28. Kawadaka

23.1K 3.6K 886
                                    

28. Kawadaka






"Jen, gue rasa ada yang ngikutin kita, deh," bisik Dinai, menggandeng lengan Jena sambil berjalan memasuki pelataran gedung apartemen. "Apa kita misah aja buat ngecoh dia?"

Jena menggeleng santai. Mendongakkan kepala guna menatap gedung tinggi didepannya. Sibuk mencocokkan dengan samar-samar ingatan yang masih menempel di kepala.

Dulu sekali, Marvel pernah bercerita tentang satu unit apartemen yang ia beli khusus untuk menyimpan foto-foto hasil jepretannya sejak muda. Mendiang kakak sepupunya itu juga bilang, tak banyak yang tahu soal apartemen di pusat kota Jakarta tersebut, karena itu ia merasa aman menyimpan segala rahasianya disana.

Dan bicara soal rahasia, entah kenapa Jena jadi terpikir ada sesuatu disana. Mengingat percakapan terakhirnya dengan Marvel, lelaki itupun menyebut apartemen sebelum meninggal. Jadi sudah tentu, kecurigaan Jena tentang tempat itu makin besar. Ia rasa tak ada salahnya mengecek kemari. Siapa tahu sedikit keberuntungan masih memihaknya dan ia bisa mendapat sedikit petunjuk tentang semua ini.

Sekecil apapun kemungkinan itu, Jena tak akan ragu mengejarnya.

"Tuh, Jen. Dia ikut belok," bisik Dinai lagi, makin terdengar ketakutan. "Jangan-jangan mereka satu tim sama penjahat yang mati bunuh diri itu? Apa kita putar balik aja? Kayaknya bahaya."

"Nggak apa-apa," jawab Jena, menarik Dinai untuk melanjutkan langkah. "Itu orang suruhan Anthariksa. Dia kesini buat jagain kita, tenang aja."

"Lo laporan ke Prambudi soal ini?" tanya Dinai, terkaget-kaget. Bukan apa-apa, hanya saja ... aneh sekali. Tak biasanya seorang Jainari kelihatan percaya dengan oranglain semudah itu.

Jena mengangguk. "Gue udah janji bakal bilang apapun yang mau gue lakuin ke dia," jawabnya, tenang sekali. Tak kedengaran tertekan seperti apa yang Dinai pikir. "Susah buat dapet ijinnya. Jadi kita nggak boleh sia-siain kesempatan hari ini. Kita harus dapat sesuatu dari sana," ujarnya penuh tekad.

"Seriusan? Itu beneran orang suruhan dia, kan? Coba lihat dulu."

"Udah gue lihat dari tadi. Emang bener itu mereka, tenang aja," katanya. "Karena Anthariksa harus ketemu orang hari ini, jadi dia minta anak Gatama buat ngikutin kita. Ada dua, yang lo lihat mungkin salah satunya, yang satu lagi ada di sebelah kiri, jangan noleh, nanti mereka malu kalau ketahuan. Pura-pura nggak lihat aja."

"Lo percaya sama dia, Jen?"

"Siapa?"

"Prambudi itu."

Jena mengendik tak yakin. "Yang pasti dia bisa diandalkan untuk saat ini. Kalau amit-amit terjadi sesuatu sama kita, gue cuma mau ada yang nolongin lo cepet."

"Anjir, kenapa harus gue yang di tolongin? Lo bikin gue overthinking ya, monyet!" sentak Dinai ngeri. Tak lupa melayangkan gebukan di lengan Jena yang senyum-senyum kalem. "Ngomong-ngomong ... si Prambudi nomer tiga itu bisa kenal Gustipradja nomer satu darimana, ya?"

"Ya dari kakaknya, lah. Masak dari gue. Gue tahu dia hidup aja enggak," jawab Jena, memasuki gedung tinggi tersebut dengan semangat. Matanya berkobar penuh ambisi ketika menekan tombol lift dan masuk ke kotak besi itu berdua dengan Dinaisha.

"Lo tahu passcode apart-nya, kan?" tanya Dinai, menolehkan kepala.

Jena ikut menoleh, kemudian berkedip lugu sembari menggeleng.

"Akses card-nya ada, dong?"

Jena menggeleng lagi. Membuat Dinai mengumpat pelan. "Terus lo mau ajak gue ngapain, peak?!"

"Tebak aja dulu," jawab Jena asal.

"Tebak apa?"

"Passcode-nya."

Anggrek api dan Mata ketigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang