40. Delap
"Mana ada utang dianggap lunas gitu aja," dengus Jena, mengambil nampan berisi sarapan dengan tangan yang masih gemetar. Mengikat rambut panjangnya sejenak agar tak mengganggu.
"Terus siapa yang bayar?" tanya Lusi lugu.
"Ya aku," jawab Jena pelan.
"Baguslah kalau udah dibayar."
"Tapi minjem duitnya Anthariksa dulu," tambah Jena lagi, membuat Lusi mengernyit heran.
"Berarti sekarang utangnya ke dia?"
Jena mengiyakan. "Dibayarnya pakai kerja selama lima tahun," jelasnya tanpa tenaga, mulai menyuap sarapan yang terasa hambar.
"Uh, nggak enak, Mi." Entah karena mulutnya yang masih pahit karena sakit, atau makanan rumah sakit memang setidak enak ini aslinya. Tapi begitu sesuap bubur itu masuk ke mulut, ia langsung mengernyit. Buru-buru meraih tissue untuk memuntahkannya lagi. Lantas mendorong nampan itu menjauh.Sementara didepannya, ada Lusi yang tetap jadi pemancing emosi Jena seperti yang sudah-sudah. Melihat putrinya tak bisa makan apa-apa sejak kemarin, sebagai ibu, normalnya Lusi harus khawatir. Tapi lagi-lagi, berharap pada Lusi adalah sebuah kesia-siaan belaka. Sebab wanita itu tetap tak peduli. Entah Jena makan atau tidak, ia tak memikirkannya.
"Jangan pilih-pilih makanan," katanya, justru sibuk menyalahkan. "Jorok, Jei. Jangan dimuntahin sembarangan, dong."
"Lidahku pahit," keluh Jena pelan. Tiba-tiba teringat bubur buatan Medhya yang beberapa waktu lalu ia makan. Alangkah baiknya kalau makanan rumah sakit juga seenak itu. "Makanan rumah sakit nggak enak, Mi," lanjutnya lagi. "Aku mau yang lain."
"Kamu kayak Papimu. Suka ngomentarin hal-hal yang nggak perlu. Terlalu pemilih," cibir Lusi pelan. "Nggak usah makan kalau nggak mau."
"Kalau gitu, Mami jangan disini kalau nggak bisa bantu apa-apa buatku," balas Jena dongkol. Membuang tissue ke kotak sampah dibawah ranjang. "Pulang sana. Ada Mami sama nggak ada Mami sama aja," katanya.
"Mami nggak punya uang buat ke hotel lagi," lirik Lusi penuh maksud. "Mana uangnya? Mami juga bosen disini terus, kasih Mami uang biar bisa buka kamar."
Jena menghela napas panjang, menatap ibunya dengan tak percaya. "Harusnya kemarin Mami jangan teriak minta tolong. Biarin aja aku mati ditusuk pisau supaya uang asuransiku bisa Mami pakai ke hotel dan bersenang-senang," ucapnya sarkas. "Sekarang aku nggak punya uang buat dikasih ke Mami lagi."
"Bohong. Mana mungkin kamu nggak punya uang," sahutnya tak percaya. "Kalaupun nggak punya, kamu kan bisa minta sama Prambudi itu?" usulnya. "Harus ada timbal balik kalau memang kamu ngeyel mau sama dia. Seenggaknya--"
"Mami pikir aku pelacur?" potong Jena segera. Memicing kesal. "Aku nggak jual diri sampai dia wajib ngasih sesuatu ke aku ataupun Mami. Kami cuma pacaran, ngasih duit ke aku itu bukan tugasnya."
"Tapi kamu tinggal sama dia."
"Aku tinggal sama dia juga gara-gara Mami," jawabnya ketus. "Kalau Mami nggak ngide ngutang sepuluh miliar ke rentenir pake nitipin sertifikat rumah segala, aku nggak akan mungkin ada diposisi sekarang."
Lusi berdecak kembali. "Kalau dia mau kamu jadi pacarnya, harusnya uang segitu nggak perlu dijadikan masalah, dong. Kenapa harus kerja segala buat ngambil sertifikat rumah? Dia itu Prambudi, bukan orang biasa," gerutu ibu-ibu tersebut. "Mami dengar dia royal tuh sama mantannya yang lain. Kenapa sama kamu itung-itungan? Itu bukan sifat seorang Prambudi kalau benar-benar jatuh cinta."
"Mau dia Prambudi atau bukan, yang namanya uang ya uang. Jangan jauh-jauh ngomongin orang luar, saudara Mami sendiri yang kaya-kaya itu, ada nggak yang ngasih pertolongan waktu kita susah?" Sarkasnya. "Satu perak pun nggak ada. Mereka semua tutup mata."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anggrek api dan Mata ketiga
RomanceDendam kesumat membara di dadanya. Bagai api yang berkobar tak tahu arah, melalap segala hal yang lewat tanpa kecuali, si anggrek api berjalan menyusuri setiap jengkal tempat dan orang-orang yang konon katanya menjadi penyebab keluarganya hancur sed...