19. Grantil

23.6K 3.2K 738
                                    

19. Grantil










"Gue butuh info soal Arung Sulistyo lagi," kata Jena, menyentuh keningnya dengan frustasi. Gadis itu terduduk di lantai, mengatur napas agar tak kelepasan menangis seperti tadi.

"Lo mau ngapain?" tanya gadis di seberang panggilan, curiga. "Bahaya, Jen. Nggak usah aneh-aneh. Gue takut lo kenapa-kenapa."

"Di, lo mau bantuin gue sekali ini aja, nggak? Please." Gadis itu menutup bibirnya dengan sebelah tangan yang bebas, menahan tangis yang sebentar lagi meledak. "Gue butuh lo," cicitnya, menggigit bibir bawahnya dengan airmata berlinang. Ia mendongak putus asa, berkata dengan nada lelahnya. "Gue takut kasusnya dingin lagi kayak kasus Mas Gamael dulu. Tolongin gue, Di." Setelah sekian lama di tahan, akhirnya ia terisak pelan, menutup wajahnya dengan telapak tangan. "Please," pintanya. "Gue nggak punya siapa-siapa selain elo. Bantuin gue."

"Lo emang setan. Selalu aja bikin rencana tobat gue gagal," sahut Dinai pelan. "Gue ke Surabaya lusa. Sekarang ngerampungin syuting dulu," lanjutnya.

"Thanks," ucap Jena sambil sesenggukan.

"Sekarang lo harus sembunyi. Jangan kemana-mana dulu."

"Mm," Jena mengiyakan dengan tangis sendu.

"Jangan mati dulu, Jen. Utang lo sama gue masih banyak."

"Mmm," ia menyeka matanya yang basah sambil mengangguk. "Di," panggilnya.

"Apa?"

"Gue takut banget," lirihnya, menatap langit-langit kamar dengan pikiran kacau. "Tinggal gue sendiri, gue takut."

"Tidur. Jangan mikir apa-apa. Kita pikirin bareng lusa, oke?"

Jena mengangguk lagi dengan gumam pelan. "Mmm," ia mendongak sebab ketukan terdengar di pintu kamar. Membuatnya berdiri, lantas berujar. "Di, kabarin gue lagi besok." Ia mematikan panggilan lalu berjalan pelan, tak lupa membersihkan bekas airmata di pipinya sebelum membuka pintu. Mengerjap kaget saat mendapati sosok Anthariksa menjulang di depannya, menyodorkan sebotol wine dan satu buah gelas sebelum menerobos masuk ke kamar. Duduk lesehan di bawah kasur.

"Boleh minum malam ini. Aku temenin," ujarnya. Meletakkan botol dan gelas lalu menepuk-nepuk tempat di sisinya pelan. "Sini. Yang ini gratis, nggak masuk daftar hutang."

Jena berkedip sebelum akhirnya mengangguk. Menutup pintu dan mendatangi Anthariksa. Menyelonjorkan kedua kakinya saat lelaki itu membuka botol dan menuangkan isinya di gelas. "Aku dulu," ucapnya, meneguk wine tersebut sedikit. Lalu menyodorkan sisanya pada Jena. "Minum."

"Nggak mau. Bekas kamu."

Antha berdecak. "Justru begini bagusnya biar kesedihanmu pindah dikit ke aku. Nggak usah banyak cingcong. Minum."

Dengan gurat malu-malu Jena meraih gelas tersebut. Meneguknya sekaligus lantas mendesis dengan pundak bergetar.

"Enak, kan?" tanya Antha, mengisi gelas di tangan Jena lagi. "Akan ada berita besok pagi," bukanya. "Jangan kaget. Ini semua demi kebaikanmu."

Jena menoleh, bertanya. "Berita kematian Koh Marvel?"

Antha menggeleng. "Akan ada gosip soal kita," katanya, sukses membuat Jena mengerjap kaget. "Demi menutup kasus Marvel sebentar," terangnya lagi. "Bursa efek sensitif banget sama berita. Tapi ini bukan cuma tentang naik turunnya harga saham. Ini juga tentang nama baik Sutedja yang harus di jaga." Lelaki itu meletakkan botol di lantai. Menekuk sebelah tangannya di ranjang guna menopang kepala. "Pengakuan Marvel soal penggelapan dana itu bisa membuat nama Sutedja buruk, harga saham turun, keberadaan kamu jadi sorotan negatif."

Anggrek api dan Mata ketigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang