16. Mitambuh

23.8K 3K 495
                                    

16. Mitambuh









Semalam, Jena bermimpi aneh sekali.

Gila-gila-gila! Bukan aneh lagi, tapi cabul! Masak dalam mimpinya, ia dan Anthariksa bercumbu diatas sofa? Mereka ciuman, bermesraan, dan lelaki itu tersenyum sepanjang malam sambil memangkunya?
Ya ampun. Kepala Jena sangat kotor. Ia bersumpah, senaksir-naksirnya ia pada seseorang, belum pernah ia sampai mimpi jorok begini.

"Brengsek," gumam Jena, menjambaki rambutnya sendiri sambil mendesah. Menatap air panas yang mulai membentuk gelembung kecil di panci. Mendidih. Jena menuangkannya di penyaring berisi kopi sambil terus mengumpat dirinya sendiri. "Dongo. Otak cabul."

"Cil,"

Jena menoleh, melirik Antha yang turun tangga sambil menggotong koper. "Apa?"

Selepas meletakkan kopernya di sofa, lelaki itu mendekati Jena di dapur, merogoh dompet di saku kemudian mengeluarkan satu kartu. "Buat pegangan kalau mau belanja."

Jena mengangguk. Mengambil kartu tersebut tanpa sungkan. Melirik Antha diam-diam, memusatkan tatapannya pada bibir lelaki itu cukup lama, sampai Andreas masuk ke rumah.

"Apa-apaan ini," decak Andreas, memicing penuh penghakiman kala menatap Jena. "Tsk, lagi?"

"Apa?!" tantang Jena kesal. Datang-datang nyari masalah. Tak tahukah dia, Jena sudah mumet sejak bangun tadi?! "Sini maju kalau berani!"

Andreas memutar mata, beralih pada Anthariksa dengan nada setengah merajuk. "Mas Antha mau jadi co-pilotnya Jeremy waktu pulang nanti?"

Antha menoleh segera, begitupun Jena. "Kenapa?"

"Turah besok sibuk. Jadi, dia akan stay di Jakarta sampai jumat," katanya. "Kata Jeremy nggak usah cari co-pilot luar, Mas Antha aja."

"Kamu bisa nerbangin pesawat?!" tanya Jena kaget. Kalau iya, keren sekali! "Tha! Aku ikut, Tha! Aku ikut!"

"Nggak bisa," jawab Antha pendek. "Bercanda dia," lanjutnya, membuat semangat Jena langsung padam detik itu juga. "Main ikut-ikut aja," cibir Antha pelan, mengambil secangkir kopi yang baru Jena selesaikan untuk di bawa ke sofa.
"Gue nggak mau," tolaknya pada Andreas yang mengikuti langkahnya. "Cari orang lain aja. Nggak usah nyusahin diri sendiri, gue nggak mau mati cepet. Masih ada banyak hal yang harus gue lakuin."

Jena menguping sambil manggut-manggut pelan.
Tentu Anthariksa tak boleh mati sekarang. Kalau Antha mati, Jena pasti sedih sekali. Lelaki itu harus hidup lama, minimal sampai rasa suka Jena padanya menghilang. Kalau sekarang, perasaan Jena sedang menggebu-gebu. Lihat, semalam saja Jena sampai mimpi mesum begitu. Kira-kira, Anthariksa marah tidak ya, kalau Jena cerita soal mimpi bercumbu itu?

"Heish!"

Jena menoleh saat Andreas tiba-tiba berdecak sebal. Lelaki itu berdiri sambil berkacak pinggang memelototinya. Membuat gadis itu berkedip-kedip keheranan. "Kenapa lagi dia?" gumamnya bingung.

"Heh!" seru Andreas pada Jena. "Kamu! Ya, kamu! Siapa lagi?" tunjuk Andreas dengan tampang siap bertengkar. "Bisa berhenti mikir, nggak? Berisik!"

Antha menoleh, ikut melirik Jena kemudian menghela napas panjang. "Masuk kamar, Cil."

"Dih, nggak mau. Ngapain?" bantah Jena seperti biasa. "Dapur ini daerah kekuasaanku. Kalian aja yang pindah kalau mau," ia mengendik santai, tak ambil pikir. "Enak aja nyuruh-nyuruh pergi."

Andreas berdecak protes. "Mas Antha, suruh anak itu menghafal resep rendang lagi," pintanya dengan gurat sebal.

"Cil, apalin, Cil."

Anggrek api dan Mata ketigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang