15. Anglocita

24.5K 3.3K 875
                                    

15. Anglocita










"Yang itu. Tha!" tunjuk Jena ketika seorang lelaki keluar dari gedung. "Dia yang tadi aku ceritain. Itu yang bilang aku cantik dan ngajak kencan."

Anthariksa menyipitkan mata, mengamati sosok lelaki berjaket biru dengan wajah ramah tersebut dengan teliti. Rahangnya mengetat dan kedua tangannya mencengkram setir kala lelaki yang Jena tunjuk terlihat menyapa seorang wanita paruh baya dengan sopan. Membantunya mengangkat beberapa barang ke dalam mobil.

"Dia kasih aku ini tadi," lapor Jena, menyodorkan undangan kecil berpita, warna silver dengan tinta hitam yang tampak elegan. "Dia mau buka resto baru gitu. Katanya, kalau aku belum mau diajak kencan, datang ke opening restonya aja dulu nggak apa-apa."

Antha berdecak, menyahut undangan di tangan Jena sambil menggerutu. "Klasik."

"Hah?" tanya Jena, menyibak rambut yang menutup daun telinga sambil mendekat kearah kemudi. "Apa?"

Antha menoleh, mengulangi perkataannya lebih panjang. "Ini cara klasik laki-laki waktu lagi nebar jaring," katanya. "Jangan kemakan."

"Berarti bener dong dia naksir aku?" tanya Jena, tersenyum malu-malu. "Dia pinter masak," puji Jena tulus. "Sabar banget, lagi. Tiap aku salah, dia nggak pernah marah."

Memancing decak Anthariksa yang kini menimpali. "Ya iyalah nggak marah, kan dia dibayar mahal buat ngajar."

"Tapi ada juga tuh, Chef yang hobinya ngamuk," balas Jena tak mau kalah. "Chef Awan beda. Dia emang orangnya baik. Ibu-ibu di kelas aja pada suka sama dia," tambahnya, makin menggebu. "Dia juga nggak memandang seseorang dari kerjaannya. Waktu kubilang aku pembantu aja dia masih bilang 'nggak apa-apa, Semesta. Setiap pekerjaan akan jadi baik asal di dasari dengan niat yang baik.' Gitu."

"Coba bilang kamu punya utang sepuluh milyar. Pasti langsung kabur tuh orang," sambar Antha lagi, belum terima kekalahan. "Yang kayak begitu tuh biasanya mangsanya banyak, nggak cuma satu," lanjutnya. "Omongannya aja yang manis, tapi kelakuannya kayak babi."

"Masak?"

"Iya," jawabnya, mengompori. "Udah, kalau bisa jangan sama dia."

Dengan kening berkerut Jena bertanya. "Kenapa?"

"Lihat itu, mukanya kayak maling sempak," kata Antha sembarangan. "Nggak bener itu orang."

Jena berkedip, kembali menatap depan dengan teliti. Yang mana kini, Awan tampak sibuk membantu seorang wanita memindahkan barang bawaan ke bagasi mobil. "Enggak," gumamnya. "Dia kelihatan baik, kok. Ganteng, lagi."

"Ganteng apanya?!" sergah Antha tak terima. "Lihat tuh." Antha merangkul bahu Jena lebih dekat, mengarahkan pipi gadis itu dengan senyum jahil. "Sini. Lihat, nggak?" bisiknya.

Sambil berkedip-kedip Jena mengernyit. "Lihat apa?"

"Tuh," bisik Antha lembut. "Mukanya mengkilat banget kayak kilang minyak," celanya. "Masak kayak begitu mau di jadiin pacar?"

"Ya wajar, lah. Dia kan seharian di depan penggorengan, ngajarin aku juga tadi. Terus kenapa?" tanya Jena balik. "Tinggal cuci muka, beres."

"Ya tetep aja jelek," sahut Antha segera. Melirik Jena kemudian mengernyit. "Itu apa di bibirmu?"

Jena menoleh, balas menatap Antha dengan bingung. "Apa?" Ia baru sadar jarak wajah mereka sudah sedekat itu ketika berbalik, menemukan lengannya telah bertumpu di dada Antha yang kini menyipit. "A-apa?" tanya Jena gugup. Berkedip-kedip gelisah. "Apa, sih?!"

Anthariksa menunduk, meraih dagu Jena lantas mengusap bibir gadis itu dengan ibu jari. "Centil banget bocil, segala pakai lipstik."

Jena menunduk, menatap jempol Antha yang masih di bibirnya dengan dada berdegup kencang. Takut suara jantungnya terdengar, gadis itu impulsif menampar tangan Antha menjauh. "Apasih!" Amuknya. "Nggak sopan, tahu nggak?!"

Anggrek api dan Mata ketigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang