25. Anglocita (2)

26.7K 3.4K 966
                                    

25. Anglocita (2)





"Lagi, Wan." Pinta Jena, menatap gelasnya yang kosong dengan mata menyipit serius. "Lagi."

"Jangan banyak-banyak, Semesta. Nanti kamu mabuk," ucapnya, menuang lagi minuman di gelas Jena. "Aku masih mau ngobrol sama Semesta yang sadar, bukan Semesta yang teler."

"Aku nggak gampang mabuk," dusta Jena setengah merengek. "Lagi."

Awan terkekeh, menuangkan isi botol tersebut lebih banyak. "Pelan-pelan minumnya."

"Thanks,"

Awan kembali mengiris-iris daging di piring sebelum di sodorkan pada Jena. "Jangan cuma minum. Nih, coba. Ini menu yang waktu itu kita diskusikan. Dagingnya di panggang setelah di marinasi pakai campuran madu sama garam, lada, dan paprika," ucapnya dengan semangat. "Kamu pasti suka."

Jena mengangguk. Dengan berat hati mendorong gelasnya ke samping untuk beralih pada sepiring hidangan siap santap tersebut. Menusuk irisan daging untuk di masukkan ke mulut. Matanya yang sipit membulat dua kali lebih besar saat manggut-manggut. "Woah," ia menutup bibir sambil menatap Awan takjub, mengacungkan jempol. Menggoyang-goyangkan bahu saat daging itu lumer di mulutnya, memberi sensasi manis dan gurih bersamaan. "Aku mau pinter masak kayak kamu," gersahnya. Menyuap sepotong daging lagi. "Enak bangeeet."

Sementara Awan justru tergelak. "Nggak perlu. Biar aku yang masak untuk kamu nanti."

Sambil mengunyah, pipi Jena memanas. Gadis itu berdekhem, pura-pura menatap sekitar dengan sibuk. Mengamati beberapa pengunjung lain disana cukup lama. "Rame, ya?"

Awan mengangguk. "Semoga seterusnya begini," ia meraih serbet untuk di letakkan di depan Jena, menopang dagu dengan sebelah tangan, tersenyum manis sekali. "Okay. Satu dari cita-citaku sekarang udah tercapai," gumamnya. "Semoga cita-cita yang lain menyusul segera."

"Cita-cita?" Jena menyeka bibirnya dengan serbet, lalu meneguk minumannya lagi. "Cita-citamu apa?"

"Rahasia."

Jena berdecih, sedangkan Awan ketawa.

"Lain kali masih mau kencan lagi, kan?" tanyanya. "Kamu nggak kapok jalan sama aku, kan?"

"Mana bisa kapok kalau dikasih makanan enak begini?"

"Syukurlah," ujar lelaki itu lega. "Selain daging, kamu suka apalagi? Nanti aku coba buatkan khusus di kencan kita selanjutnya."

Jena bergumam cukup panjang sebelum menjawab. "Sushi," ia mengerjap. "Tapi ini bukan restoran Jepang, ya?" Ia terkekeh-kekeh santai.

"Bisa kok. Nanti kubikinin spesial buat kamu. Nggak masuk menu, cuma buat kamu aja."

"Bener?"

Awan mengangguk. "Makan lagi."

Jena baru akan menusuk sepotong daging ketika lamat-lamat, dari arah pintu masuk terlihat sesosok manusia yang tampak familiar di mata. Kehadirannya membuat Jena mengernyit, menelengkan kepala hanya untuk memastikan penglihatannya tak sedang bermasalah.
"Lah," gadis itu bahkan mengucek mata. Meninggalkan makanan enaknya lantas berkedip-kedip kebingungan.

"Ada apa?" Awan menoleh ke belakang, penasaran.

"Enggak, aku cuma--" Jena melotot saat lelaki itu berbelok, menyipit dari arah kejauhan. "Hah?"

"Semesta?" Awan bolak-balik menoleh depan belakang. "Kenapa?"

"Anu, i-itu ..." Jena menelan saliva saat Antha tahu-tahu berdiri di depannya. Menumpukan kedua tangan di meja dengan napas ngos-ngosan dan mata memicing galak. Lelaki itu mendekatkan wajah untuk mengendus aroma alkohol di mulut Jena lantas berdecak. "Udah dibilang jangan minum."

Anggrek api dan Mata ketigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang