7. Nilas

22K 3K 670
                                    

7. Nilas







Bicara soal cinta-cintaan, tentu saja Jena pernah jatuh cinta sebelumnya. Sering malah.
Kebetulan, Jena ini memang tipe orang yang gampang kesemsem, dan gampang pula move on-nya. Ia bisa tertarik dengan seseorang dari hal-hal kecil yang jarang di perhatikan. Dan sebenarnya, Jena tak pernah punya patokan dalam menyukai seseorang. Tipenya selalu berubah-ubah, tak tentu arah.

Contohnya begini,

Dulu waktu SMA, Jena pernah naksir teman sekelasnya hanya karena dia punya kalung salib di leher serta gantungan kunci di tas yang bertulis 'Tuhan maha baik'. Bagi orang lain, itu bukan apa-apa. Tapi bagi Jena, itu sangat menggoda. Melihat seorang manusia menghamba sedemikian rupa pada Tuhan adalah poin plus, plus, dan plus di mata Jena. Jadi dulu ia sempat berpikir, tipenya pastilah orang yang agamis-agamis untuk seterusnya.

Ternyata tidak.

Ketertarikan Jena pada si agamis ini berakhir ketika Jena mendapati anak itu mengumpat di jam pelajaran olahraga. Jena ilfeel, dan dengan amat bangga iapun menyudahi cinta monyetnya begitu saja.

Awal-awal masa kuliah, Jena juga pernah naksir Alfarama, kakak dari Bia, sahabat baiknya. Ia jatuh cinta pada berandalan satu itu setelah melihat Alfarama datang tengah malam ke kontrakan, rela membelah hujan dari Semarang ke Jogja berjam-jam naik motor sendirian karena Bia jatuh sakit. Alfarama yang pecicilan tapi cinta setengah mati pada adiknya benar-benar membuat Jena jatuh terpesona, membucin berbulan-bulan lamanya.

Pada saat itu, Jena mengubah tipe idealnya dari 'agamis' jadi 'perhatian'. Dan teori itupun patah beberapa bulan kemudian.
Cintanya yang menggebu pada Alfarama tuntas saat ia melihat lelaki itu ngupil sambil diam-diam nyolong yupi di tangan Bia. Sederhana, tapi cukup untuk membuatnya ilfeel sampai akhirat.

Tak lama setelah era naksir Alfarama berakhir, ia kembali termehek-mehek pada salah satu kakak tingkatnya di kampus. Tidak agamis seperti cinta pertamanya di SMA. Bukan pula sosok yang perhatian dan sayang keluarga macam Alfarama. Cinta ketiga Jena ini, adalah seorang pentolan demonstran. Hobi teriak-teriak. Sedikit kasar. Dan sangat idealis. Jena ingat sekali, ia jatuh cinta pada lelaki itu hanya karena diberi sebotol air minum saat Jena ikut turun dalam demo menolak kenaikan UKT di depan gedung rektorat. Ya-ya. Jena juga tahu itu alasan yang absurd. Tapi gimana lagi. Memang begitu faktanya.

Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, cinta ketiga ini juga tak bertahan lama. Kalau Jena tak salah ingat, dua bulan saja ia rajin wara-wiri ikut demo. Semuanya ia lakukan demi caper pada si cinta ketiga. Dan kegiatan itu berakhir setelah Jena menemukan titik ilfeel-nya sendiri. Kali itu, Jena ilfeel pada cinta ketiganya karena mereka berbeda pendapat soal pilihan presiden di tahun bapak kandung Bia mencalonkan diri.

See? Tipe Jena beraneka ragam. Ia memang darisananya membingungkan. Jangankan orang lain, Jena sendiri pun susah memahami apa maunya. Intinya kalau Jena sudah suka, ya suka. Dan sekali Jena ilfeel, ya sudah. Sampai disana saja cintanya.
Jadi sejujurnya, ia nggak begitu kaget waktu kemarin jantungnya berdesir pada seonggok manusia macam Anthariksa. Sebab menurutnya, perasaan macam ini tak akan bertahan lama di dadanya. Jena biasa jatuh cinta dan melepaskan perasaannya diam-diam, sendirian. Tak banyak drama.

Tenang saja. Nggak ada istilah patah hati-patah hatian dalam hidupnya.

"Cil, sibuk nggak?"

Jena yang malam itu tengah bengong sambil memandangi bintang di langit lewat jendela kamarpun menoleh. Menyambut kepulangan sang tuan beserta pertanyaannya dengan gelengan.

"Siap-siap. Tiga puluh menit lagi ikut dinner ke Royal Prambudi."

"Aku nggak ada baju buat fine dining," jawab Jena jujur.

Anggrek api dan Mata ketigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang