki muda di depannya yang sigap menerima. "Andreas sudah datang belum, ya?"
"Sudah, Pak. Sekitar satu jam yang lalu Pak Andreasnya sudah masuk."
"Okay. Tolong mobilnya, ya," ia melenggang setelah lelaki muda di depannya mengangguk. Kaki-kaki panjangnya melangkah di lobi gedung dengan santai. Sesekali membalas sapaan beberapa karyawan yang lalu lalang di sekitar. Ia merogoh saku lantas men-tap ID Card perusahaan di mesin pemindai, sebelum melewati basic keamanan.
Di pojok kanan sana, selepas melewati meja panjang yang melengkung, ada sebuah lift khusus yang biasa ia pakai. Beda dengan dua lift yang ada di tengah ruangan sana, disini ia tak butuh waktu lama atau mengantre, efesiensi waktu adalah hal terpenting dalam hidupnya akhir-akhir ini. Jarinya menekan angka 25 sebelum punggungnya bersandar di kotak besi tersebut. Beberapa menit luang seperti ini, biasanya akan ia gunakan untuk tidur lagi --dalam posisi berdiri-- sampai setidaknya, pintu lift terbuka dan ia di haruskan keluar dari sana.
Ada sebuah meja resepsionis kecil dengan gadis berambut pirang di cepol rapi yang senantiasa menyambutnya sebelum Antha sampai ke ruangan. Dan di ruangan itulah Andreas, sekretarisnya mendongak. Berdiri dari kursi. Sudah siap dengan tab di tangan dan mulutnya yang otomatis berujar seperti biasa.
"Vitamin, Mas Antha?"
"Udah," jawabnya, melenggang ke kursi. Melepas jas untuk di sampirkan di tempatnya duduk. "Jam sepuluh nanti suruh Olin ke bandara, ya. Jemput si Mama."
"Siap,"
"Rumah Mas Sangga sama Ginan udah di beresin?"
Andreas mengiyakan. "Besok sudah siap di tempati."
"Terus gue ngapain hari ini?"
"Mau yang santai dulu, apa langsung kerja keras?"
Alis Antha menukik. "Emangnya ada yang santai?"
Andreas melirik tab-nya sejenak lantas nyengir. "Nggak ada, sih. Saya basa-basi aja tadi," jawabnya, di balas dengus sebal sang atasan. Andreas ketawa, lalu meneruskan. "Full meeting sampai jam dua siang ya, Mas. Jeda dua jam khusus pesanan Bu Nayumi. Biasa, jadwal kencan. Setelah itu, lanjut lagi buat company visit, selesainya jam delapan, belum di hitung waktu dinner."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anggrek api dan Mata ketiga
RomanceDendam kesumat membara di dadanya. Bagai api yang berkobar tak tahu arah, melalap segala hal yang lewat tanpa kecuali, si anggrek api berjalan menyusuri setiap jengkal tempat dan orang-orang yang konon katanya menjadi penyebab keluarganya hancur sed...