26. Incih
"Kabur teroooossss!"
Seruan itu membuat langkah Jena makin terbirit-birit. Ia bahkan meninggalkan ponselnya di meja pantry saking buru-burunya melarikan diri.
"Hape siapa nih, ketinggalan!" seru Antha, sengaja mengeraskan suara. Lelaki itu membuka kulkas, melirik Jena yang sudah sampai di depan pintu, tinggal beberapa langkah lagi bisa keluar rumah. Sambil menutup pintu kulkas selepas mengambil sebotol air mineral, ia melanjutkan. "JUAL NIH YA HAPENYA KALAU NGGAK DIAMBIL?"
Dan setelahnya, suara gedebuk langkah kaki terdengar nyaring, dipadu dengan jerit kecil Jena yang kini heboh balik badan, berlarian ke pantry. Menyahut ponselnya secepat kilat, bermaksud kabur seperti tadi. Namun naas, usaha kaburnya kali ini gagal total sebab Anthariksa sudah lebih dulu menahan belakang kaosnya hingga si gadis terpental ke belakang, menubruk dada Antha yang geleng-geleng pelan.
"Pendek kabur-kaburan. Naikin keatas lemari juga nih, biar nggak bisa turun," ancamnya. "Bikinin kopi sekarang."
"Iya. Nant--jangan ditarik nanti kendor!" teriaknya protes, mendengus saat Antha melepaskan cengkramannya pada kerah kaos. Gadis itu balik badan, tak berani mendongak. Sambil melipir ke sisi-sisi tembok, ia bergumam. "Misi,"
"Misa-misi."
"Sempit!" bentak Jena sebal. "Minggir makanya jangan ditengah jalan!"
Melihat gurat malu-malu yang disamarkan dengan bentakan sok galak di wajahnya membuat insting jahil Antha terpanggil. Rasanya mubadzir kalau ia membiarkan hidup Jena tenang sehari saja. Jadi dengan santai ia menopang pinggul di meja pantry, mengulurkan kakinya yang panjang untuk menghalangi langkah Jena. Menyeringai iseng. "Semalam ada yang minta dikelonin, tapi subuh-subuh kabur--"
"AKU MABUK!" jerit Jena panik. Gadis itu berkedip-kedip gusar lantas berdekhem. "A-aku ... kamu ngerti kan, o-orang ... kalau habis minum ..." jelasnya terbata-bata. "Aah! Pokoknya gitu!" Ia memukul kaki Antha yang menghadangnya dengan sebal.
Antha mendengus geli. "Ah, masaaaak?" Ledeknya, menarik tangan Jena sambil terkekeh-kekeh. "Eh, kenapa lehernya dikasih hansaplas?" tanyanya, sok lugu."Biarin aja kali, bagus itu. Hasil karya Anthariksa."
"Jangan bacot ya!" Jena meninju perut Antha pelan, tolah-toleh canggung. Mengulang penjelasannya dengan putus asa. "Maafin aku. Semalam aku habis minum sama Awan."
"Aku nggak peduli semalam kamu mabuk apa enggak," lelaki itu mengulum senyum, bergumam melanjutkan. "Jawabanmu nggak bisa ditarik ulang," katanya, memainkan anting di teling Jena lembut. "Jadi gimana Ibu Semesta Jainari Sutedja? Hal apa yang harus kita lakukan di hari pertama pacaran?"
"Bisa nggak ..." Jena bertanya ragu-ragu. Menggigit bibirnya dengan resah. "Pacarannya di tunda sampai bulan depan aja? Jangan sekarang."
Antha menyipit. "Kenapa?"
"Tanggung," jawab Jena pelan. "Biar aku pacaran sama Awan dulu. Bulan depan kuputusin, baru pindah ke kamu."
"Ini anak bener-bener!" decak Antha kesal. "Jangan mancing emosi orang, ya!" Di sentilnya jidat Jena hingga si gadis beraduh-aduh histeris.
"Kamu kasar banget!" teriaknya, balas menghantam kepala Anthariksa hingga lelaki itu beraduh.
Keduanya sama-sama memegangi kepala beberapa saat sampai tatapannya bertemu lurus. Saling berpandangan lantas tergelak, menertawakan satu sama lain.
"Sakit? Sini aku lihat,"
Jena menampik tangan Antha dengan sisa tawa. "Jangan sok care,"
"Yang namanya pacaran emang begini," jawab Antha dengan seringai geli. "Kamu sih nggak pernah pacaran. Makanya nggak ngerti." Diusapnya jidat Jena lantas di tiup pelan. "Aslinya emang nggak apa-apa. Tapi kalau ada aku, kamu boleh pura-pura sakit,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Anggrek api dan Mata ketiga
RomanceDendam kesumat membara di dadanya. Bagai api yang berkobar tak tahu arah, melalap segala hal yang lewat tanpa kecuali, si anggrek api berjalan menyusuri setiap jengkal tempat dan orang-orang yang konon katanya menjadi penyebab keluarganya hancur sed...